17 Kiat Menjadikan Anak Shalih

Orang tua tentunya menginginkan anak-anaknya menjadi anak yang shalih dan shalehah. Maka, -wahai para orang tua- lakukanlah kiat berikut ini, niscaya dengan izin Allah, putra putri Anda akan menjadi seorang anak yang shalih dan shalihah.

��� Ajarkan al-Quran dan sunnah NabiNya

�� Tumbuhkan kecintaaan kepada Allah dan RasulNya

�� Perintahkan mereka shalat di awal waktu

�� Ajak mereka (anak laki-laki) untuk shalat berjama’ah di masjid

�� Ajarkan kepada mereka tata cara ibadah yang benar

�� Didik, latih, dan arahkan serta biasakan mereka untuk senantiasa berdzikir, selalu merasa diawasi oleh Allah dan selalu tumbuh rasa takut kepadaNya

�� Biasakan mereka membaca doa sehari-hari

�� Biasakan mereka untuk melakukan adab-adab yang baik

�� Biasakan mereka untuk mengucapkan salam ketika masuk rumah

�� Pilihlah sekolah atau lembaga pendidikan yang baik untuk mereka

�� Bila mereka salah nasehatilah dengan penuh kelembutan dan sekali-kali dengan ketegasan dalam rangka mendidik, dan usahakan dengan rahasia (berdua), tidak di depan orang lain serta pilihlah waktu yang tepat. Janganlah segera memberi hukuman, tanyalah dulu sebab dan berilah solusi terbaik. Jika terpaksa memberikan hukuman pilihlah hukuman yang mendidik.  Ajarkan agar ia meminta maaf, dan berilah kesempatan untuk memperbaiki diri.

�� Latihlah mereka untuk bisa mandiri dan bertanggung jawab dengan cara memberi tugas yang mungkin bisa dilakukannya.

�� Hindarkan mereka dari teman yang buruk dan sarana-sarana yang dapat mengantarkan mereka terjerembab ke dalam keburukan.

�� Biasakan mengajak mereka untuk bersilaturrahim

�� Ajarkan mereka untuk saling tolong menolong sesamanya dalam kebaikan

�� Jadilah diri Anda teladan yang baik bagi mereka.

�� Berilah mereka nafkah dari sumber yang halal dan baik
_________________

(Sumber: Pesan ini disebarluaskan oleh BB Dakwah Al-Sofwa PIN 24C805BD)

0 komentar:

HUBUNGAN ANTARA AISYAH RA DENGAN ALI BIN ABI THALIB RA

Oleh : Ust. Musyafa Ahmad Rahim, Lc. MA

Banyak orang menyangka, bahkan ada yang meyakini bahwa hubungan antara ummul mukminin Aisyah (RA) dengan Ali bin Abi Thalib (RA) sangatlah buruk. Mereka ber-ilusi bahwa hubungan buruk itu terjadi dimulai dari peristiwa Hadîtsul Ifki pada tahun 6 H dan puncaknya terjadi pada Waq`atul Jamâl (perang unta) pada tahun 35 H.
Bahkan seorang profesor di sebuah universitas Islam membuat pernyataan nyinyir di satu sisi dan ngesok di sisi yang lain saat menyatakan: “saya saja yang jelek begini tidak pernah ribut dengan mertua saya”. Pernyataan ini dilontarkan oleh si profesor dalam mengomentari peristiwa perang antara amirul mukminin Ali bin Abi Thalib (RA) dengan ummul mukminin Aisyah (RA).

