Tempatnya bisa berbeda, tapi biasanya kafe atau tempat-tempat
sejenisnya. Meja-meja kecil digabungkan menjadi satu, membentuk empat
persegi panjang yang panjang.
Menunya pun boleh gonta ganti, yang penting ada makanan penggugah
selera. Peserta acara kumpul-kumpul ini biasanya belasan orang, bisa
lebih bisa kurang. Peserta juga berganti-ganti, tergantung siapa yang
sempat. Satu hal yang tetap sama, yaitu, mereka adalah alumni dari
sekolah atau kampus yang sama. Ada reuni smp, ada reuni sma, ada reuni
kampus. Malah ada pula reuni sd.
Usai reuni, ada foto-foto yang beterbangan ke internet. Teman-teman
lain yang tidak hadir ramai mengomentari. Keceriaan pun merebak,
menular, tak kenal batas demografis.
Reuni makin sering saja. Agaknya karena dipicu oleh semakin suburnya
social networking atau media sosial di alam maya. Sambil kerja di meja
kantor, kita bisa tetap terkoneksi dengan orang lain di negeri manapun,
selama internet bisa menjangkaunya. Teman-teman yang lama tak jumpa,
terselip di rimba mana, atau ternyata malah tetangga kompleks saja,
bermunculan di internet. Saling sapa, tanya kabar, dan ini itu di wall
tidak lagi cukup. Muncullah kekangenan. Terjadilah pertemuan nyata, tak
sekedar maya. Jadilah reuni. After office hour, janjian bertemu di mana.
Tentu saja tanpa istri/ suami, apalagi anak. Sekali-kali menjadi
seperti remaja kembali.
Reuni memang memberikan kegembiraan, di tengah kepenatan kerja.
Hubungan-hubungan baik di masa silam, kedekatan emosional, memberikan
alasan yang kuat bagi keinginan bertemu lagi. Bertemu pun mungkin memang
sekedar bertemu. Tak lebih. Bercanda. Sekedar berbicara ngalor ngidul.
Melepaskan tawa yang mungkin tidak lagi lepas jika berada di kantor.
Dari reuni-reuni kecil, tak jarang berkembang menjadi reuni besar.
Reuni satu angkatan. Puluhan, bisa ratusan jumlah pesertanya. Jauh lebih
seru, tentu. Kadang lahir ide-ide mulia. Program dana beasiswa
misalnya, yang diberikan buat para pelajar di sekolah tempat dulu kita
menuntut ilmu.
Reuni bisa mengingatkan kita masa-masa remaja yang katanya paling
indah itu. Entah kata siapa, tapi orang sering beranggapan demikian.
Reuni kadang memberikan sensasi kembali muda, meski mungkin kita
sebenarnya sudah separuh baya.
Bagi sebagian orang, reuni harus dihindari, karena orang ini enggan
berurusan dengan masa lalu. Reuni juga bisa agak menyakitkan, jika
niatnya hanya hendak membandingkan harta perolehan. Ini memang cara
salah dalam memandang reuni. Mudah-mudahan tak ada yang demikian.
Bagi saya, reuni lebih memberikan warning. Warning bahwa waktu
sungguh-sungguh berjalan. Jika dulu kita adalah ABG, maka sekarang kita
sudah punya anak-anak yang ABG. Jika dulu kita masih ramping, sekarang
kita sudah berkutat dengan baju yang sering kekecilan. Reuni seperti
pembisik yang diam-diam memberikan pertanyaan menikam di hati kita,
‘apakah ente sudah lebih baik dibandingkan ABG dulu?’
Bagi saya, ada reuni besar yang sungguh-sungguh harus diantisipasi.
Sampai sering kali dada ini berdebar-debar jika mengingat-ingatnya.
Itulah dia, reuni orang-orang beriman. Kapan? Reuni itu tak jelas
tanggalnya, tapi pasti datangnya. Yaitu di akhirat nanti. Allah, lewat
kisah menggetarkan di surat Az Zumar, bercerita bahwa kelak orang-orang
beriman akan masuk ke dalam surga berkelompok-kelompok.
Pertanyaan yang
paling meresahkan tentulah, apakah saya masuk ke dalam kelompok itu?
Saya, dengan stamina ibadah yang pas-pasan, kadang naik, sering
turun, tapi sering kali mencintai dunia secara keterlaluan, acap kali
merasa tak pede dengan pertemuan itu. Banyak orang lain yang lebih besar
jasanya terhadap Islam. Lebih mantap ibadahnya. Lebih besar
pengorbanannya. Perasaan tak pantas itu sering begitu rupa, hingga
kadang membuat diri enggan berharap. Tapi, Allah sendiri yang melarang
kita untuk mengubur harapan. Bahwa rahmatNya melampaui azabNya.
Dengan bermodalkan harapan, sering hati ini berpikir, apa kira-kira
yang bisa diperbuat, agar dapat memantaskan diri bisa bergabung dalam
reuni yang pastinya indah tersebut?
Agaknya itulah gunanya reuni. Membuat kita selalu bertanya.
Menanyakan kepada diri. Sudah berapa siapkah kita? Itulah gunanya reuni,
mengingatkan diri bahwa dunia isinya hanyalah fana berkepanjangan. Yang
sejati adalah amal-amal yang akan kita bawa kelak di negeri abadi.
(http://www.eramuslim.com/oase-iman/sabrul-jamil-reuni-orang-orang-beriman.htm)
“Semua yang hidup menuju pulang”. Begitu detik awal, narasi pembuka sebuah film yang dibintangi dengan luar biasa oleh Robin Williams, berjudul Patch Adams (1998).
Film ini diambil berdasarkan kisah nyata perjuangan seorang dokter yang bertekad untuk menyembuhkan sekaligus membahagiakan banyak orang.
Sedih, haru, tawa berpadu di film ini. Selain menghujam dengan nilai-nilai kemanusiaannya, film ini mengajarkan kita satu nilai penting : Bekal menuju akhirat
Persis dengan apa yang pernah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam gambarkan dalam sebuah hadist. Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘anhu, beliau berkata :
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam pernah bersabda :
“Jadilah engkau di dunia seperti seorang asing atau musafir”. Kemudian Ibnu Umar melanjutkan, “Jika engkau berada di sore hari jangan menunggu datangnya pagi dan jika engkau berada di waktu pagi, jangan menunggu datangnya sore. Pergunakanlah masa sehatmu sebelum sakit dan masa hidupmu sebelum mati”.
Di dunia, manusia tak lain ibarat seorang pengembara. Setiap kita tak ubahnya seperti berada dalam sebuah antrian panjang yang titik akhirnya adalah akhir hayat kita. Maka setiap yang hidup hakikatnya sedang menuju jalan pulang. Siapapun.
Namun, seiring berjalannya waktu kita sering lupa. Kita sering tak menyadari hakikat hidup yang sementara. Kesibukan dunia sering menyibukkan hati kita. Jerat dunia sering membuat kita lalai untuk mempersiapkan bekal menuju “pulang”.
Dan biasanya, penyesalan baru datang setelah usia berada di penghujung. Kita baru tersadar saat hari menjelang senja. Inilah makna kekata Ali Radhiallahu’anhu yang dikutip Al Ghazali dalam Ihya-nya, “Al-nas niyam, fa idza matu, intabihu”. Manusia itu tidur, maka ketika mereka mati mereka bangun.
Diriwayatkan suatu ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam mengambil tiga batang tongkat. Lalu beliau menancapkan ketiganya secara terpisah. Satu tongkat dihadapannya, satu lagi disampingnya dan menjauhkan satu tongkat yang lainnya.
Kemudian beliau bertanya kepada para sahabat, “Apakah kamu tahu, apakah ini?”. “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Jawab para sahabat. Diam sejenak, kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Ini adalah manusia dan ini adalah ajal. Sementara yang itu adalah angan-angan yang dikerjakan anak Adam. Ajal telah menjemputnya tanpa ia memperoleh angan-angannya.”
Hadist tersebut menggambarkan kepada kita tentang banyak manusia yang sering terlupa untuk mempersiapkan bekal demi perjalanan yang sebenarnya. Kita sering terlupa untuk mempersiapkan energi demi perjalanan yang sangat panjang.
Hingga angan-angan menarik kita cepat atau lambat ke akhir hayat. Dan barulah kita sadar di waktu kesadaran tak bermanfaat lagi.
Saudaraku, kita perlu menafakuri diri. Kita perlu mengintip kembali telah sejauh apa persiapan yang kita lakukan sampai hari ini. Telah sebanyak apa bekal yang kita kumpulkan untuk perjalanan nanti? Telah seberapa siap kita untuk kembali pulang ke kampung halaman sebenarnya?
Kita memerlukan semua itu, karena tempat yang sedang kita tuju, atau perjalanan yang ingin kita capai, atau rumah yang akan kita hampiri nanti, bukanlah jalan, tempat, atau rumah yang yang biasa.
Melainkan sebuah ruang dimana kita akan kembali pulang. Bukan sementara, melainkan untuk selama-lamanya. Karena kita, manusia, dan semua yang hidup sedang berjalan menuju kesana.
Ya Rabbi, ingatkah Kau kapan terakhir kali kita jumpa?
Lihatlah, kini aku datang
membersamai hati yang makin begitu usang.
Ya Rabbi, aku pulang,
Membawa kabar tentang dunia
Yang kian hari kian melenakkan
(http://www.eramuslim.com/oase-iman/dea-tanyo-iskandar-muslim-excellent-find-the-way-home.htm)
Pepatah arab mengatakan :
Raih mimpimu, jalani yang tak anda ingini, anda tak akan meraih yang anda inginkan hingga anda siap menjalani hal-hal yang tidak anda inginkan.
Terdengar aneh mungkin. Siapapun rasanya tidak ingin menjalani sesuatu yang tidak di sukai. Seseorang yang tak suka makanan pedas, akan marah atau menolak jika di berikan makanan pedas. Orang yang terbiasa dengan kipas atau AC akan merasa ketidaknyamanan manakala harus berada di ruang yang panas. Orang yang terbiasa dengan kehidupan yang mewah akan merasa terbebani jika suatu saat harus menghadapi kondisi yang sulit.
Namun pada kenyataannya, kehidupan bukanlah suatu pertunjukan yang dimana kita berperan sebagai sutradara dengan berbagai macam adegan yang kita inginkan. Kita hanya berperan sebagai hamba dari Allah Rabb semesta alam. DIAlah yang mengatur berbagai macam takdir yang telah di sediakan untuk kita jalani. DIAlah sutradara dan produser dari sebuah pertunjukan dunia. Sebagai hamba, seringnya kita hanya menginginkan suatu adegan yang nyaman dan mudah. Tapi Allah sang sutradara tak inginkan kita lemah hanya dengan suatu kemudahan dan kenyamanan.
Allah memberi kita airmata. Tentu sejatinya sebagai manusia kita menolak. Meskipun takdir harus tetap di jalani. Yakinlah, bahwa di balik skenario yang kadang terkesan “kejam” ada rahasia indah di balik semua itu. Karena Allah tak pernah menciptakan suatu kesia-siaan dunia ini melainkan ada hikmah yang terkandung di dalamnya.
Allah memberi kita kesenangan dan kebahagiaan. Banyak orang yang menikmatinya bahkan lalai karenanya. Karena itu, Allah tak ingin hambaNya menjadi terlena dan lupa sehingga di berikannya suatu kesulitan agar hambaNya menjadi manusia yang bertaqwa dan tidak ingkar pada nikmat yang Allah berikan.
Seorang murid, ia tak akan pernah merasakan tingkatan-tingkatan kelas sebelum ia melaksanakan peraturan dari sekolah yaitu mengikuti ujian. Ujian yang merupakan rangkuman dari semua mata pelajaran yang telah di sampaikan oleh sang guru. Ujian yang bukan untuk “menyiksa” seorang murid untuk memberi tekanan untuk belajar lebih giat tapi melihat seberapa besar kemampuan murid tersebut menerima hasil pelajaran yang di sampaikan gurunya selama beberapa bulan sebelumnya. Kemampuan murid satu dengan lainnya akan berbeda, sehingga nilai yang di hasilkannya pun berbeda. Tapi, ketika murid tersebut lulus dalam ujian maka otomatis ia akan menaiki jenjang kelas yang lebih tinggi.
Seorang pendaki gunung, tak akan pernah menikmati keagungan Allah di puncak gunung sebelum ia rela untuk melelahkan diri mendaki medan terjal yang membutuhkan waktu tidak sebentar. Tapi memang segala perjuangan akan menjadi kenikmatan dan sesuatu yang tak terlupakan ketika sebuah puncak mampu di daki. Dan dalam sebuah perjalanan tersebut tersimpan banyak hikmah yang terkandung jika kita mau memikirkannya. Bagaimana kita mengasah empati kita untuk menghormati kawan yang tidak memiliki fisik kuat, sehingga mau tak mau kita harus ikhlas dan rela untuk tidak meninggalkannya sendiri. Mampu melatih diri dalam keterbatasan kehidupan di alam bebas. Mampu berbagi dengan sesama dalam hal apapun dan lain sebagainya.
Seperti itulah kehidupan. Mungkin tak ada murid yang ingin ujian, tapi mereka harus menjalaninya untuk mecapai tingkat yang lebih tinggi dan tak akan ada yang bias meceritakan keindahan puncak gunung jika semua orang enggan untuk berlelah diri. Tak ada pengakuan iman tanpa ujian. Tak ada kesuksesan tanpa di sertai onak dan duri yang menjadikan kita strong dan fight terhadap kehidupan.
Kesulitan, ketidaknyamanan, kesedihan, jatuh. Semua adalah bentuk cinta Allah kepada para hambaNya. Sesuatu yang sangat tidak kita inginkan tapi sebenarnya kita membutuhkannya. Bilamana kita mampu meraih mimpi kita, semua jatuh dan bangun yang telah kita alami akan menjadi suatu warna tersendiri yang tak akan pernah terlupa dan menjadikan diri kita menjadi pribadi kuat serta tetap rendah hati.