Bagaimana data-data sejarah yang valid bercerita tentang masalah ini?
Untuk mengetahui klarifikasi terkait masalah ini, ada baiknya seorang muslim/ah membaca kitab: عائشة أم المؤمنين (Aisyah Ummul Mu'minin) sebuah ensiklopedi besar yang khusus berbicara tentang ummul mukminin Aisyah (RA). Ensiklopedi ini ditulis oleh sekumpulan para ulama dibawah supervisi DR Alawi bin Abdul Qâdir As-Saqqâf dan telah mendapatkan banyak sekali apresiasi dari para ulama dan aktifis dakwah lainnya.
Diantara isi ensiklopedi ini terdapat penjelasan tentang hubungan antara ummul mukminin Aisyah (RA) dengan amirul mukminin Ali bin Abi Thalib (RA).
Konten penjelasan dari ensiklopedi itu adalah sebagai berikut:Intinya, hubungan antara ummul mukminin Aisyah (RA) dengan Ali bin Abi Thalib (RA) adalah hubungan yang sangat baik, baik pada zaman Rasulullah SAW masih hidup, maupun setelah Rasulullah SAW wafat. Meskipun diantara keduanya terkadang, sekali lagi terkadang, terjadi perbedaan pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyah, dan meskipun diantara keduanya pernah terjadi “suatu peperangan”. Data-data sejarah yang valid berikut menjelaskan demikian:

1. Pada suatu hari, setelah terjadinya Waq`atul Jamâl, datanglah amirul mukminin Ali bin Abi Thalib (RA) mengunjungi ummul mukminn Aisyah (RA), maka Ali pun bertanya: “apa kabar mu wahai ibunda?”. Maka ummul mukminin Aisyah (RA) menjawab: “Alhamdulillah dalam keadaan baik”. Maka Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib (RA) berkata: “Semoga Allah SWT memberikan pengampunan kepadamu wahai ibunda”. (Ath-Thabarani dalam kitab Tarikh [3/55]). Lihat pula: al-Bidayah wan-Nihayah karya Ibn Katsir [10/468]).

2. Imam Ibn Jarir ath-Thabari menyebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib-lah yang memberikan isyarat kepada beberapa pasukannya agar unta yang dinaiki oleh ummul mukminin dilumpuhkan dan dibunuh saat terjadi Waq`atul Jamâl. Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib (RA) menyeru kepada mereka: اُعْقُرُوا الْجَمَلَ؛ فَإِنَّهُ إِنْ عُقِرَ تَفَرَّقُوْا (lumpuh dan bunuh itu unta yang dinaiki oleh ummul mukminin, sebab, kalau unta itu terbunuh, niscaya pasukan yang ada di sekelilingnya akan membubarkan diri) [Tarikh Thabari 3/47].
Tafsir atas perintah Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib (RA) ini adalah agar ummul mukminin Aisyah (RA) dalam keadaan selamat, sebab, saat itu unta dan penumpangnya, yaitu ummul mukminin Aisyah (RA) menjadi pusat sasaran anak panah dari pasukan “gelap” yang menyusup di barisan Ali dan yang menyusup di barisan ummul mukminin. Dan benar saja prediksi Ali bin Abi Thalib (RA), bahwa begitu unta tersebut terbunuh dan ummul mukminin terselamatkan, bubarlah pasukan yang mengelilinginya.

3. Secara simultan, saat amirul mukminin Ali bin Abi Thalib (RA) mengeluarkan perintah isyarat untuk membunuh unta yang dinaiki oleh ummul mukminin Aisyah (RA), Ali juga memerintahkan kepada Muhammad bin Abu Bakar, yang tidak lain adalah saudara kandung ummul mukminin Aisyah (RA) dengan dibantu oleh beberapa orang lainnya, agar Muhammad bin Abu Bakar membawa pergi haudaj (“rumah” di atas unta) yang di dalamnya ada ummul mukminin Aisyah (RA) untuk dibawa pergi menjauh dari pasukan kedua belah pihak, dan Ali bin Abi Thalib memerintahkan kepada Muhammad bin Abi Bakar agar memeriksa haudaj kalau-kalau ada anak panah atau senjata lainnya yang bisa melukai ummul mukminin Aisyah (RA). ([Tarikh Thabari 3/73], [al-Bidayah wan-Nihayah 10/468]).