Ketika saat ini kita berada di titik terendah, berbahagialah karena sejenak kita akan berjumpa dengan kesenangan atau mungkin mimpi kita semakin nyata terlihat. Sebaliknya jika kita sedang berada pada titik kenyamanan, jangan pernah merasa angkuh dan bersyukurlah serta tetap tawadhu’ sehingga jika sewaktu-waktu roda kehidupan berputar kita telah siap untuk menyambutnya dengan senyum.
Semua mimpi manusia pasti akan berakhir pada kebahagiaan. Kebahagiaan yang hakiki. Ketika kita menyandarkan mimpi kita pada Allah dan siap pada segala ketentuanNya yang merupakan anak tangga menuju kesuksesan baik itu pahit atau manis, InsyaAllah kita akan siap dan tawakkal pada ketetapanNya.
(http://www.eramuslim.com/oase-iman/kiptiah-jalani-yang-tak-anda-ingini.htm)
Raih mimpimu, jalani yang tak anda ingini, anda tak akan meraih yang anda inginkan hingga anda siap menjalani hal-hal yang tidak anda inginkan.
Terdengar aneh mungkin. Siapapun rasanya tidak ingin menjalani sesuatu yang tidak di sukai. Seseorang yang tak suka makanan pedas, akan marah atau menolak jika di berikan makanan pedas. Orang yang terbiasa dengan kipas atau AC akan merasa ketidaknyamanan manakala harus berada di ruang yang panas. Orang yang terbiasa dengan kehidupan yang mewah akan merasa terbebani jika suatu saat harus menghadapi kondisi yang sulit.
Namun pada kenyataannya, kehidupan bukanlah suatu pertunjukan yang dimana kita berperan sebagai sutradara dengan berbagai macam adegan yang kita inginkan. Kita hanya berperan sebagai hamba dari Allah Rabb semesta alam. DIAlah yang mengatur berbagai macam takdir yang telah di sediakan untuk kita jalani. DIAlah sutradara dan produser dari sebuah pertunjukan dunia. Sebagai hamba, seringnya kita hanya menginginkan suatu adegan yang nyaman dan mudah. Tapi Allah sang sutradara tak inginkan kita lemah hanya dengan suatu kemudahan dan kenyamanan.
Allah memberi kita airmata. Tentu sejatinya sebagai manusia kita menolak. Meskipun takdir harus tetap di jalani. Yakinlah, bahwa di balik skenario yang kadang terkesan “kejam” ada rahasia indah di balik semua itu. Karena Allah tak pernah menciptakan suatu kesia-siaan dunia ini melainkan ada hikmah yang terkandung di dalamnya.
Allah memberi kita kesenangan dan kebahagiaan. Banyak orang yang menikmatinya bahkan lalai karenanya. Karena itu, Allah tak ingin hambaNya menjadi terlena dan lupa sehingga di berikannya suatu kesulitan agar hambaNya menjadi manusia yang bertaqwa dan tidak ingkar pada nikmat yang Allah berikan.
Seorang murid, ia tak akan pernah merasakan tingkatan-tingkatan kelas sebelum ia melaksanakan peraturan dari sekolah yaitu mengikuti ujian. Ujian yang merupakan rangkuman dari semua mata pelajaran yang telah di sampaikan oleh sang guru. Ujian yang bukan untuk “menyiksa” seorang murid untuk memberi tekanan untuk belajar lebih giat tapi melihat seberapa besar kemampuan murid tersebut menerima hasil pelajaran yang di sampaikan gurunya selama beberapa bulan sebelumnya. Kemampuan murid satu dengan lainnya akan berbeda, sehingga nilai yang di hasilkannya pun berbeda. Tapi, ketika murid tersebut lulus dalam ujian maka otomatis ia akan menaiki jenjang kelas yang lebih tinggi.
Seorang pendaki gunung, tak akan pernah menikmati keagungan Allah di puncak gunung sebelum ia rela untuk melelahkan diri mendaki medan terjal yang membutuhkan waktu tidak sebentar. Tapi memang segala perjuangan akan menjadi kenikmatan dan sesuatu yang tak terlupakan ketika sebuah puncak mampu di daki. Dan dalam sebuah perjalanan tersebut tersimpan banyak hikmah yang terkandung jika kita mau memikirkannya. Bagaimana kita mengasah empati kita untuk menghormati kawan yang tidak memiliki fisik kuat, sehingga mau tak mau kita harus ikhlas dan rela untuk tidak meninggalkannya sendiri. Mampu melatih diri dalam keterbatasan kehidupan di alam bebas. Mampu berbagi dengan sesama dalam hal apapun dan lain sebagainya.
Seperti itulah kehidupan. Mungkin tak ada murid yang ingin ujian, tapi mereka harus menjalaninya untuk mecapai tingkat yang lebih tinggi dan tak akan ada yang bias meceritakan keindahan puncak gunung jika semua orang enggan untuk berlelah diri. Tak ada pengakuan iman tanpa ujian. Tak ada kesuksesan tanpa di sertai onak dan duri yang menjadikan kita strong dan fight terhadap kehidupan.
Kesulitan, ketidaknyamanan, kesedihan, jatuh. Semua adalah bentuk cinta Allah kepada para hambaNya. Sesuatu yang sangat tidak kita inginkan tapi sebenarnya kita membutuhkannya. Bilamana kita mampu meraih mimpi kita, semua jatuh dan bangun yang telah kita alami akan menjadi suatu warna tersendiri yang tak akan pernah terlupa dan menjadikan diri kita menjadi pribadi kuat serta tetap rendah hati.
Ketika saat ini kita berada di titik terendah, berbahagialah karena sejenak kita akan berjumpa dengan kesenangan atau mungkin mimpi kita semakin nyata terlihat. Sebaliknya jika kita sedang berada pada titik kenyamanan, jangan pernah merasa angkuh dan bersyukurlah serta tetap tawadhu’ sehingga jika sewaktu-waktu roda kehidupan berputar kita telah siap untuk menyambutnya dengan senyum.
Semua mimpi manusia pasti akan berakhir pada kebahagiaan. Kebahagiaan yang hakiki. Ketika kita menyandarkan mimpi kita pada Allah dan siap pada segala ketentuanNya yang merupakan anak tangga menuju kesuksesan baik itu pahit atau manis, InsyaAllah kita akan siap dan tawakkal pada ketetapanNya.
(http://www.eramuslim.com/oase-iman/kiptiah-jalani-yang-tak-anda-ingini.htm)
Bismillahirrahmanirrahim...
Alhamdulillahirobbil'alamin...begitu banyak limpahan karunia yang Alloh curahkan untuk hamba-hambaNya, tiada kata lelah jika semua lillah (karena Alloh) dalam menjalani kehidupan ini.
Setiap hari yang dilalui merupakan tanda kasih-Nya. Selalu ada ibroh (hikmah) di balik segala sesuatu, baik itu berupa ujian maupun peringatan.
Menjadi seorang wanita bagiku adalah fitrah yang tidak bisa diganggu gugat kepada Sang Pemilik jiwa ini, karena sejatinya semua itu mengikuti jalur yang telah ditetapkanNya, manusia telah dibekali 'navigator' ter-valid yang pernah ada di muka bumi, itulah Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Menjalani kehidupan sebagai seorang wanita bukanlah perkara yang mudah. Namun fitrah ini begitu indah dilalui, jika sejalur dengan perintahNya.
Entah mengapa hal yang dirasa telah dilakukan, masih saja seringkali terganggu. Hijab yang dipakai untuk menjagaku dari yang bukan halal bagiku masih saja dianggap sebagai secarik kain tanpa makna. Pandangan merupakan anak panah Iblis! Peringatan berupa pernyataan yang sederhana namun terbukti kebenarannya.
Pandangan yang tertuju pada diri ini membuat ketidaknyamanan yang sangat, sehingga timbullah ingatan mengenai sindiran Alloh yang tersirat dalam hati 'huwa min indi anfusikum' (itu kesalahan dari dirimu sendiri).
Apakah ini merupakan kesalahan dari diriku? Apakah diri ini belum cukup/jauh dari kata 'cukup' untuk menjaga diri dari pandangan yang bukan mahramku? Dan perasaan bersalah selalu muncul jika teringat laki-laki yang halal bagiku kelak akan marah dan jengkel tentunya ketika pasangannya dipandangi dengan pandangan seperti itu.
Apakah mereka tidak ingat dengan kalimat yang tertuang pada surat cinta yang Dia turunkan?
"Katakanlah kepada orang-orang laki-laki yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, apa yang mereka perbuat'." (QS. An-Nuur [24] : 30)
Tidak sadarkah mereka? Bahwa mereka telah merampas hak-hak orang lain, hak yang bukan miliknya? Hak yang seharusnya hanya diberikan kepada seseorang yang memang halal bagi mahromnya?
Diri ini pun berusaha untuk selalu menjaga pandangan dari bukan haknya, meski untuk berdialog ataupun dalam majelis ilmu, pandangan ini tertuju pada pembicara yang bukan mahrom, tapi Insya Alloh itu dilakukan untuk kepentingan mencari ilmu.
Tidakkah mereka mengerti bahwa memandangi seorang yang bukan mahromnya tanpa ada alasan yang syar'i merupakan salah satu dosa? Dan dosa tanpa adanya taubat semasa hidup di Dunia akan menjadi tabungan api Neraka di Akhirat nanti.
Diri ini hanya makhluk yang dhoif, yang ingin dihargai sejalur dengan fitrahnya, bukan dinilai sebagai wanita yang dapat disamakan dengan wanita lain yang menganggap wajar pandangan laki-laki bukan mahrom atas dirinya.
Simpanlah pandangan itu bagi mahrommu kelak sehingga pandangan itu bukan lagi sebagai anak panah Iblis, namun pandangan kasih berbuah pahala, menjadi titian yang dapat menghantarkan pada Surga yang kekal.
Bukankah lebih terasa indah ketika pandangan itu dijaga sampai waktunya tiba? Sampai seseorang yang tertulis di lauhl mahfudz itulah yang akan kita pandangi setiap harinya dengan penuh rasa kasih?
Hargailah kami sebagai wanita yang berusaha untuk selalu istiqomah di jalanNya, hanya itu yang kami perlukan. Semoga pemahaman terlahir dariNya melalui tulisan ini. Jazakumulloh khoiron katsir.
Wallohu A'lam Bisshowab.
(http://www.eramuslim.com/oase-iman/nurul-al-akhfiya-catatan-hati-seorang-muslimah.htm)
Alhamdulillahirobbil'alamin...begitu banyak limpahan karunia yang Alloh curahkan untuk hamba-hambaNya, tiada kata lelah jika semua lillah (karena Alloh) dalam menjalani kehidupan ini.
Setiap hari yang dilalui merupakan tanda kasih-Nya. Selalu ada ibroh (hikmah) di balik segala sesuatu, baik itu berupa ujian maupun peringatan.
Menjadi seorang wanita bagiku adalah fitrah yang tidak bisa diganggu gugat kepada Sang Pemilik jiwa ini, karena sejatinya semua itu mengikuti jalur yang telah ditetapkanNya, manusia telah dibekali 'navigator' ter-valid yang pernah ada di muka bumi, itulah Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Menjalani kehidupan sebagai seorang wanita bukanlah perkara yang mudah. Namun fitrah ini begitu indah dilalui, jika sejalur dengan perintahNya.
Entah mengapa hal yang dirasa telah dilakukan, masih saja seringkali terganggu. Hijab yang dipakai untuk menjagaku dari yang bukan halal bagiku masih saja dianggap sebagai secarik kain tanpa makna. Pandangan merupakan anak panah Iblis! Peringatan berupa pernyataan yang sederhana namun terbukti kebenarannya.
Pandangan yang tertuju pada diri ini membuat ketidaknyamanan yang sangat, sehingga timbullah ingatan mengenai sindiran Alloh yang tersirat dalam hati 'huwa min indi anfusikum' (itu kesalahan dari dirimu sendiri).
Apakah ini merupakan kesalahan dari diriku? Apakah diri ini belum cukup/jauh dari kata 'cukup' untuk menjaga diri dari pandangan yang bukan mahramku? Dan perasaan bersalah selalu muncul jika teringat laki-laki yang halal bagiku kelak akan marah dan jengkel tentunya ketika pasangannya dipandangi dengan pandangan seperti itu.
Apakah mereka tidak ingat dengan kalimat yang tertuang pada surat cinta yang Dia turunkan?
"Katakanlah kepada orang-orang laki-laki yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, apa yang mereka perbuat'." (QS. An-Nuur [24] : 30)
Tidak sadarkah mereka? Bahwa mereka telah merampas hak-hak orang lain, hak yang bukan miliknya? Hak yang seharusnya hanya diberikan kepada seseorang yang memang halal bagi mahromnya?
Diri ini pun berusaha untuk selalu menjaga pandangan dari bukan haknya, meski untuk berdialog ataupun dalam majelis ilmu, pandangan ini tertuju pada pembicara yang bukan mahrom, tapi Insya Alloh itu dilakukan untuk kepentingan mencari ilmu.
Tidakkah mereka mengerti bahwa memandangi seorang yang bukan mahromnya tanpa ada alasan yang syar'i merupakan salah satu dosa? Dan dosa tanpa adanya taubat semasa hidup di Dunia akan menjadi tabungan api Neraka di Akhirat nanti.
Diri ini hanya makhluk yang dhoif, yang ingin dihargai sejalur dengan fitrahnya, bukan dinilai sebagai wanita yang dapat disamakan dengan wanita lain yang menganggap wajar pandangan laki-laki bukan mahrom atas dirinya.