4. Pada saat Waq`atul Jamâl telah selesai, dan ummul mukminin Aisyah (RA) hendak meninggalkan kota Bashrah (sebuah kota di Iraq), untuk kembali ke Madinah, amirul mukminin Ali bin Abi Thalib (RA) mengirimkan segala yang diperlukan oleh ummul mukminin, mulai dari kendaraan yang akan dinaiki, perbekalan, barang-barang lain yang diperlukan, dan juga pengawalan. Juga 40 wanita Bashrah dari “tokoh-tokoh” wanita Bashrah serta menunjuk Muhammad bin Abu Bakar, saudaranya, agar dia yang menjadi pimpinan pengawal perjalanan ummul mukminin Aisyah (RA). Dan pada saat hari keberangkatan tiba,amirul mukminin Ali bin Abi Thalib mendatangi tempat pemberangkatan ummul mukminin Aisyah (RA). Setelah semuanya siap, ummul mukminin keluar dari “rumah” tempat keberangkatan, dan berpamitan dengan semua yang hadir, dan berpamitan juga dari amirul mukminin Ali bin Abi Thalib (RA) seraya berkata: “wahai putraku, jangan lah ada di antara kita yang saling mencela, demi Allah, apa yang pernah terjadi antara aku dan Ali di masa lalu (di masa hidup Rasulullah SAW), tidak lain hanyalah “peristiwa” antara seorang perempuan dengan keluarga (mantu), dan demi Allah, aku bersaksi bahwa Ali termasuk ahlul khair”. Maka Ali (RA)-pun berkata: “Demi Allah, apa yang ibunda katakan itu benar, tidak terjadi apa-apa antara diriku dengannya kecuali seperti itu, dan sungguh, dia (ummul mukminin) adalah seorang istri nabi kalian di dunia dan di akhirat”.
Kemudian ummul mukminin Aisyah berangkat melakukan perjalanan, dan Ali bin Abi Thalib (RA) mengantarnya sampai beberapa mil jauhnya.Kalau saja ummul mukminin Aisyah (RA) ada permusuhan dengan Ali bin Abi Thalib (RA), niscaya tidak akan mengucapkan kata-kata seperti itu, dan kalau saja amirul mukminin Ali bn Abi Thalib (RA) ada permusuhan dengan ummul mukminin Aisyah (RA), niscaya ia tidak akan membenarkan ucapan ummul mukminin Aisyah (RA). (Kisah lengkap point ini diceritakan oleh Saif bin Umar dalam kitabnya: al-Fitnah wa Waq`atul Jamal, hal. 183. Lihat pula Tarikh Thabari [4/544], al-Muntazhim karya Ibnul Jauzi [5/94], al-Kamil karya Ibnul Atsir [2/614], al-Bidayah wan-Nihayah [10/472]), Nihayatul Arab karya an-Nuwairi [20/50]).

5. Di saat acara “perpisahan” yang dihadiri banyak orang itu terjadi, ada dua orang hadirin yang mencela ummul mukminin. Yang satu mengatakan: “Semoga Allah SWT membalas pembangkanganmu wahai ummul mukminin!”. Dan yang satunya berkata: “Wahai ummul mukminin, bertaubat lah kamu kepada Allah, sebab kamu telah berbuat salah”.Berita atas peristiwa celaan ini sampai kepada amirul mukminin Ali bin Abi Thalib (RA), maka Ali memerintahkan kepada al-Qa`qâ` bin `Amr untuk menangkap kedua orang itu, lalu kepada masing-masing dari keduanya, Ali bin Abi Thalib memerintahkan agar masing-masingnya didera dengan cambuk sebanyak seratus kali dalam keadaan bertelanjang dada. (al-Kamil [2/614], Nihayatul Arab [20/50]).

6. Tentang berkecamuknya Waq`atul Jamâl itu sendiri sebenarnya adalah karena ulah dari kalangan yang terlibat dalam pembunuhan amirul mukminin Utsman bin Affan (RA), di mana mereka membelah diri dalam dua bagian, sebagian menyusup ke dalam pasukan Ali bin Abi Thalib (RA) yang lalu menyerang pasukan Aisyah, dan sebagiannya lagi menyusup ke dalam pasukan Aisyah yang lalu menyerang pasukan Ali. Dan mereka melakukan keributan itu di sekitar unta yang dinaiki oleh ummul mukminin Aisyah (RA) untuk memancing orang-orang di luar mereka agar berperang. Mereka berusaha membunuh ummul mukminin Aisyah (RA), namun, kemudian amirul mukminin Ali bin Abi Thalib (RA) mengetahui siasat mereka itu, dan yang lalu memerintahkan pembunuhan unta dan penyelamatan ummul mukminin seperti tersebut di atas.

7. Di luar peristiwa Waq`atul Jamâl, hubungan diantara kedua sahabat nabi yang mulia ini sangat lah baik, masing-masing dari keduanya memuji yang lainnya, baik dari sisi ilmu, agama dan keshalihan.

Semoga sedikit kutipan yang saya bahasakan ulang ini memberi pemahaman yang benar, Aamiiin...

0 komentar:

Ksatria Tepat Janji

Inilah True Story yang terjadi pada zaman kekhalifahan Umar bin Khattab.

Suatu hari Umar sedang duduk di bawah pohon kurma dekat Masjid Nabawi. Di sekelilingnya para sahabat sedang asyik berdiskusi sesuatu. Di kejauhan datanglah 3 orang pemuda. Dua pemuda memegangi seorang pemuda lusuh yang diapit oleh mereka
Ketika sudah berhadapan dengan Umar, kedua pemuda yang ternyata kakak beradik itu berkata,

"Tegakkanlah keadilan untuk kami, wahai Amirul Mukminin!" "Qishashlah pembunuh ayah kami sebagai had atas kejahatan pemuda ini!".
Umar segera bangkit dan berkata,

"Bertakwalah kepada Allah, benarkah engkau membunuh ayah mereka wahai anak muda?"
Pemuda lusuh itu menunduk sesal dan berkata, "Benar, wahai Amirul Mukminin."

"Ceritakanlah kepada kami kejadiannya.", tukas Umar.

Pemuda lusuh itu memulai ceritanya,
"Aku datang dari pedalaman yang jauh, kaumku memercayakan aku untuk suatu urusan muammalah untuk kuselesaikan di kota ini. Sesampainya aku, kuikat untaku pada sebuah pohon kurma lalu kutinggalkan dia. Begitu kembali, aku sangat terkejut melihat seorang laki-laki tua sedang menyembelih untaku, rupanya untaku terlepas dan merusak kebun yang menjadi milik laki-laki tua itu. Sungguh, aku sangat marah, segera kucabut pedangku dan kubunuh ia. Ternyata ia adalah ayah dari kedua pemuda ini."

"Wahai, Amirul Mukminin, kau telah mendengar ceritanya, kami bisa mendatangkan saksi untuk itu.", sambung pemuda yang ayahnya terbunuh.
"Tegakkanlah had Allah atasnya!" timpal yang lain.

Umar tertegun dan bimbang mendengar cerita si pemuda lusuh.
"Sesungguhnya yang kalian tuntut ini pemuda shalih lagi baik budinya. Dia membunuh ayah kalian karena khilaf kemarahan sesaat', ujarnya.
"Izinkan aku, meminta kalian berdua memaafkannya dan akulah yang akan membayarkan diyat atas kematian ayahmu", lanjut Umar.