Simpanlah pandangan itu bagi mahrommu kelak sehingga pandangan itu bukan lagi sebagai anak panah Iblis, namun pandangan kasih berbuah pahala, menjadi titian yang dapat menghantarkan pada Surga yang kekal.
Bukankah lebih terasa indah ketika pandangan itu dijaga sampai waktunya tiba? Sampai seseorang yang tertulis di lauhl mahfudz itulah yang akan kita pandangi setiap harinya dengan penuh rasa kasih?
Hargailah kami sebagai wanita yang berusaha untuk selalu istiqomah di jalanNya, hanya itu yang kami perlukan. Semoga pemahaman terlahir dariNya melalui tulisan ini. Jazakumulloh khoiron katsir.
Wallohu A'lam Bisshowab.
(http://www.eramuslim.com/oase-iman/nurul-al-akhfiya-catatan-hati-seorang-muslimah.htm)
Dunia adalah tempat persinggahan, kita hanya sebentar berteduh untuk
selanjutnya melanjutkan perjalanan panjang menuju tempat abadi yaitu
kampung Akhirat. Ketika singgah, tak usah kita terlena dengan tipu daya
warna warni Dunia. Gemerlapnya akan membuat kita terpana. Keindahannya
akan membuat kita lalai.
Cukuplah kita mengisi perbekalan yang dibutuhkan dalam perjalanan panjang nanti.
Sedang Akhirat adalah tempat asing dan hanya untuk orang-orang asing dan berbahagialah bagi kita yang merasa asing. Asing dengan segala hiruk pikuk Dunia. Asing dengan ketaqwaan kita kepada Allah di tengah menjamurnya kemaksiatan.
Dengan kesulitan tersebut, akan terlihat manakah hamba yang benar-benar teringat akan Rabbnya dan mempersiapkan segalanya dengan sebaik-baiknya guna mendapatkan tempat terbaik di Akhirat kelak. Atau menjadi hamba yang menjadi kufur dan menjauh dari hakikat penciptaan manusia untuk selalu menyembahNya.
Sejatinya Dunia adalah tipuan, maka kita tak boleh tertipu olehnya. Dan Dunia adalah kepahitan, maka janganlah kita menelannya mentah-mentah tanpa merasakannya terlebih dahulu.
"Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi di rihoiNya. Maka masuklah kedalam jamaah hamba-hambaKu. Dan masuklah ke dalam SurgaKu." (QS. Al-Fajr [89] : 27-30)
Dunia dan segala pernak perniknya yang selalu di puja. Usianya yang semakin tua justru makin di idolakan oleh penghuninya dengan berbagai macam aksesoris guna memperindah, katanya. Meskipun mayoritas keindahan tersebut sangat bertolak belakang akan hakikat penciptaan manusia untuk beribadah kepada Allah. Dunia dengan berbagai polesan bagai penyihir yang mampu membuat kita mengabaikan kewajiban kita sebagai hamba. Terperosok ke dalam jurang yang digali sendiri.
"Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan Dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan." (QS. Al Kahfi [18] : 46)
Dalam kondisi seperti itu, kita akan memiliki nilai lebih jika kita mampu istiqomah akan segala perintah Allah. Karena keistiqomahan bukan dinilai manakala kita berasa di tempat dengan sarana dan prasarana atau yang memadai di lingkungan yang mendukung namun keistiqomahan akan teruji manakala kita berada dalam keterbatasan dan perbedaan. Tak sedikit yang rapuh manakala mendapati kondisi yang berbeda dibanding biasa. Tapi itulah, di Dunia kita akan bertarung dengan segala bentuk kemodernan yang menyimpang.
Keterasingan yang identik dengan cap buruk. Kita rajin beribadah, akan dibilang sok alim. Kita menyampaikan kebenaran, akan dicap sok benar. Kita mengikuti sunnah rasul, maka keselamatan kita akan terancam.
Namun jangan pernah khawatir, karena Allah adalah penggenggam langit dan bumi. DIA tak akan pernah tidur akan semua peristiwa. Boleh jadi di Dunia kita teraniaya, tapi jika Allah tetap meridhoi apa yang akan kita lakukan dan kita tetap berada di jalanNya maka senantiasa di Akhirat kita akan menjadi pribadi yang istimewa yang selalu dirindukan oleh para penghuni langit. Kebahagiaan dan kesenangan bagi orang Mukmin akan Allah berikan di Akhirat nanti, sedang bagi orang yang lalai maka kesenangannya akan di berikan di Dunia.
Jadilah orang asing meskipun dengan berbagai stigma yang melekat. Baikkah atau burukkah itu. Karena Allah adalah sebaik-baik penilai. Harapkanlah nilai terbaik dari Allah, singgahkan pujian yang terlontar dari mulut manusia hanya kepadaNya. Karena sekali lagi Dunia adalah persinggahan. Maka janganlah menggandrunginya hingga lalai akan kampung keabadian yaitu Akhirat.
Allahua’lam
(http://www.eramuslim.com/oase-iman/kiptiah-terasing.htm)
Cukuplah kita mengisi perbekalan yang dibutuhkan dalam perjalanan panjang nanti.
Sedang Akhirat adalah tempat asing dan hanya untuk orang-orang asing dan berbahagialah bagi kita yang merasa asing. Asing dengan segala hiruk pikuk Dunia. Asing dengan ketaqwaan kita kepada Allah di tengah menjamurnya kemaksiatan.
"Siapa yang menikmati Dunia, akupun pernah merasakannya, kesegaran dan siksanya pun pernah aku rasakan, aku tak melihatnya kecuali tipuan dan kepahitan, Dunia tak lain adalah bangkai busuk, di atasnya terdapat anjing-anjing yang siap menyantapnya. Jika engkau menjauh darinya, maka kamu akan selamat. Dan jika engkau mengambilnya, anjing-anjing itu akan merebutmu. Maka tinggalkanlah saja semua sampah itu. Jiwa yang bertaqwa tak boleh terperosok kedalamnya."—Al Imam Asy Syafi’iSesungguhnya bagi orang Mukmin, kebahagiaan yang abadi akan ditangguhkan hingga alam Akhirat bukan di Dunia. Jadi jangan berkecil hati jika di Dunia mengalami kesulitan yang bertubi-tubi. Itu hanyalah suatu nuansa dalam perjalanan hidup seorang hamba guna mendekatkan diri pada Sang Pencipta.
Dengan kesulitan tersebut, akan terlihat manakah hamba yang benar-benar teringat akan Rabbnya dan mempersiapkan segalanya dengan sebaik-baiknya guna mendapatkan tempat terbaik di Akhirat kelak. Atau menjadi hamba yang menjadi kufur dan menjauh dari hakikat penciptaan manusia untuk selalu menyembahNya.
Sejatinya Dunia adalah tipuan, maka kita tak boleh tertipu olehnya. Dan Dunia adalah kepahitan, maka janganlah kita menelannya mentah-mentah tanpa merasakannya terlebih dahulu.
"Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi di rihoiNya. Maka masuklah kedalam jamaah hamba-hambaKu. Dan masuklah ke dalam SurgaKu." (QS. Al-Fajr [89] : 27-30)
Dunia dan segala pernak perniknya yang selalu di puja. Usianya yang semakin tua justru makin di idolakan oleh penghuninya dengan berbagai macam aksesoris guna memperindah, katanya. Meskipun mayoritas keindahan tersebut sangat bertolak belakang akan hakikat penciptaan manusia untuk beribadah kepada Allah. Dunia dengan berbagai polesan bagai penyihir yang mampu membuat kita mengabaikan kewajiban kita sebagai hamba. Terperosok ke dalam jurang yang digali sendiri.
"Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan Dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan." (QS. Al Kahfi [18] : 46)
Dalam kondisi seperti itu, kita akan memiliki nilai lebih jika kita mampu istiqomah akan segala perintah Allah. Karena keistiqomahan bukan dinilai manakala kita berasa di tempat dengan sarana dan prasarana atau yang memadai di lingkungan yang mendukung namun keistiqomahan akan teruji manakala kita berada dalam keterbatasan dan perbedaan. Tak sedikit yang rapuh manakala mendapati kondisi yang berbeda dibanding biasa. Tapi itulah, di Dunia kita akan bertarung dengan segala bentuk kemodernan yang menyimpang.
Keterasingan yang identik dengan cap buruk. Kita rajin beribadah, akan dibilang sok alim. Kita menyampaikan kebenaran, akan dicap sok benar. Kita mengikuti sunnah rasul, maka keselamatan kita akan terancam.
Namun jangan pernah khawatir, karena Allah adalah penggenggam langit dan bumi. DIA tak akan pernah tidur akan semua peristiwa. Boleh jadi di Dunia kita teraniaya, tapi jika Allah tetap meridhoi apa yang akan kita lakukan dan kita tetap berada di jalanNya maka senantiasa di Akhirat kita akan menjadi pribadi yang istimewa yang selalu dirindukan oleh para penghuni langit. Kebahagiaan dan kesenangan bagi orang Mukmin akan Allah berikan di Akhirat nanti, sedang bagi orang yang lalai maka kesenangannya akan di berikan di Dunia.
Jadilah orang asing meskipun dengan berbagai stigma yang melekat. Baikkah atau burukkah itu. Karena Allah adalah sebaik-baik penilai. Harapkanlah nilai terbaik dari Allah, singgahkan pujian yang terlontar dari mulut manusia hanya kepadaNya. Karena sekali lagi Dunia adalah persinggahan. Maka janganlah menggandrunginya hingga lalai akan kampung keabadian yaitu Akhirat.
Allahua’lam
(http://www.eramuslim.com/oase-iman/kiptiah-terasing.htm)
Ketika sedang mengajari anak-anak membaca Al-Qur an, betapa senang
dan kagumnya melihat mulut-mulut mungil mengeja belajar membaca Al-Qur
an meski dengan terbata. Kali ini kekaguman saya lebih kepada Ibu-Ibu
yang begitu gigih belajar meski dengan suara bergetar karena memang
sudah sepuh tapi tak mengurangi semangat mereka untuk bisa membaca
Al-Qur an dengan baik.
Saya lebih suka mengatakan benar-benar mereka adalah orang-orang terpilih bagaimana tidak dengan berbagai kesibukan yang tidak sedikit berusaha mencari sela ketika anak-anaknya belajar di sekolah bahkan harus meninggalkan tak sedikit pekerjaan rumah tangga mereka rela mengantri untuk 'talaqqi' surat-surat pendek.
Ada juga seorang Ibu yang sudah berusia senja tak kalah semangat, meski kadang secara fisik mereka sudah tidak segar lagi untuk berlama-lama duduk saja sulit, Subhanallah. Semoga Allah melimpahkan pahala yang berlipat atas segala semangat mereka untuk menuntut ilmu.
Dalam sebuah hadits shahih Muslim dikatakan, "Barangsiapa menempuh jalan dalam rangka menuntut ilmu, Allah akan memudahkan baginya dengan ilmu tersebut jalan menuju Surga". Bagaimana tidak, dalam menuntut ilmu adalah perkara yang tidak instan, perlu waktu, proses, dan tahapan-tahapan agar ilmu itu benar-benar nyangkut dalam otak kita belum lagi, pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, bahkan harta yang tidak sedikit semuanya butuh keshabaran dan proses. Semuai itulah yang Allah sukai sehingga memudahkan jalan ke Surga nanti.
Ketika kita masih muda adalah waktu terbaik untuk mengisi hari-hari dengan menuntut ilmu, terutama ilmu agama. Selain fisik masih kuat, otakpun masih cling mudah untuk menangkap, pernah dengar kan ada peribahasa belajar di waktu kecil (muda) bagai mengukir di atas batu, sedangkan belajar di waktu tua bagai mengukir di atas air. Sehingga imam Syafi'i pernah berkata, "hidup pemuda haruslah dengan ilmu dan takwa jika tidak maka kepemudaannya tidak berarti". juga dalam redaksi yang lain dikatakan, "Barangsiapa yang masa mudanya terlewati tanpa belajar (Ilmu dan Takwa) maka takbirkanlah padanya empat takbiran. Padahal empat takbiran itu hanyalah pada shalat jenazah, yaitu untuk orang yang sudah meninggal berarti ketika kita enggan untuk mencari ilmu sama aja dengan orang yang meninggal."
Sebuah penyemangat untuk kita beliaulah ulama zaman dahulu bernama Ibnu Zauji, ketika meninggal banyak sekali karya beliau, para ulama pun menghitung seluruh karya beliau jika dibagi dengan umurnya maka perhari Ibnu Zauji menghasilkan 14 lembar tulisan. Padahal jika dinalar tidak mungkin beliau lahir langsung bisa menulis, berarti paling tidak harus menunggu 7 tahun agar bisa menulis.
Tak banyak kata yang akan saya sampaikan cukuplah sabda Rasulullah saw, "Apabila kamu melewati taman-taman Surga, maka minumlah dengan puas." Para Sahabat bertanya, "Ya Rasulullah, apa yang dimaksud taman-taman Surga itu?" Nabi saw menjawab, "Majelis-majelis taklim (ilmu)." (HR. Ath-Thabari)
Semoga diri-diri kita termasuk orang-orang yang bersemangat dan ikhlas dalam menuntut ilmu (agama), sehingga Allah menghendaki kebaikan kepada kita. Seperti dalam hadits Bukhori dan Muslim, “Barangsiapa yang dikehendaki Allah suatu kebaikan, maka Dia akan memberikan pemahaman agama yang dalam kepadanya”.
Wallahu a’lam bishawwab.
(http://www.eramuslim.com/oase-iman/anindya-sugiyarto-jangan-pernah-puas-untuk-ilmu-dien.htm)
Saya lebih suka mengatakan benar-benar mereka adalah orang-orang terpilih bagaimana tidak dengan berbagai kesibukan yang tidak sedikit berusaha mencari sela ketika anak-anaknya belajar di sekolah bahkan harus meninggalkan tak sedikit pekerjaan rumah tangga mereka rela mengantri untuk 'talaqqi' surat-surat pendek.