"Maaf Amirul Mukminin," sergah kedua pemuda masih dengan mata marah menyala, "kami sangat menyayangi ayah kami, dan kami tidak akan ridha jika jiwa belum dibalas dengan jiwa".
Umar semakin bimbang, di hatinya telah tumbuh simpati kepada si pemuda lusuh yang dinilainya amanah, jujur dan bertanggung jawab.

Tiba-tiba si pemuda lusuh berkata,"Wahai Amirul Mukminin, tegakkanlah hukum Allah, laksanakanlah qishash atasku. Aku ridha dengan ketentuan Allah" ujarnya dengan tegas,
"Namun, izinkan aku menyelesaikan dulu urusan kaumku. Berilah aku tangguh 3 hari. Aku akan kembali untuk diqishash".
"Mana bisa begitu?", ujar kedua pemuda.

"Nak, tak punyakah kau kerabat atau kenalan untuk mengurus urusanmu?" tanya Umar.
"Sayangnya tidak ada Amirul Mukminin, bagaimana pendapatmu jika aku mati membawa hutang pertanggungjawaban kaumku bersamaku?" pemuda lusuh balik bertanya.
"Baik, aku akan meberimu waktu tiga hari. Tapi harus ada yang mau menjaminmu, agar kamu kembali untuk menepati janji." kata Umar.
"Aku tidak memiliki seorang kerabatpun di sini. Hanya Allah, hanya Allah lah penjaminku wahai orang-orang beriman", rajuknya.

Tiba-tiba dari belakang hadirin terdengar suara lantang, "Jadikan aku penjaminnya wahai Amirul Mukminin".
Ternyata Salman al Farisi yang berkata..
"Salman?" hardik Umar marah, "Kau belum mengenal pemuda ini,

Demi Allah, jangan main-main dengan urusan ini".
"Perkenalanku dengannya sama dengan perkenalanmu dengannya, ya Umar. Dan aku mempercayainya sebagaimana engkau percaya padanya", jawab Salman tenang.
Akhirnya dengan berat hati Umar mengizinkan Salman menjadi penjamin si pemuda lusuh.

Pemuda itu pun pergi mengurus urusannya.
Hari pertama berakhir tanpa ada tanda-tanda kedatangan si pemuda lusuh. Begitupun hari kedua.
Orang-orang mulai bertanya-tanya apakah si pemuda akan kembali. Karena mudah saja jika si pemuda itu menghilang ke negeri yang jauh.

Hari ketiga pun tiba. Orang-orang mulai meragukan kedatangan si pemuda, dan mereka mulai mengkhawatirkan nasib Salman. Salah satu sahabat Rasulullah saw yang paling utama.
Matahari hampir tenggelam, hari mulai berakhir, orang-orang berkumpul untuk menunggu kedatangan si pemuda lusuh. Umar berjalan mondar-mandir menunjukkan kegelisahannya. Kedua pemuda yang menjadi penggugat kecewa karena keingkaran janji si pemuda lusuh.
Akhirnya tiba waktunya penqishashan, Salman dengan tenang dan penuh ketawakkalan berjalan menuju tempat eksekusi. Hadirin mulai terisak, orang hebat seperti Salman akan dikorbankan.

Tiba-tiba di kejauhan ada sesosok bayangan berlari terseok-seok, jatuh, bangkit, kembali jatuh, lalu bangkit kembali.
"Itu dia!" teriak Umar, "Dia datang menepati janjinya!".
Dengan tubuh bersimbah peluh dan nafas tersengal-sengal, si pemuda itu ambruk di pangkuan Umar.
"Hh..hh.. maafkan.. maafkan.. aku.." ujarnya dengan susah payah, "Tak kukira.. urusan kaumku.. menyita..banyak.. waktu..".
"Kupacu.. tungganganku.. tanpa henti, hingga.. ia sekarat di gurun.. terpaksa.. kutinggalkan.. lalu aku berlari dari sana.."
"Demi Allah", ujar Umar menenanginya dan memberinya minum, "Mengapa kau susah payah kembali? Padahal kau bisa saja kabur dan menghilang?"

��"Agar.. jangan sampai ada yang mengatakan.. di kalangan Muslimin.. tak ada lagi ksatria.. tepat janji.." jawab si pemuda lusuh sambil tersenyum.
Mata Umar berkaca-kaca, sambil menahan haru,
lalu ia bertanya, "Lalu kau Salman, mengapa mau-maunya kau menjamin orang yang baru saja kau kenal?"

��"Agar jangan sampai dikatakan, di kalangan Muslimin, tidak ada lagi rasa saling percaya dan mau menanggung beban saudaranya", Salman menjawab dengan mantap.
Hadirin mulai banyak yang menahan tangis haru dengan kejadian itu.
"Allahu Akbar!" tiba-tiba kedua pemuda penggugat berteriak,
"Saksikanlah wahai kaum Muslimin, bahwa kami telah memaafkan saudara kami itu".
Semua orang tersentak kaget.
"Kalian.." ujar Umar, "Apa maksudnya ini? Mengapa kalian..?" Umar semakin haru.

��"Agar jangan sampai dikatakan, di kalangan Muslimin tidak ada lagi orang yang mau memberi maaf dan sayang kepada saudaranya" ujar kedua pemuda membahana.
"Allahu Akbar!" teriak hadirin.
Pecahlah tangis bahagia, haru dan bangga oleh semua orang.

Begitupun kita disini, di saat ini..
sambil menyisipkan sebersit rasa iri karena tak bisa merasakannya langsung bersama saudara-saudara kita pada saat itu..

"Allaahu Akbar...". Laa Ilaa haa Illa Anta Subhaanaka innii kuntu minazhzzhaalimiin

0 komentar:

#hati

Allah memperjalankan segala sesuatunya dengan sangat indah. Emas tidak terbentuk secara instan, pun hati. Hati yang dulunya begitu keras, tidak peduli, perlahan mulai luluh, terbentuk dengan segala ujian yang dihadapi.

Dimulai dari contoh sederhana, Rasulullah bahkan mendoakan kebaikan bagi orang-orang yang menyakitinya. Ya, hanya doa! Memang sulit dilakukan ketika hati tersakiti.

Tapi terkadang "memaksa" hati untuk belajar mendoakan disaat sulit itu perlu. Berlatihlah mulai dari sekarang.

0 komentar:

PROMO BUKU

Daftar (FESBUK) Festival Buku Aqwam 10 %

*harga di bawah belum diskon*

��Agar Anak kita Menjadi Shalih 55.000
��Amalan penghilang susah 98.000
��Bahan bahan berbahaya di sekitar kita 30.000
��Biografi Ali 159.000
��Biografi Hasan bin ali 110.000
��Biografi Muawiyah 155.000
��Biografi Umar bin abdul aziz 110.000
��Biografi Ustman 110.000
��Bekal pengantin 99.000
��Doa dan istighfar berobatlah dengan doa & istighfar 38.000
��Puasa & sedekah berobatlah dengan puasa dan sedekah 36.000
��Shalat & alquran berobatlah dengan shalat dan alquran 38.000
��Biografi 60 sahabat nabi 98.000
��Bocah bocah pembawa hidayah 55.000
��Buku pintar mengurus jenazah 32.000
��Darah kebiasaan wanita 48.000
��Dosa dosa besar 89.000
��Ensiklopedi syirik dan bidah jawa 45.000
��Fikih hadist bukhori muslim 188.000
��Hati sebening mata air 49.000
��Ibadah sepenuh hati 49.000
��Iman kepada Allah 86.000
��Iman kepada rasul 98.000
��Kepada aktivis muslim 37.000
��Kisah para nabi 178.000
��Kita & akhlaq salaf 45.000
��Kitab tauhid 85.000
��Kunci kunci surga 36.000
��Malam pertama dialam kubur 39.000
��Malu bertanya sesat diranjang 39.000
��Memilih kontrasepsi alami dan halal 46.000
��Mendidik anak laki laki 43.000
��Mendidik anak perempuan 32.000
��Mengetuk pintu langit 48.000
��Menjadi istri penuh pesona 48.000
��Menjadi pengantin sepanjang masa 83.000
��Menjadi suami penuh cinta 38.000
��Menyambut buah hati 88.000
��Menzalimi anak tanpa sadar 38.000
��Misteri shalat subuh 38.000
��Mudah shalat malm 28.000
��Nabi sang tabib 49.000
��Panduan praktis haji dan umrah 47.000
��Rukhsah dalam shalat 45.000
��Selagi masih muda 49.000
��Semulia akhlaq nabi 49.000
��Shalat tapi keliru 54.000
��Strategi dua lengan 47.000
��Syam 48.000
��Tanya jawab psikologi muslimah 53.000
��Tarbiyah jihadiyah jilid 1 130.000
��Jilid 2 120.000
��Jilid 3 120.000
��Thaifah mansurah 120.000
��Tuntunan taubat 38.000
��Wahai anakku mana baktimu 37.000
��Zionis & syiah bersatu hantam islam 89.000