Ada juga seorang Ibu yang sudah berusia senja tak kalah semangat, meski kadang secara fisik mereka sudah tidak segar lagi untuk berlama-lama duduk saja sulit, Subhanallah. Semoga Allah melimpahkan pahala yang berlipat atas segala semangat mereka untuk menuntut ilmu.
Dalam sebuah hadits shahih Muslim dikatakan, "Barangsiapa menempuh jalan dalam rangka menuntut ilmu, Allah akan memudahkan baginya dengan ilmu tersebut jalan menuju Surga". Bagaimana tidak, dalam menuntut ilmu adalah perkara yang tidak instan, perlu waktu, proses, dan tahapan-tahapan agar ilmu itu benar-benar nyangkut dalam otak kita belum lagi, pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, bahkan harta yang tidak sedikit semuanya butuh keshabaran dan proses. Semuai itulah yang Allah sukai sehingga memudahkan jalan ke Surga nanti.
Ketika kita masih muda adalah waktu terbaik untuk mengisi hari-hari dengan menuntut ilmu, terutama ilmu agama. Selain fisik masih kuat, otakpun masih cling mudah untuk menangkap, pernah dengar kan ada peribahasa belajar di waktu kecil (muda) bagai mengukir di atas batu, sedangkan belajar di waktu tua bagai mengukir di atas air. Sehingga imam Syafi'i pernah berkata, "hidup pemuda haruslah dengan ilmu dan takwa jika tidak maka kepemudaannya tidak berarti". juga dalam redaksi yang lain dikatakan, "Barangsiapa yang masa mudanya terlewati tanpa belajar (Ilmu dan Takwa) maka takbirkanlah padanya empat takbiran. Padahal empat takbiran itu hanyalah pada shalat jenazah, yaitu untuk orang yang sudah meninggal berarti ketika kita enggan untuk mencari ilmu sama aja dengan orang yang meninggal."
Sebuah penyemangat untuk kita beliaulah ulama zaman dahulu bernama Ibnu Zauji, ketika meninggal banyak sekali karya beliau, para ulama pun menghitung seluruh karya beliau jika dibagi dengan umurnya maka perhari Ibnu Zauji menghasilkan 14 lembar tulisan. Padahal jika dinalar tidak mungkin beliau lahir langsung bisa menulis, berarti paling tidak harus menunggu 7 tahun agar bisa menulis.
Tak banyak kata yang akan saya sampaikan cukuplah sabda Rasulullah saw, "Apabila kamu melewati taman-taman Surga, maka minumlah dengan puas." Para Sahabat bertanya, "Ya Rasulullah, apa yang dimaksud taman-taman Surga itu?" Nabi saw menjawab, "Majelis-majelis taklim (ilmu)." (HR. Ath-Thabari)
Semoga diri-diri kita termasuk orang-orang yang bersemangat dan ikhlas dalam menuntut ilmu (agama), sehingga Allah menghendaki kebaikan kepada kita. Seperti dalam hadits Bukhori dan Muslim, “Barangsiapa yang dikehendaki Allah suatu kebaikan, maka Dia akan memberikan pemahaman agama yang dalam kepadanya”.
Wallahu a’lam bishawwab.
(http://www.eramuslim.com/oase-iman/anindya-sugiyarto-jangan-pernah-puas-untuk-ilmu-dien.htm)
Pertama, hal penting yang perlu diperhatikan dalam menasehati saudara kita adalah masalah niat. Sampaikanlah nasehat semata-mata karena Allah, bukan karena tujuan keduniawian atau nafsu dan hasrat pribadi. Dengan begitu, kita tidak perlu berkecil hati bila nasehat kita tidak diterima dengan baik. Anggaplah respon negatif tersebut sebagai ujian kesabaran.
Pengalaman mengajarkan, orang-orang yang kecewa –sekalipun karena nasehat yang terbuka dan korektif- pada waktunya akan menghargai dan berterimakasih dalam hati mereka. Mengapa berkecil hati, bukankah nasehat itu ibarat pohon kebaikan yang kita tanam dan kita tidak tahu kapan akan tumbuh dan berbuah (QS. Al-A’raf:164).
Kedua, agar sebuah nasehat efektif, tunjukkanlah cinta, kasih sayang dan keikhlasan saat memberi nasehat. Hindari nada bicara yang menunjukan kebanggaan, celaan, olok-olok atau cemoohan. (QS. Al-Hujurat:11)
Ketiga, masalah pemilihan waktu yang tepat, perlu juga diperhatikan. Akhlak Islam menuntut kita menyampaikan nasehat secara pribadi, bukan di depan khalayak ramai, untuk menghindari timbulnya perasaan yang tidak baik. Tujuan nasehat adalah memperbaiki kelemahan dan menyempurnakan kekurangan seseorang, bukan mengumumkan dan mensosialisasikan kesalahannya.
Keempat, bersabar dan berhati-hati dalam menggunakan perkataan dan memilih suasana emosi yang tepat. Kita tidak boleh tersinggung atau kecewa jika nasehat kita tidak berpengaruh bagi orang lain. Mungkin semua itu membutuhkan waktu.
Kelima, jauhi pertentangan yang sia-sia. Adakalanya, pendapat kita salah dan pendapat orang yang kita beri nasehat itu benar. Dalam situasi ini, ubahlah tindakan memberi nasehat menjadi ajang bertukar pikiran dengan penuh persaudaraan. Ingatlah, tanggung jawab kita hanyalah memberi nasehat, bukan hidayah. Sebuah nasehat tak akan bermanfaat kecuali hanya dengan izin-Nya dan bergantung pula pada kadar keimanan penerima nasehat. Allah Swt berfirman, ”dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Adz-Dzariyat: 55)
Keenam, jadilah cermin yang detil dengan memberi informasi yang lebih spesifik. Misalnya nasehat tentang kebersihan masih bersifat global dan umum. Agar saudara kita menyadari masalahnya, sebutkan hal yang spesifik, misalnya nafas yang kurang sedap atau pakai yang kumal.
Dalam manajemen nasehat diperlukan kepekaan dan kearifan yang tinggi agar mencapai hasil optimal (QS. An-Nahl:125). Presiden Lincoln, lebih dari seratus tahun yang lalu, berkata, ”Orang lebih mudah menangkap lalat dengan sirop daripada dengan cuka.” Sesungguhnya ajaran Islam telah lebih dulu menganjurkan umatnya agar ‘menangkap orang’ dengan keramah-tamahan yang manis, bukan dengan gertakan-gertakan yang kecut, sekalipun terhadap anak dan orang kesayangan yang paling dekat. Ini misteri hati yang sangat lemah dan rapuh dalam menghadapi kelembutan.
Allah Swt membekali Nabi Muhammad Saw dengan sifat kelembutan untuk berdakwah menghadapi umatnya (QS. Ali-Imran: 159). Itulah sebabnya dalam beberapa kisah, seringkali orang-orang yang diberikan nasehat oleh Nabi Saw meresponnya sambil mengungkapkan perasaan bahwa orang itu mencintai nabi. Sungguh ini bukan sekedar buah dari nasehat yang berlogika tajam dan cerdas, melainkan nasehat itu bersandar pada sifat kelemah-lembutan yang bisa langsung menyentuh dasar hati penerima nasehat.
Pelajaran ini, insya Allah membuka mata dan kesadaran kita akan dampak dari pemberian nasehat berbobot yang disampaikan dengan penuh kelembutan. Bila hal ini dilakukan secara berkelanjutan dan berulang-ulang, tanpa disadari, diantara pemberi dan penerima nasehat, akan tumbuh jalinan ikatan kasih sayang maupun persaudaraan yang semakin kuat.
Sejauh ini, bila interaksi nasehat menasehati terjadi diantara sesama laki-laki, maupun sesama wanita, dampak dari sikap lembut dan ramah selalu bernilai positif. Akan tetapi, fakta lapangan seringkali menunjukkan hal yang ’negatif’ bila aktifitas saling menasehati terjadi antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Kedekatan yang berawal dari motivasi yang ikhlas perlahan-lahan terkontaminasi oleh rasa ketertarikan yang berhembus dari nafsu dan hasrat pribadi.
Nasehat yang mulanya mengalir tulus tanpa mengharapkan sesuatu kecuali ingin memperbaiki kekurangan saudaranya, sedikit demi sedikit bergeser menjadi pengharapan akan penerimaan yang lebih dalam.
Perhatian yang berlebihan (dalam konotasi negatif) dan rasa ingin selalu dekat selalu bercampur dengan semangat keikhlasan saat ingin memberikan nasehat. Ketergantungan seketika tercipta, seolah-olah hanya sang penasehat yang mampu menasehati dirinya. Lebih jauh lagi, pengakuan verbal sebagai satu-satunya penasehat spiritual acapkali mendorong keinginan untuk memberikan ’wewenang’ tambahan kepada sang penasehat agar mau berperan lebih yaitu sebagai penasehat pribadi dalam rumah tangga.
Kita tidak hendak membahas pro dan kontra dari akibat aktifitas saling menasehati antara lawan jenis, kecuali sekedar menunjukkan benang merah hubungan sebab akibat antara sikap lembut dalam menasehati dan hasrat ketertarikan dari dorongan nafsu manusiawi.
Satu hal yang perlu dicermati adalah bahwa kita membutuhkan persiapan dan kewaspadaan ekstra di dalam hati ketika memutuskan untuk terjun dalam wilayah saling menasehati kepada seseorang (dakwah fardiyah) yang berbeda jenis dengan kita. Tanpa kematangan dan kekokohan spiritual yang mantab, sebaiknya urungkan niat anda untuk masuk terlalu dalam ke wilayah ini. Yang pasti, syetan selalu mengintai dan berupaya mencari celah-celah kelalaian dan kelengahan dalam semua aktifitas amal sholeh yang dilakukan oleh setiap hamba Allah. Semoga Allah Swt selalu melindungi kita semua dari godaan syetan yang terkutuk. Wallahu’alam bishawab.
(http://www.eramuslim.com/oase-iman/pram-umar-abdillah-nasehat-dan-kelembutan.htm)
“Jadi orang beriman itu keren nak”
Demikian kira-kira perkataanku kepada anak-anakku yang beranjak remaja. Aku ingin mengajarkan kepada mereka bahwa menjadi orang beriman itu berarti menjadi orang unggulan. Menjadi orang yang menunggangi ombak peradaban. Namun mengajarkan hal itu tidaklah mesti di ruang-ruang kelas, formal, dan melulu teori. Banyak cara untuk melakukannya. Alhamdulillah, aku berkesempatan membuktikan kata-kata tersebut. Berulang kali malah. Salah satu kesempatan muncul saat libur lebaran kemarin.
Salah satu tempat yang kami kunjungi saat lebaran adalah danau kecil di pinggiran kota Bogor. Danau tersebut berada di salah satu kompleks yang teramat luas. Menyempit dan melebar secara alami, menambah keelokan danau dan sekitarnya. Di pinggiran ada taman yang ditanami rerumputan yang menghijau, lengkap dengan jalan setapak. Jalan itu jelas diniatkan agar dapat disusuri oleh siapa saja, yang ingin berjalan santai sambil menikmati panorama danau. Ada pula pepohonan yang tumbuh rimbun, memberikan kesempatan kepada siapa saja yang ingin berteduh di bawahnya. Mungkin sambil ngemil, atau sambil membaca buku, atau sambil berdzikir.
Di seberang, terlihat deretan pepohonan yang menghijau, rapat, dan selalu ditingkahi suara burung yang bersenandung bebas.
Tempat yang begitu indah, yang bisa dikunjungi tanpa uang masuk, tentu memancing banyak orang untuk datang. Dan memang hari itu cukup ramai orang berkunjung. Keramaian ini juga membuat banyaknya pedagang berdatangan. Dan disinilah ‘masalah’ mulai muncul.
Keindahan danau dan sekitarnya sayangnya tidak diimbangi dengan keelokan prilaku sebagaian pengunjung. Tengoklah ulah mereka. Berbagai sampah bertebaran begitu saja. Padahal tempat sampah mudah dijangkau. Sampah bekas makanan, kaleng-kaleng bekas minuman, plastik, kertas, puntung rokok, bertebaran di seantero taman pinggir danau.
Di pojok sana, seorang anak kecil dengan tenang pipis di bawah pohon. Entah kemana orang tuanya.
Pengendara motor lalu lalang di jalur yang seharusnya untuk pejalan kaki. Yang lainnya memarkir motor di rerumputan. Lainnya lagi men-starter motornya dengan keras, tanpa peduli ada orang di belakangnya yang sedang makan.
Orang merokok tanpa peduli apakah asapnya mengganggu orang lain atau tidak.
Sambil berjalan santai bersama salah satu anakku, kutanyakan padanya tentang hadist kebersihan, sambil memandangi prilaku orang-orang di sekitar kami. Tentu saja ia ingat. Semua anak yang pernah mengaji tentu ingat bahwa kebersihan adalah sebagian dari keimanan.
Inilah salah satu kesempatan untuk melihat salah satu ekspresi keimanan. Inilah salah cara kami belajar. Dengan santai, kukatakan bahwa bersih adalah salah satu indikator keimanan. Bahkan salah satu indikator yang mungkin paling mudah terlihat.
Islam mengajarkan kita berwudlu sebelum sholat. Itu artinya fisik kita harus bersih sebelum sholat. Pakaian kita juga harus bersih, bahkan kalau bisa wangi, seperti nabi anjurkan. Tempat sholat harus bersih, tempat wudlunya juga. Itu artinya kamar atau musholla haruslah bersih. Dan itu semua seharusnya mewarnai gaya hidup kita sehari-hari. Artinya, jika seseorang serius dalam beriman, seharusnya keindahan akan memancar dari dirinya. Keindahan yang merupakan perpaduan dari kebersihan, kerapihan, dan ketertataan.