FESBUK hanya berlaku hingga 10 Mei 2015

SMS/WA: maulia (089683589004)

0 komentar:

RENUNGAN UNTUKKU DAN UNTUKMU YANG BELUM MENIKAH

*based on true story*

Bismillah,
Nama : Fulan bin fulan
Tmpt lahir, usia : Flores, 30 thn
Pendidikan : SD - Mts - MAN - IAIN - LIPIA - UIM
Keluarga : anak pertama dari 4 bersaudara
Kriteria yang diharapkan : seorang wanita yang mempunyai semangat membina masyarakat.

Seorang gadis yang sudah siap untuk berumah tangga, membaca sekilas biodata di atas, sebagian dari mereka akan 'berbunga-bunga' . Subhanallah, bisa jadi pemimpin rumah tangga.. bisa bimbing...bisa ngajarin... dll

Akan semakin dag dig dug seandainya si fulan oke dan tunggu jawaban dari si gadis. Mau atau tidak. Ternyata si gadis juga berharap mempunyai suami yang berilmu. Subhanallah kini yang datang ngga tanggung tanggung, mahasiswa Madinah yang sudah menyelesaikan kuliahnya.

Dari segala sisi yang diketahui semua sudah cocok, tapi ada satu hal yang mengganjal dan membuat ragu si gadis, si fulan meminta si gadis siap dibawa ke Flores untuk membina masyarakat di sana. Siap ngga yaa...

Kemudian dibicarakanlah dengan si fulan tentang keraguannya tersebut. Kemudian si fulan menyampaikan:
"Segala sesuatu jangan dilandasi dengan keraguan, begitu juga rumah tangga, jangan dilandasi dengan keraguan.  Kalau anti ragu, tinggalkan. Saya doakan semoga nanti anti akan mendapat pendamping yang lebih baik, yang bisa menghantarkan anti menuju surga-Nya."

Si gadis menjawab:
"Na'am. Nasehatilah saya dengan suatu kalimat."
Si fulan berkata:
"Hormatilah yang lebih tua, sayangilah yang lebih muda."


Berganti bulan, si gadis sudah menikah. Dengan laki-laki 'biasa' tanpa sederetan gelar sebagai bukti sebuah pendidikan. Apakah rumah tangga mereka dilandasi dengan cinta? Ternyata tidak. Si gadis menikah dengan laki-laki tersebut dilandasi dengan keyakinan.

Ada sebuah hadits yang menyebutkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga golongan manusia yang pasti ditolong oleh Allah:
1. orang yang berjihad di jalan Allah,
2. budak yang ingin menebus dirinya (dengan membayar uang kepada majikannya)
‪3. ‎dan‬ orang yang menikah karena ingin menjaga kesucian dirinya.”
(HR.at-Tirmidzi, no. 1655 dan an-Nasa-I, no. 3120, dinyatakan hasan oleh Imam at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani).