Maka, jika sebaliknya yang tampak, yaitu berantakan, kotor, dan semaunya sendiri, sesungguhnya semua itu adalah indikasi yang jelas bahwa ada cacat pada keimanan seseorang. Maka jika hal itu menimpa suatu komunitas atau masyarakat, dapat dikatakan secara kolektif ada yang cacat pada ekspresi keimanan masyarakat tersebut.
Apakah karena sebagian besar yang datang ke danau ini adalah warga kampung sekitar yang relatif kurang berada? Saya kira tidak. Tengoklah itu. Sebuah mobil mewah melintas. Pengendaranya membuka kaca jendela, dan melempar bungkus entah apa ke pinggir jalan. Begitu saja. Orang kaya dan berpenampilan mewah tidak dengan sendirinya menjadi lebih beradab. Sebaliknya, orang yang terbatas rizkinya juga tidak dengan sendirinya menjadi kurang beradab.
Apakah karena tempat ini tidak dikelola dengan baik? Mungkin saja. Namun, jika kesadaran masyarakatnya —baca: tingkat keimanan— sudah tinggi, kiranya masalah ini tidak perlu ada. Jika masing-masing individu bertanggung jawab terhadap kebersihan masing-masing, masalah ini dengan sendirinya selesai.
Kenapa bisa begitu ya? Kan mereka juga Muslim? Tanya anak-anakku.
Lalu, apa yang seharusnya kita lakukan? Demikian lanjutan bunyi pertanyaan mereka.
Soal mengapa mereka begini dan begitu, bisa banyak teori yang dikemukakan. Walaupun dengan sederhana dapat dikatakan bahwa ada yang gagal, atau salah, dalam pendidikan keislaman dan keimanan sebagian besar umat Islam. Namun pembahasan itu semua tidak ada artinya jika kemudian kita termasuk bagian dari masalah itu sendiri.
Jadi, yang utama dan pertama, tentu saja, kita jangan menambah masalah dengan ikut-ikutan menambah kekotoran. Meski tempat ini sudah kadung kotor, bukan alasan bagi kita untuk membuang sampah seenaknya.
Jadi, dengan cermat, sampah yang kami hasilkan kami kumpulkan, dan kami buang ke tempat yang tersedia.
Meski pun apa yang kami lakukan, yaitu dengan menjaga kebersihan, tidak dengan serta merta membuat lingkungan danau seketika menjadi bersih, setidaknya kebersihan dalam hati kami tetap terpelihara. Kami meniatkan memelihara kebersihan di hati, sebagai bagian dari memelihara keimanan kami. Sebab sejatinya, urusan ini adalah urusan antara kami dan Rabb kami.
(http://www.eramuslim.com/oase-iman/sabrul-jamil-beriman-itu-keren.htm)
Demikian kira-kira perkataanku kepada anak-anakku yang beranjak remaja. Aku ingin mengajarkan kepada mereka bahwa menjadi orang beriman itu berarti menjadi orang unggulan. Menjadi orang yang menunggangi ombak peradaban. Namun mengajarkan hal itu tidaklah mesti di ruang-ruang kelas, formal, dan melulu teori. Banyak cara untuk melakukannya. Alhamdulillah, aku berkesempatan membuktikan kata-kata tersebut. Berulang kali malah. Salah satu kesempatan muncul saat libur lebaran kemarin.
Salah satu tempat yang kami kunjungi saat lebaran adalah danau kecil di pinggiran kota Bogor. Danau tersebut berada di salah satu kompleks yang teramat luas. Menyempit dan melebar secara alami, menambah keelokan danau dan sekitarnya. Di pinggiran ada taman yang ditanami rerumputan yang menghijau, lengkap dengan jalan setapak. Jalan itu jelas diniatkan agar dapat disusuri oleh siapa saja, yang ingin berjalan santai sambil menikmati panorama danau. Ada pula pepohonan yang tumbuh rimbun, memberikan kesempatan kepada siapa saja yang ingin berteduh di bawahnya. Mungkin sambil ngemil, atau sambil membaca buku, atau sambil berdzikir.
Di seberang, terlihat deretan pepohonan yang menghijau, rapat, dan selalu ditingkahi suara burung yang bersenandung bebas.
Tempat yang begitu indah, yang bisa dikunjungi tanpa uang masuk, tentu memancing banyak orang untuk datang. Dan memang hari itu cukup ramai orang berkunjung. Keramaian ini juga membuat banyaknya pedagang berdatangan. Dan disinilah ‘masalah’ mulai muncul.
Keindahan danau dan sekitarnya sayangnya tidak diimbangi dengan keelokan prilaku sebagaian pengunjung. Tengoklah ulah mereka. Berbagai sampah bertebaran begitu saja. Padahal tempat sampah mudah dijangkau. Sampah bekas makanan, kaleng-kaleng bekas minuman, plastik, kertas, puntung rokok, bertebaran di seantero taman pinggir danau.
Di pojok sana, seorang anak kecil dengan tenang pipis di bawah pohon. Entah kemana orang tuanya.
Pengendara motor lalu lalang di jalur yang seharusnya untuk pejalan kaki. Yang lainnya memarkir motor di rerumputan. Lainnya lagi men-starter motornya dengan keras, tanpa peduli ada orang di belakangnya yang sedang makan.
Orang merokok tanpa peduli apakah asapnya mengganggu orang lain atau tidak.
Sambil berjalan santai bersama salah satu anakku, kutanyakan padanya tentang hadist kebersihan, sambil memandangi prilaku orang-orang di sekitar kami. Tentu saja ia ingat. Semua anak yang pernah mengaji tentu ingat bahwa kebersihan adalah sebagian dari keimanan.
Inilah salah satu kesempatan untuk melihat salah satu ekspresi keimanan. Inilah salah cara kami belajar. Dengan santai, kukatakan bahwa bersih adalah salah satu indikator keimanan. Bahkan salah satu indikator yang mungkin paling mudah terlihat.
Islam mengajarkan kita berwudlu sebelum sholat. Itu artinya fisik kita harus bersih sebelum sholat. Pakaian kita juga harus bersih, bahkan kalau bisa wangi, seperti nabi anjurkan. Tempat sholat harus bersih, tempat wudlunya juga. Itu artinya kamar atau musholla haruslah bersih. Dan itu semua seharusnya mewarnai gaya hidup kita sehari-hari. Artinya, jika seseorang serius dalam beriman, seharusnya keindahan akan memancar dari dirinya. Keindahan yang merupakan perpaduan dari kebersihan, kerapihan, dan ketertataan.
Maka, jika sebaliknya yang tampak, yaitu berantakan, kotor, dan semaunya sendiri, sesungguhnya semua itu adalah indikasi yang jelas bahwa ada cacat pada keimanan seseorang. Maka jika hal itu menimpa suatu komunitas atau masyarakat, dapat dikatakan secara kolektif ada yang cacat pada ekspresi keimanan masyarakat tersebut.
Apakah karena sebagian besar yang datang ke danau ini adalah warga kampung sekitar yang relatif kurang berada? Saya kira tidak. Tengoklah itu. Sebuah mobil mewah melintas. Pengendaranya membuka kaca jendela, dan melempar bungkus entah apa ke pinggir jalan. Begitu saja. Orang kaya dan berpenampilan mewah tidak dengan sendirinya menjadi lebih beradab. Sebaliknya, orang yang terbatas rizkinya juga tidak dengan sendirinya menjadi kurang beradab.
Apakah karena tempat ini tidak dikelola dengan baik? Mungkin saja. Namun, jika kesadaran masyarakatnya —baca: tingkat keimanan— sudah tinggi, kiranya masalah ini tidak perlu ada. Jika masing-masing individu bertanggung jawab terhadap kebersihan masing-masing, masalah ini dengan sendirinya selesai.
Kenapa bisa begitu ya? Kan mereka juga Muslim? Tanya anak-anakku.
Lalu, apa yang seharusnya kita lakukan? Demikian lanjutan bunyi pertanyaan mereka.
Soal mengapa mereka begini dan begitu, bisa banyak teori yang dikemukakan. Walaupun dengan sederhana dapat dikatakan bahwa ada yang gagal, atau salah, dalam pendidikan keislaman dan keimanan sebagian besar umat Islam. Namun pembahasan itu semua tidak ada artinya jika kemudian kita termasuk bagian dari masalah itu sendiri.
Jadi, yang utama dan pertama, tentu saja, kita jangan menambah masalah dengan ikut-ikutan menambah kekotoran. Meski tempat ini sudah kadung kotor, bukan alasan bagi kita untuk membuang sampah seenaknya.
Jadi, dengan cermat, sampah yang kami hasilkan kami kumpulkan, dan kami buang ke tempat yang tersedia.
Meski pun apa yang kami lakukan, yaitu dengan menjaga kebersihan, tidak dengan serta merta membuat lingkungan danau seketika menjadi bersih, setidaknya kebersihan dalam hati kami tetap terpelihara. Kami meniatkan memelihara kebersihan di hati, sebagai bagian dari memelihara keimanan kami. Sebab sejatinya, urusan ini adalah urusan antara kami dan Rabb kami.
(http://www.eramuslim.com/oase-iman/sabrul-jamil-beriman-itu-keren.htm)
Keputusasaan bisa jadi merupakan awal dari segala ‘bencana’. Mengapa?
Karena sekian banyak orang bisa tiba-tiba berubah nekat untuk melakukan
berbagai hal yang (biasanya) mencelakakan dirinya sendiri, akibat dari
rasa putus asa. Tidak bisa dipungkiri, bahwa setiap kali permasalahan
mendera, dalam hati kita masing-masing mungkin akan terbersit niat-niat
tertentu yang tidak baik.
Namanya saja manusia, tak pernah bisa luput dari salah dan khilaf. Ada saja ‘terpeleset’nya sehingga sesuatu hal yang tidak baik yang kita lakukan, bisa-bisa mengantarkan akhir hidup kita ke dalam jurang neraka, lepas dari berapapun banyaknya amalan baik yang pernah kita lakukan sebelumnya.
Saya teringat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yang menceritakan tentang proses penciptaan manusia. Manusia diciptakan Allah bermula dari setetes air mani, lalu menjadi segumpal darah, lalu menjadi segumpal daging, kemudian diutuslah seorang malaikat yang bertugas untuk meniupkan ruh padanya, dan mencatatkan empat hal yang sudah ditentukan. Yaitu rezekinya, ajalnya, amalannya, dan susah serta senangnya. Dan sesungguhnya tiap manusia ada yang melakukan amalan-amalan kebaikan hingga mendekatkan dirinya pada surga dengan jarak hanya sehasta, namun takdir mendahuluinya hingga ia melakukan amal perbuatan buruk yang akhirnya memasukkannya ke dalam neraka.
Demikian pula sebaliknya. Ada manusia yang melakukan amalan-amalan keburukan, hingga mendekatkan dirinya pada neraka dengan jarak hanya sehasta, namun takdir mendahuluinya hingga ia melakukan amal perbuatan baik yang akhirnya memasukkannya ke dalam neraka. Hadits tersebut dikumpulkan oleh Imam Nawawi dalam kumpulan Hadits Arbain, menempati urutan nomor empat.
Sungguh sangat menyentil isi hadits di atas. Kehidupan manusia di dunia memang tak bisa dinilai hanya dari apa yang diperbuatnya semasa hidup saja. Melainkan ada ketetapan Allah berupa takdir yang nantinya akan mengarahkannya.
Dan dengan berbekal akal serta keimanan, seharusnya kita sebagai manusia bisa mengarahkan segenap anggota tubuh kita untuk terus melakukan kebaikan dan hanya kebaikan saja, sehingga kita terhindar dari akhir yang buruk, atau katakanlah mati dengan sangat tercela. Na’udzubillahi min dzaalik. Berlindunglah pada Allah dari bisikan-bisikan setan yang senantiasa menjerumuskan manusia ke dalam perbuatan-perbuatan yang tidak Allah ridai.
Kembali mengenai keputusasaan. Tak sedikit orang yang ‘terjebak’ dalam keputusasaan, sehingga akhirnya ia ‘memutus’ kebaikan yang selama ini ia lakukan, hingga misalnya mengambil jalan pintas berupa mencuri, berbohong, memfitnah, melakukan segala cara demi mencapai hasil, sampai kepada tindakan bunuh diri.
Padahal bisa jadi, kesulitan yang ia alami tak kunjung muncul penyelesaiannya karena ikhtiar yang kurang, atau kurang mendekatkan diri pada Allah. Sesungguhnya Allah akan menguji keimanan tiap-tiap diri kita dengan berbagai jenis ujian. Dan apabila kita ‘memutuskan’ untuk berputus asa, detik itu pula kita memilih untuk menutup pintu solusi bagi permasalahan yang sedang kita hadapi.
Menghapus sikap optimis yang sebenarnya bisa ditumbuhkan, dan mencegah akal kita untuk berkreasi mencari jalan ke luar. Memilih untuk berputus asa sesungguhnya hanya akan ‘mematikan’ diri kita secara maknawi. Dan memang, menghadapi ujian dan cobaan itu tak bisa tanpa kesabaran dan kekuatan iman. Dan kesabaran sungguh tidak boleh dibatas-batasi dengan seenaknya.
Berputus asa, berarti menyerah. Seseorang yang yakin akan rahmat dan pertolongan Allah sedianya akan selalu bersikap optimis, dan tak pernah putus dari upaya keras serta doa. Masalah dikabulkan dan mendapat kemudahan, itu soal lain. Memang kadang-kadang apa yang kita tidak sukai, bisa jadi itu adalah yang terbaik untuk diri kita yang telah Allah tentukan, demi untuk kebaikan diri kita sendiri.
Dan sebaliknya, apa yang kita sukai belum tentu merupakan hal yang terbaik bagi diri kita. Jadi, sungguh kasih sayang Allah amat besar bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, apabila mereka mau berpikir.
Menjauhkan diri dari sikap putus asa bisa jadi merupakan salah satu upaya kita untuk tidak ‘mengakhiri’ hidup dengan kesia-siaan. Bukankah kita selalu berdoa untuk mendapatkan akhir hidup yang husnul khatimah? Apa artinya sebuah doa tanpa upaya yang kita sendiri lakukan? Maka lindungilah diri kita, ke luarga, serta orang-orang yang kita sayangi dari jebakan setan yang satu itu. Jangan berputus asa, sebab Allah selalu bersama kita.
Kesulitan yang kita hadapi sekarang, bisa jadi menyimpan hikmah dan kebahagiaan di masa mendatang. Berbaik sangka sungguh lebih nikmat daripada mengotori jiwa-jiwa kita dengan rasa was-was dan pikiran-pikiran buruk.
Jagalah tiap diri kita dari amalan buruk yang bisa mengantarkan kita ke dalam jurang neraka. Wallahu a’lam bish showab.
(http://www.eramuslim.com/oase-iman/amal-yang-mengantar-kita-ke-neraka.htm)
Namanya saja manusia, tak pernah bisa luput dari salah dan khilaf. Ada saja ‘terpeleset’nya sehingga sesuatu hal yang tidak baik yang kita lakukan, bisa-bisa mengantarkan akhir hidup kita ke dalam jurang neraka, lepas dari berapapun banyaknya amalan baik yang pernah kita lakukan sebelumnya.
Saya teringat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yang menceritakan tentang proses penciptaan manusia. Manusia diciptakan Allah bermula dari setetes air mani, lalu menjadi segumpal darah, lalu menjadi segumpal daging, kemudian diutuslah seorang malaikat yang bertugas untuk meniupkan ruh padanya, dan mencatatkan empat hal yang sudah ditentukan. Yaitu rezekinya, ajalnya, amalannya, dan susah serta senangnya. Dan sesungguhnya tiap manusia ada yang melakukan amalan-amalan kebaikan hingga mendekatkan dirinya pada surga dengan jarak hanya sehasta, namun takdir mendahuluinya hingga ia melakukan amal perbuatan buruk yang akhirnya memasukkannya ke dalam neraka.
Demikian pula sebaliknya. Ada manusia yang melakukan amalan-amalan keburukan, hingga mendekatkan dirinya pada neraka dengan jarak hanya sehasta, namun takdir mendahuluinya hingga ia melakukan amal perbuatan baik yang akhirnya memasukkannya ke dalam neraka. Hadits tersebut dikumpulkan oleh Imam Nawawi dalam kumpulan Hadits Arbain, menempati urutan nomor empat.
Sungguh sangat menyentil isi hadits di atas. Kehidupan manusia di dunia memang tak bisa dinilai hanya dari apa yang diperbuatnya semasa hidup saja. Melainkan ada ketetapan Allah berupa takdir yang nantinya akan mengarahkannya.
Dan dengan berbekal akal serta keimanan, seharusnya kita sebagai manusia bisa mengarahkan segenap anggota tubuh kita untuk terus melakukan kebaikan dan hanya kebaikan saja, sehingga kita terhindar dari akhir yang buruk, atau katakanlah mati dengan sangat tercela. Na’udzubillahi min dzaalik. Berlindunglah pada Allah dari bisikan-bisikan setan yang senantiasa menjerumuskan manusia ke dalam perbuatan-perbuatan yang tidak Allah ridai.
Kembali mengenai keputusasaan. Tak sedikit orang yang ‘terjebak’ dalam keputusasaan, sehingga akhirnya ia ‘memutus’ kebaikan yang selama ini ia lakukan, hingga misalnya mengambil jalan pintas berupa mencuri, berbohong, memfitnah, melakukan segala cara demi mencapai hasil, sampai kepada tindakan bunuh diri.
Padahal bisa jadi, kesulitan yang ia alami tak kunjung muncul penyelesaiannya karena ikhtiar yang kurang, atau kurang mendekatkan diri pada Allah. Sesungguhnya Allah akan menguji keimanan tiap-tiap diri kita dengan berbagai jenis ujian. Dan apabila kita ‘memutuskan’ untuk berputus asa, detik itu pula kita memilih untuk menutup pintu solusi bagi permasalahan yang sedang kita hadapi.
Menghapus sikap optimis yang sebenarnya bisa ditumbuhkan, dan mencegah akal kita untuk berkreasi mencari jalan ke luar. Memilih untuk berputus asa sesungguhnya hanya akan ‘mematikan’ diri kita secara maknawi. Dan memang, menghadapi ujian dan cobaan itu tak bisa tanpa kesabaran dan kekuatan iman. Dan kesabaran sungguh tidak boleh dibatas-batasi dengan seenaknya.
Berputus asa, berarti menyerah. Seseorang yang yakin akan rahmat dan pertolongan Allah sedianya akan selalu bersikap optimis, dan tak pernah putus dari upaya keras serta doa. Masalah dikabulkan dan mendapat kemudahan, itu soal lain. Memang kadang-kadang apa yang kita tidak sukai, bisa jadi itu adalah yang terbaik untuk diri kita yang telah Allah tentukan, demi untuk kebaikan diri kita sendiri.
Dan sebaliknya, apa yang kita sukai belum tentu merupakan hal yang terbaik bagi diri kita. Jadi, sungguh kasih sayang Allah amat besar bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, apabila mereka mau berpikir.
Menjauhkan diri dari sikap putus asa bisa jadi merupakan salah satu upaya kita untuk tidak ‘mengakhiri’ hidup dengan kesia-siaan. Bukankah kita selalu berdoa untuk mendapatkan akhir hidup yang husnul khatimah? Apa artinya sebuah doa tanpa upaya yang kita sendiri lakukan? Maka lindungilah diri kita, ke luarga, serta orang-orang yang kita sayangi dari jebakan setan yang satu itu. Jangan berputus asa, sebab Allah selalu bersama kita.
Kesulitan yang kita hadapi sekarang, bisa jadi menyimpan hikmah dan kebahagiaan di masa mendatang. Berbaik sangka sungguh lebih nikmat daripada mengotori jiwa-jiwa kita dengan rasa was-was dan pikiran-pikiran buruk.
Jagalah tiap diri kita dari amalan buruk yang bisa mengantarkan kita ke dalam jurang neraka. Wallahu a’lam bish showab.
(http://www.eramuslim.com/oase-iman/amal-yang-mengantar-kita-ke-neraka.htm)

ALAM remaja adalah alam yang sangat menantang, sehingga disebut nabi dalam satu daftar orang terkenal akhirat adalah remaja yang selamat dan menyelamatkan diri dari zina.
Sebagai satu agama yang amat hebat, Islam menampilkan cara pengaturan yang sangat efisien dalam mengatasi penyakit seksual yaitu sebagaimana dalam firman Allah yang kita baca pada, kata 'jangan kamu dekati zina.'
Kalau mendekati saja sudah dilarang dan dicegah, apalagi melakukannya. Mendekati berarti apa saja perbuatan yang menjadi penyebab, pendorong, keinginan dan sebagainya, adalah haram.
Jika ada pendorong, keinginan mudah datang ditambah bisikan setan yang menggoda pula, terjadilah perbuatan terkutuk yang setiap hari kita lihat dan dengar yaitu remaja melahirkan anak diluar nikah.
Semuanya dimulai dengan pergaulan bebas tanpa batas. Berteman tidak salah, yang salah adalah bila melampaui batas.
Kali ini penulis tampilkan batas-batas dalam pergaulan agar menjadi bimbingan kepada semua remaja, yaitu:
1. Pandangan
2. Pertemuan
3. Percakapan
4. Berjabat tangan
5. Bersentuhan badan
Pandangan
Pandangan yang dimaksud di sini adalah pandangan yang biasa bukan bertujuan untuk menimbulkan hawa nafsu apakah dari pihak pria atau perempuan.
Untuk kaum pria, Allah memberi peringatan di dalam firman-Nya dalam Surah An-Nur ayat 30 yang artinya: "Katakanlah (wahai Muhammad) kepada orang-orang lelaki yang beriman, hendaklah mereka memejamkan setengah dari pandangan mereka ..."
Untuk kaum perempuan juga Allah memberi peringatan-Nya sebagaimana maksud An-Nur ayat 31 "Katakanlah (wahai Muhammad) kepada orang-orang perempuan yang beriman harus mereka memejamkan (tidak tengok) setengah dari pandangan mereka ..." dari kedua ayat itu kita dapat menafsirkan bahwa kita bisa memandang seseorang yang berbeda jenis kelamin sekedar yang perlu saja.
Pandangannya pula tidak berlebihan atau memandang melampaui batas sehingga menerbitkan nafsu sama lain. Hanya dengan pandangan saja kita percaya hawa nafsu akan menguasai dan setan mudah menggoda akhirnya mendorong mereka ke arah kancah maksiat.
Pertemuan
Maksud pertemuan di antara pria dan perempuan yang bukan mahramnya di tempat sunyi.
Dalam konteks hari ini lebih di kenal dengan istilah 'khalwat' menurut kebiasaannya saat dua orang yang bukan mahramnya bertemu di tempat sunyi, mereka akan mudah terdorong untuk melakukan maksiat.
Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda: "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat maka janganlah ia melakukan pertemuan dengan seorang perempuan tanpa disertai mahramnya karena sesungguhnya yang ketiga itu tentulah setan." (Riwayat Bukhari, Muslim dan lain-lain)
Dari hadits di atas dapat kita menyimpulkan bahwa Allah melarang pertemuan di antara pria dan perempuan yang bukan mahramnya di tempat-tempat sunyi dan jauh dari pandangan orang banyak.
Percakapan
Percakapan atau pembicaraan yang dimaksud di sini adalah ketika dua orang individu yang bukan mahramnya bertemu dan berbicara dengan tujuan tertentu yang bisa mendatangkan kecurigaan.
Dalam soal ini bukan berarti antara pria dan perempuan tidak untuk bergaul dan berbicara, Islam tidak melarangnya, tetapi percakapan yang diizinkan adalah memiliki tujuan yang tertentu atau urusan yang penting saja.
Larangan itu dibuat semata-mata untuk menghindari pandangan miring atau fitnah orang terutama kaum perempuan.
Berjabat Tangan
Berjabat tangan artinya mengulurkan dan menyambut tangan orang lain tanda hubungan silaturahim antara mereka, perlakuan itu meliputi pria dengan pria dan perempuan dengan perempuan atau sebaliknya.
Menurut Islam hukum berjabat tangan antara pria dan perempuan yang bukan mahramnya adalah haram. Siti Aisyah ra ada berkata: "... demi Allah, tidak pernah Rasulullah menyentuh tangan seorang perempuan lain yang bukan mahramnya, hanya beliau membai'ah mereka dengan percakapan." (Riwayat Imam Ahmad)
Bersentuhan Badan
Bersentuhan badan berarti ketika terjadi pertemuan setiap anggota tubuh antara pria dan perempuan yang bukan mahramnya.
Sentuhan di sini lebih berarti sentuhan dengan sengaja, lebih-lebih lagi sampai menerbitkan keinginan nafsu. Rasulullah saw pernah bersabda yang maksudnya: "Sesungguhnya jika kepala seseorang dari kamu ditikam dengan jarum besi, itu lebih baik baginya sentuh seorang perempuan yang tidak halal baginya."
Dari hadits di atas dapatlah kita menentukan bahwa persentuhan badan antara pria dan perempuan bukan mahram adalah dilarang keras Allah
Ustaz Zawawi Yusoh
(http://www.islamituindah.my/batas-pergaulan-lelaki-dan-perempuan)

Buat apa sebenarnya memakai jilbab? Apa yang menjadi dasar ketika mereka memutuskan untuk menggunakannya?
Ayat diataskah yang mendasari keputusan itu? Atau hanya sekadar trend mode saat ini? Karena mulai banyak para perempuan yang menggunakannya saat ini, walaupun cara menggunakannya masih belum benar–benar sesuai syariat. Yah… masih lumayanlah dibandingkan dengan yang sama sekali belum menggunakannya.
Tapi kalau buka tutup bagaimana pula ya?
Ini masalahnya. Jilbab sebenarnya bukan trend pakaian masa kini yang bisa ditiru saat sedang trend, lalu dilepaskan lagi saat trend itu habis. Jilbab adalah kewajiban bagi seorang Muslimah yang sudah baligh. Sama wajibnya dengan keharusannya menegakkan sholat. Tidak bisa digunakan sesuka hati karena ALLAH sudah menetapkan aturannya dengan jelas.
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain tudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada ALLAH, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”(QS 24:31)
Tadi sudah dibahas bahawa sebenarnya jilbab itu adalah kewajiban yang harus ditunaikan oleh keseluruh kaum muslimah. Bukan pilihan karena merasa sudah siap, atau alasan lainnya. Karena saat ini ramai yang belum menggunakannya karena merasa lebih baik membenahi diri dulu baru berjilbab.
Masalahnya adalah waktu yang kita tidak tahu sampai bila akan bisa kita jalani. Sementara membenahi diri adalah kewajiban yang harus kita lakukan setiap saat tanpa ada akhirnya? Apakah ada seseorang yang merasa dirinya sudah soleh, sudah baik, dan sudah sempurna?
Lalu bila kita akan menyempurnakan keimanan kita bila terus menerus menggunakan dalih seperti diatas?
Karena sampai bila kita hidup pun kita tidak akan pernah tahu. Sementara selama kita hidup, kewajiban kita adalah terus memperbaiki diri, karena pada dasarnya manusia tidaklah sempurna. Lalu mereka yang berdalih memperbaiki diri dulu baru berjilbab atau menunggu datangnya hidayah (padahal hidayah itu harus dijemput dengan keimanan kita, bukan ditunggu!) bagaimana? Sempatkah menyempurnakan perintah-NYA?
Jilbab adalah saksiyyah (jati diri) wanita Islam, mahkota yang harus dijunjung tinggi. Jika seorang wanita telah memutuskan untuk berjilbab, maka ia harus siap dengan segala rintangannya atau ujian dari ALLAH.
Siap menjaga sikap dan perilakunya. Ini karena, jika seseorang wanita berjilbab melakukan hal-hal yang tidak semestinya, maka yang dituding bukan hanya diri wanita itu, tetapi jilbab dan Islam. Contohnya, jika seorang wanita berjilbab merokok di tempat umum, maka masyarakat akan berkata “Tu kan, dah berjilbab tapi merokok?” Jilbab dan Islam mendapat kesan negatif. Terlepas dari segala pembahasan tentang hak asasi seseorang untuk bebas melakukan apapun sepanjang tidak mengganggu kepentingan orang lain, wanita yang telah memutuskan untuk berjilbab hendaknya menjaga adab perilaku. Karena ia merupakan jati diri, sudah selayaknya kita menjaga jati diri, martabat sebagai seorang muslimah tersebut dengan sebaik–baiknya. Tidak memperlakukannya sesuka hati dan melakukan peraturan sendiri. Ada yang berjilbab awalnya karena merasa mendapat hidayah, namun dalam perjalanan hidupnya ketika merasa kecewa dengan apa yang dialaminya, lalu jilbab pun dilepaskan. Sayangnya ketika melepasi jilbab yang ada adalah sikap dan perilaku jahiliyah… Astaghfirullah halazhim..
Wahai para Muslimah, kita yang dimuliakan ALLAH, bahagialah dengan kemuliaan itu, sudah selayaknya kita menjaganya dengan segala daya dan upaya.
Hanya itu cara kita mengabdikan diri kepada-NYA, mematuhi perintah-NYA dan Rasul-NYA.
Bekali diri dengan ilmu dan fahaman yang cukup tentang perintah ALLAH yang satu ini.
Luruskan niat untuk berjihad melawan hawa nafsu.
Sekali memutuskan berhejab, yakinlah bahawa kita sudah melakukan sesuatu yang benar dan mohon pada-NYA agar tetap menjaga hati ini tetap beristiqhamah dalam ketaatan pada-NYA.
Ketika kita sudah memutuskan untuk berhejab, sama artinya kita membeli ‘one way ticket’ don’t look back and cause there’s no way back.
Jangan pernah berjalan mundur dan kembali kepada kejahiliahan diri kita.
Tidak ada alasan apapun untuk menanggalkannya, karena ALLAH adalah segalanya.
Tidak juga karena masalah rezeki yang sering membuat orang menanggalkan jilbab demi professionalisme dan tuntutan pekerjaan.
Yakinlah ALLAH sang penjamin rezeki, apabila DIA yang memerintahkan kita menutup aurat, DIA juga yang akan menjamin rezeki untuk kita.
Jangan pernah meragukan-NYA.
Sedikit atau banyaknya rezeki adalah urusan-NYA.
Namun yakinlah apabila kita patuhi-NYA, ALLAH tidak pernah menyia–nyiakan kepatuhan hamba-hamba-NYA.
ALLAH Maha Mengetahui niat yang terkandung dalam hati para hamba–hamba-NYA.
Jangan pernah mempermainkan aturan–aturan-NYA.
Kita hanya diperintahkan patuh dan taat, bukan mengganti ketentuan-NYA sesuai dengan yang kita mahukan. “Syurga di kelilingi oleh sesuatu yang luar biasa sulit, sementara sebaliknya, neraka justeru di kelilingi segala kemudahan.” Mahu kemana kita nanti, kembali kepada kita masing–masing dalam mentaati perintah-NYA.
(http://www.islamituindah.my/trend-buka-tutup-jilbab)
Begitulah kehidupan mengajarkan kita…, bahwa ada begitu banyak hal
yang tak dapat kita prediksi sebelumnya, lalu fase kehidupanlah yang
mengantarkan kita padanya… Memang benarlah sudah, bahwa hidup ini begitu
kehilangan makna jika hanya diisi dengan banyak kesiaan. Karena ia
terlalu wonderful untuk itu…
Mungkin, kita pernah bertanya-tanya, “Ya Tuhan, mengapa Engkau berikan takdir begini dan begitu untukku, padahal aku tak menyukainya, padahal aku tak sanggup untuk menjalaninya…”
Tapi, sekali lagi, Allah lah yang lebih tau mana yang terbaik untuk diri kita, jauh melintasi ingin-ingin kita yang sederhana itu…
Mungkin tidak saat ini kita diberi tahu-Nya tentang hikmah luar biasa yang Dia sertakan pada setiap kesulitan, hal-hal yang tidak menyenangkan, maupun tantangan hidup yang kita lewati… Tapi, pada satuan waktu yang tak dapat kita tara kemudian, kita mungkin akan berkata, “Masya Allah…sungguh luar biasa catatan-Nya atas diri kita… Mengertilah aku, mengapa begini skenario dari-Nya, bukan seperti yang kukehendaki dulunya.”
Ya, sebab, berkali-kali sudah Dia sadarkan kita, agar kita lebih aware, bahwa tak selalu kehendak kita saja yang berlaku dalam hidup ini… Dan, cukup ingin-Nya sajalah yang berlaku… Ini bukan berarti kita berpasrah tanpa ikhtiar dan tanpa munajah. Ini adalah setelah ikhtiar terbaik kita… Lalu kemudian, cukuplah Dia saja yang memberikan keputusan finalnya…
Jika sudah demikian, maka mari kita focus kembali dengan apa yang menjadi tujuan dari kehidupan yang singkat ini. Cukupkah hanya sampai terminasi dunia belaka kah? Ataukah untuk masa yang lebih panjang dari itu.
Jika hanya sampai pada terminasi kehidupan dunia saja, maka bersenang-senanglah dan lakukan semau kita! Kesenangan yang singkat kemudian menjadi tiket untuk kesengsaraan yang tiada berkesudahan. Na’udzubillah…
Akan tetapi, kita hidup bukan untuk jangka waktu yang singkat. Ada cita-cita besar pada jangka yang tak lagi terhitung dengan dimensi waktu dunia, yang untuknya kita tentu tak bisa hanya dengan duduk-duduk saja. Karena harganya mahal itulah, maka perlu berpeluh payah mencapainya.
Jadi, apakah kita akan memilih untuk bersenang-senang sesaat akan tetapi dengan berujung pada kesengsaraan yang tiada taranya. Ataukah berpeluh payah, akan tetapi untuk sesuatu yang kenikmatannya juga tak dapat dilukiskan dengan kata-kata? Logika manusia PASTI akan memilih yang kedua. Tentu saja…
Dan sudah sunnatullahnya, bahwa setiap jenak waktu yang kita habiskan menuju cita-cita besar itu, pasti memiliki barrier. Pasti akan selalu memiliki rintangan. Maka, niscayanya, juga butuh energy lebih besar. Dan sungguh, hanya dengan kedekatan dengan-Nya sajalah yang dapat memberikan energi aktivasi untuk dapat melintasi segala barrier itu.
Ah, sesungguhnya ada ketakutan besar bagiku ketika menuliskan ini. Sebab, aku pun bahkan sering lemah, sering terjerambab, sering terjatuh… Maka dari itu, mohon ingatkanlah aku, ketika langkah ini tersalah…ketika bukan lagi pada koridor-Nya…
Jangan pernah berpikir bahwa kita akan selalu bisa sempurna dalam melewati segalanya. Sebab manusia adalah tempatnya khilaf. Lantas, mengapa Allah memberikan kita sedikit ruang pembiaran atas kesalahan?
Seperti halnya Dia yang membentangkan keampunan di siang hari untuk hamba-Nya yang bermaksiat di malam hari, dan Dia juga membentangkan keampunan di malam hari untuk kemaksiatan di siangnya?
Sekali lagi, sebab khilaf adalah sifat manusia. Agar kita belajar memperbaikinya. Agar kita belajar membenarkan diri atas kesalahan-kesalahan itu…
Dan, mari kita (terutama diriku) bersegera mengejar bentangan maghfiroh itu… Sebelum segalanya berakhir… Sebelum kita menyesal pada penyesalan panjang di mana segalanya tak lagi dapat kita kembalikan, pada masa tak ada lagi tawar menawar…
(http://www.eramuslim.com/oase-iman/fathelvi-mudaris-pelajaran-kehidupan.htm)
Mungkin, kita pernah bertanya-tanya, “Ya Tuhan, mengapa Engkau berikan takdir begini dan begitu untukku, padahal aku tak menyukainya, padahal aku tak sanggup untuk menjalaninya…”
Tapi, sekali lagi, Allah lah yang lebih tau mana yang terbaik untuk diri kita, jauh melintasi ingin-ingin kita yang sederhana itu…
Mungkin tidak saat ini kita diberi tahu-Nya tentang hikmah luar biasa yang Dia sertakan pada setiap kesulitan, hal-hal yang tidak menyenangkan, maupun tantangan hidup yang kita lewati… Tapi, pada satuan waktu yang tak dapat kita tara kemudian, kita mungkin akan berkata, “Masya Allah…sungguh luar biasa catatan-Nya atas diri kita… Mengertilah aku, mengapa begini skenario dari-Nya, bukan seperti yang kukehendaki dulunya.”
Ya, sebab, berkali-kali sudah Dia sadarkan kita, agar kita lebih aware, bahwa tak selalu kehendak kita saja yang berlaku dalam hidup ini… Dan, cukup ingin-Nya sajalah yang berlaku… Ini bukan berarti kita berpasrah tanpa ikhtiar dan tanpa munajah. Ini adalah setelah ikhtiar terbaik kita… Lalu kemudian, cukuplah Dia saja yang memberikan keputusan finalnya…
Jika sudah demikian, maka mari kita focus kembali dengan apa yang menjadi tujuan dari kehidupan yang singkat ini. Cukupkah hanya sampai terminasi dunia belaka kah? Ataukah untuk masa yang lebih panjang dari itu.
Jika hanya sampai pada terminasi kehidupan dunia saja, maka bersenang-senanglah dan lakukan semau kita! Kesenangan yang singkat kemudian menjadi tiket untuk kesengsaraan yang tiada berkesudahan. Na’udzubillah…
Akan tetapi, kita hidup bukan untuk jangka waktu yang singkat. Ada cita-cita besar pada jangka yang tak lagi terhitung dengan dimensi waktu dunia, yang untuknya kita tentu tak bisa hanya dengan duduk-duduk saja. Karena harganya mahal itulah, maka perlu berpeluh payah mencapainya.
Jadi, apakah kita akan memilih untuk bersenang-senang sesaat akan tetapi dengan berujung pada kesengsaraan yang tiada taranya. Ataukah berpeluh payah, akan tetapi untuk sesuatu yang kenikmatannya juga tak dapat dilukiskan dengan kata-kata? Logika manusia PASTI akan memilih yang kedua. Tentu saja…
Dan sudah sunnatullahnya, bahwa setiap jenak waktu yang kita habiskan menuju cita-cita besar itu, pasti memiliki barrier. Pasti akan selalu memiliki rintangan. Maka, niscayanya, juga butuh energy lebih besar. Dan sungguh, hanya dengan kedekatan dengan-Nya sajalah yang dapat memberikan energi aktivasi untuk dapat melintasi segala barrier itu.
Ah, sesungguhnya ada ketakutan besar bagiku ketika menuliskan ini. Sebab, aku pun bahkan sering lemah, sering terjerambab, sering terjatuh… Maka dari itu, mohon ingatkanlah aku, ketika langkah ini tersalah…ketika bukan lagi pada koridor-Nya…
Jangan pernah berpikir bahwa kita akan selalu bisa sempurna dalam melewati segalanya. Sebab manusia adalah tempatnya khilaf. Lantas, mengapa Allah memberikan kita sedikit ruang pembiaran atas kesalahan?
Seperti halnya Dia yang membentangkan keampunan di siang hari untuk hamba-Nya yang bermaksiat di malam hari, dan Dia juga membentangkan keampunan di malam hari untuk kemaksiatan di siangnya?
Sekali lagi, sebab khilaf adalah sifat manusia. Agar kita belajar memperbaikinya. Agar kita belajar membenarkan diri atas kesalahan-kesalahan itu…
Dan, mari kita (terutama diriku) bersegera mengejar bentangan maghfiroh itu… Sebelum segalanya berakhir… Sebelum kita menyesal pada penyesalan panjang di mana segalanya tak lagi dapat kita kembalikan, pada masa tak ada lagi tawar menawar…
(http://www.eramuslim.com/oase-iman/fathelvi-mudaris-pelajaran-kehidupan.htm)
Secara fisik kehidupan saya terlihat sangat sederhana, bahkan jauh
berbeda dibanding dengan orang kebanyakan sekarang. Jauh lebih
sederhana. Hanya bertempat tinggal di sebuah kontrakan, dengan perabotan
yang sederhana pula. Hanya di atas karpetlah tempat merebahkan diri
kala lelah menghampiri bukan di atas kasur empuk pastinya. Bus dan
angkotan umum adalah kawan-kawan pendamping ketika hendak beraktifitas
setiap hari. Itulah yang dapat dilihat dari kehidupan saya sekarang.
Sering terbersit dalam pikiran, tatkala melihat rumah-rumah yang layak, ingin memilikinya. Rumah milik sendiri dimana akan terasa jauh lebih nyaman dibanding kontrakan pastinya. Toh, ketika berada di kontrakan, saya merasa sangat nyaman dan mampu beradaptasi dengan segala keterbatasan yang ada. Jika tak di dunia, mudah-mudahan akan mendapatkan tempat istimewa kelak di akhirat.
Juga saat harus bersusah payah berjalan kaki, bersabar menunggu angkutan umum yang datangnya tak bisa diduga. Dalam keadaan seperti itu saya merasa enjoy, saya belajar kesabaran yang lebih saat menunggu bus, saat merasakan ketidaknyaman di dalam angkutan dan sebagainya. Dari sisi lain, saya mampu mengamati kehidupan yang berbeda manakala berada di jalan atau di dalam angkutan umum. Terlalu banyak hikmah yang bisa diambil. Dalam balutan kesederhanaan.
Bukan tak mampu untuk membeli semua kemewahan yang akan membuat nyaman atau memudahkan aktifitas saya. Sebagai manusia, saya pun memiliki iri. Namun rasa itu hanya menjadi sebuah bisikan yang tak pernah saya hiraukan. Manakala memang butuh barang tersebut, maka saya akan membelinya. Kebutuhan yang menjadi prioritas utama saya bukan keinginan.
Saya selalu berusaha merasa kaya, saya selalu berusaha merasa cukup. Meskipun kemewahan lalu lalang di hadapan saya dan rasa iri kadang menghinggapi. Alhamdulillah, segala puji hanya untuk Allah Rabb semesta alam. Semoga perasaan qana’ah (merasa cukup dengan rizki yang Allah berikan) selalu hadir dalam hati kita sebagai hambaNya. Allah yang Maha Baik, yang kita inginkan ketika kita ingat kepada Allah seolah itu sudah cukup. Tak ada yang lain. Allahlah penggenggam manusia hati manusia, Yang Maha
Membolakbalikkan Hati Manusia. Tetapkan hati kami selalu dalam ketaatan padaMu. Aamiin.
Mukjizat syukur, dimana kata tersebut mampu melebihi segala kemewahan yang terdapat di muka bumi. Tak mudah mengucap syukur, manakala saat kita berada lebih sulit dibanding orang lain. Hakikatnya, sebagai manusia kita akan merasa ingin seperti dia tapi kenyataannya kita belum mampu. Dengan perlahan belajar untuk selalu bersyukur dengan apa yang Allah berikan, akan menjadikan hati kita selalu tersenyum dengan apa yang ditetapkanNya.
Tak perlu kita selalu menatap ke atas, melihat orang lain yang jauh lebih beruntung dari kita, karena hal itu akan membuat kita selalu merasa kurang dan kurang. Padahal syukur itu adalah selalu berusaha merasa kaya bahkan dalam kondisi yang kurang sekalipun. Sering-sering menatap kebawah, memperhatikan kehidupan jalanan atau yang kurang mampu, karena disana jika kita memiliki kepekaan hati maka secara otomatis kita akan bersyukur memiliki kehidupan yang lebih baik dibanding mereka. Rasa syukur yang dominan akan menggeser keluh kesah yang fitrah dimiliki manusia. Bersandarlah hanya kepada Allah.
Paling tidak, bukan dari banyaknya harta yang Allah lihat dari seorang hamba, melainkan ketaatannya. Dan semoga dengan kesederhanaan tak membuat kita merasa rendah diri, terlebih menyalahkan takdir. Karena harta adalah warna warni dunia yang menyilaukan. Manakala manusia ingin memiliki harta, maka itu adalah hawa nafsunya yang berkata, bahkan saat dia merasa ingin dan ingin lagi menambah hartanya itu.
Harta dunia hanya titipan, tak perlu ada rasa iri akannya. Kemegahan akan melalaikan kita dari mengingatNya. Belajarlah untuk belajar hidup sederhana bahkan susah, dengan demikian kita akan lebih menghargai apa yang kita miliki. Harta yang banyak tak menjamin seseorang hidup tenang tanpa merasa gelisah. Rasa takut kehilangan harta akan selalu menghantuinya. Tapi jika hati yang kaya, siapapun tak akan mampu mencurinya. Kuncinya hanya dengan bersyukur.
(http://www.eramuslim.com/oase-iman/kiptiah-di-balik-rasa-syukur.htm)
Sering terbersit dalam pikiran, tatkala melihat rumah-rumah yang layak, ingin memilikinya. Rumah milik sendiri dimana akan terasa jauh lebih nyaman dibanding kontrakan pastinya. Toh, ketika berada di kontrakan, saya merasa sangat nyaman dan mampu beradaptasi dengan segala keterbatasan yang ada. Jika tak di dunia, mudah-mudahan akan mendapatkan tempat istimewa kelak di akhirat.
Juga saat harus bersusah payah berjalan kaki, bersabar menunggu angkutan umum yang datangnya tak bisa diduga. Dalam keadaan seperti itu saya merasa enjoy, saya belajar kesabaran yang lebih saat menunggu bus, saat merasakan ketidaknyaman di dalam angkutan dan sebagainya. Dari sisi lain, saya mampu mengamati kehidupan yang berbeda manakala berada di jalan atau di dalam angkutan umum. Terlalu banyak hikmah yang bisa diambil. Dalam balutan kesederhanaan.
Bukan tak mampu untuk membeli semua kemewahan yang akan membuat nyaman atau memudahkan aktifitas saya. Sebagai manusia, saya pun memiliki iri. Namun rasa itu hanya menjadi sebuah bisikan yang tak pernah saya hiraukan. Manakala memang butuh barang tersebut, maka saya akan membelinya. Kebutuhan yang menjadi prioritas utama saya bukan keinginan.
Saya selalu berusaha merasa kaya, saya selalu berusaha merasa cukup. Meskipun kemewahan lalu lalang di hadapan saya dan rasa iri kadang menghinggapi. Alhamdulillah, segala puji hanya untuk Allah Rabb semesta alam. Semoga perasaan qana’ah (merasa cukup dengan rizki yang Allah berikan) selalu hadir dalam hati kita sebagai hambaNya. Allah yang Maha Baik, yang kita inginkan ketika kita ingat kepada Allah seolah itu sudah cukup. Tak ada yang lain. Allahlah penggenggam manusia hati manusia, Yang Maha
Membolakbalikkan Hati Manusia. Tetapkan hati kami selalu dalam ketaatan padaMu. Aamiin.
Mukjizat syukur, dimana kata tersebut mampu melebihi segala kemewahan yang terdapat di muka bumi. Tak mudah mengucap syukur, manakala saat kita berada lebih sulit dibanding orang lain. Hakikatnya, sebagai manusia kita akan merasa ingin seperti dia tapi kenyataannya kita belum mampu. Dengan perlahan belajar untuk selalu bersyukur dengan apa yang Allah berikan, akan menjadikan hati kita selalu tersenyum dengan apa yang ditetapkanNya.
Tak perlu kita selalu menatap ke atas, melihat orang lain yang jauh lebih beruntung dari kita, karena hal itu akan membuat kita selalu merasa kurang dan kurang. Padahal syukur itu adalah selalu berusaha merasa kaya bahkan dalam kondisi yang kurang sekalipun. Sering-sering menatap kebawah, memperhatikan kehidupan jalanan atau yang kurang mampu, karena disana jika kita memiliki kepekaan hati maka secara otomatis kita akan bersyukur memiliki kehidupan yang lebih baik dibanding mereka. Rasa syukur yang dominan akan menggeser keluh kesah yang fitrah dimiliki manusia. Bersandarlah hanya kepada Allah.
Paling tidak, bukan dari banyaknya harta yang Allah lihat dari seorang hamba, melainkan ketaatannya. Dan semoga dengan kesederhanaan tak membuat kita merasa rendah diri, terlebih menyalahkan takdir. Karena harta adalah warna warni dunia yang menyilaukan. Manakala manusia ingin memiliki harta, maka itu adalah hawa nafsunya yang berkata, bahkan saat dia merasa ingin dan ingin lagi menambah hartanya itu.
Harta dunia hanya titipan, tak perlu ada rasa iri akannya. Kemegahan akan melalaikan kita dari mengingatNya. Belajarlah untuk belajar hidup sederhana bahkan susah, dengan demikian kita akan lebih menghargai apa yang kita miliki. Harta yang banyak tak menjamin seseorang hidup tenang tanpa merasa gelisah. Rasa takut kehilangan harta akan selalu menghantuinya. Tapi jika hati yang kaya, siapapun tak akan mampu mencurinya. Kuncinya hanya dengan bersyukur.
(http://www.eramuslim.com/oase-iman/kiptiah-di-balik-rasa-syukur.htm)
"Astaghfirullah..."
Itulah kata yang pertama kali ku ucapkan ketika melihat beranda Facebookku kemarin sore, seorang akhwat yang menurutku sudah mempunyai pemahaman agama yang sangat baik mengupload foto dirinya sendiri di Facebook.
Sebenarnya akhwat tersebut masih mengenakan jilbabnya dalam foto tersebut, akan tetapi yang sangat disayangkan adalah gaya si akhwat yang dibuat-buat seperti gaya abg masa kini, dan yang lebih parah lagi di foto tersebut telah banyak like dan komentar dari para "ikhwan" yang rata-rata isinya gombal semua.
Sungguh miris hati karena jilbab itu bukan hanya sekedar pakaian yang digunakan untuk menutup diri, tapi jilbab itu juga harusnya berperan dalam pembatasan diri.
"Telah ditulis bagi setiap bani Adam bagiannya dari zina, pasti dia akan melakukannya, kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lidah (lisan) zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang, kaki zinanya adalah melangkah, sementara qalbu berkeinginan dan berangan-angan, maka kemaluanlah yang membenarkan (merealisasikan) hal itu atau mendustakannya". [HR. Al-Bukhori (5889) dari Ibnu Abbas, dan Muslim (2657) dari Abu Hurairah]
Dari hadits di atas dapat kita lihat bahwa zina itu ada berbagai macam/jenis, salah satunya ya melalui pandangan. Pandangan itu sangat berkaitan erat dengan yang namanya grafis/gambar, sehingga foto-foto akhwat-akhwat yang bertebaran di dunia maya itu bisa saja disalah gunakan oleh segelintir orang untuk melakukan zina mata,Naudzubillah...
"Itu kan foto kami, hak kami dong mau memanjangnya, salah sendiri ko ngeliatain...!"
Mungkin ada yang berpikiran seperti itu, akan tetapi kalian juga harus ingat bahwa "Kejahatan itu bukan hanya karena ada niat pelakunya, akan tetapi juga karena adanya kesempatan". Bagaimana bisa seseorang untuk tidak memandang foto anti jika foto itu dipajang lebar-lebar di halaman facebook, toh kalaupun cuma melihat sekilas itu malah bisa membuat yang melihat menjadi karena zina qolbu karena teringat-ingat dengan foto tersebut.
"Lantas bagaimana dong, masa ngga boleh pasang foto FB?"
Kalau masalah memasang foto di FB, menurut ana lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Jadi lebih baik ya ngga usahlah masang foto diri di sana, cukuplah foto yg lain aja. Toh kalaupun masih aja ingin memasang foto di FB, pesan ana cuma satu "Jangan Berlebihan" seperti foto-foto akhwat yang sekarang banyak bergentayangan di FB.
"...Sesunguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (QS. Al-A'raaf [7] : 31)
"Ngga asik banget sih kalo kayak gitu, apa-apa ngga boleh!"
Kata siapa ngga boleh, boleh aja tapi jangan berlebih-lebihan. Ingat FB itu ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi bisa menjadi ladang amal bagi kita, di sisi yang lain bisa juga membuat kita terjerumus dalam jurang kemaksiatan, karena itu "Waspadalah-waspadalah...!"
Sungguh kecantikan dari seorang akhwat itu adalah karunia dan ujian dariNya, jangan deh jadikan kecantikan itu menjadi sebuah pajangan yang bisa dengan mudah dipandang dan dinikmati oleh orang lain yang mungkin sejatinya belum kita kenal dengan baik.
"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya....” (QS. An-Nuur [24] : 30-31)
Ayat itu turun saat Rasulullah Shalallahu a’laihi wassalam memalingkan muka anak pamannya, al-Fadhl bin Abbas, ketika beliau melihat al-Fadhl berlama-lama memandang wanita Khats’amiyah pada waktu haji.
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa al-Fadhl bertanya kepada Rasulullah Shalallahu a’laihi wassalam, “Mengapa engkau palingkan muka anak pamanmu?” Beliau Shalallahu a’laihi wassalam menjawab, “Saya melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, maka saya tidak merasa aman akan gangguan setan terhadap mereka.”
Dari ayat di atas dapat kita simpulkan bahwa bukan hanya kewajiban ikhwan untuk menjaga pandangan, akan tetapi juga kewajiban seorang akhwat untuk menjaga dirinya dan perhiasannya. Karena itu jagalah dirimu, jagalah perhiasanmu.
Persembahkan hanya kepada pendamping hidupmu kelak, jangan jadikan perhiasan itu sebagai pajangan untuk khalayak ramai yang bisa dinikmati dengan mudah oleh siapapun, di manapun dan kapanpun.
(http://www.eramuslim.com/oase-iman/abdul-al-hafizh-propic-facebookmu-memalingkan-wajahku.htm)
Terasa menyesakkan semua yang telah terjadi
Apa yang ku banggakan kini tinggal cerita
Kau uji aku sekilas aku rasa tak kuasa
... namun kusadari dan aku mengerti ku serahkan padaMu
Tak kan aku bertanya mengapa harus terjadi
Karena aku yakini tak ada beban tanpa pundak
Kau uji aku karena ku bisa melewatinya
ini yang terbaik bagi hidupku semua hanya ujian
Biarkan aku oh malam menangis disepanjang shalatku
karena hanya Allah yang bisa membuatku tegar menjalani semua ini
Biarkan aku oh malam bersimbah rahmat dan ampunanNya
badai pasti berlalu menguji imanku aku serahkan pada Ilahi
Subscribe to:
Posts (Atom)