Point ke tiga yang menjadi tujuan utamanya. Janji Allah yang menjadi harapan dan keyakinannya. Selain itu si laki-laki pun sudah ma'ruf, dia laki-laki yang baik akhlaknya dan lurus aqidahnya.

Mungkinkah rumah tangga akan bahagia tanpa cinta? Cinta tak mudah tumbuh, tapi sayang akan bisa tumbuh dan terus akan tumbuh. Rumah tangga akan bisa bahagia dengan adanya kasih sayang. Kasih sayang yang tulus karena dilandasi dengan keshalihan dan aqidah yang lurus.

Mungkin suamimu tak pandai memberimu ilmu, tapi dia senantiasa mau menjaga dan mengantarmu kemana engkau pergi. Dan itu lebih dibutuhkan untuk dirimu.

Mungkin suamimu tak pandai diajak berbicara, tapi dengan diamnya dia sesungguhnya lebih menjaga dari sebuah percekcokan. Dan itu lebih dibutuhkan untuk dirimu.

Mungkin suamimu tak pandai mencari harta, mungkin itu lebih baik untuk dirimu. Karena Dia tahu engkau akan semakin baik dengan sedikit harta.
... dll

Allah yang lebih tahu mana yang terbaik sebagai pendamping hidup kita. Allah lebih tahu apa yang dibutuhkan untuk kita. Serahkan dan pasrahkan segala urusan kepada-Nya. Selalu minta pertolonganlah kepada-Nya. Berusaha dan terus berusaha berbuat kebaikan. Terus belajar dan belajar. Duduklah di majlis2 ilmu yang manfaat. Engkau pasti bahagia.
~ Jadilah diri dan hati yang senantisa bersyukur ~

0 komentar:

Qalbu









 
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi

Akhir-akhir ini pendidikan disoroti terlalu intelektualistis. Terkadang juga dianggap terlalu job-oriented (berorientasi kerja). Sementara pendidikan agama dituduh sebagai terlampau spiritualistis sehingga nampak tidak rasional.

Sebenarnya pendidikan dalam Islam tidak demikian. Ia meliputi seluruh aspek dalam diri manusia. Tidak melulu spiritualistis dan tidak pula terlalu intelektualistis atau pragmatis dan praktis.

Pendidikan dalam Islam berkaitan dengan soal ilmu dan ilmu dalam Islam berdimensi iman dan amal. Oleh sebab itu pendidikan Islam mengharuskan pemahaman tentang dua hal: Pertama, Letak iman, ilmu dan amal tersebut dalam jiwa manusia. Kedua, Bagaimana menanamkan itu semua kedalam diri manusia.

Sistem apa yang cocok untuk pengembangan anak dalam berbagai aspek kejiwaannya dalam sebuah sistem pendidikan yang terpadu, perlu dipikirkan terus menerus dan seksama.

Namun, sebelum berpikir tentang metode atau sistem perlu dijelaskan terlebih dulu konsep jiwa manusia yang akan menjadi obyek pendidikan itu. Sebab jiwa manusia memiliki bagian-bagian penting yang saling berkaitan.

Hakim Tirmidhi seorang ulama abad ke 9 menulis buku berjudul Bayan al-Farq, Bayn al-Sadr wa al-Qalb wa al-Fuad wa al-Lub. (Penjelasan Tentang Perbedaan antara Sadr (sadar), Qalb (kalbu/hati), Fuad (nurani) dan Lubb (akal pikiran).
Istilah-istilah sadr yang dalam bahasa Indonesia menjadi sadar-kesadaran ternyata berbeda artinya dari istilah qalb, hati atau  kalbu. Fuad yang diIndonesiakan menjadi nurani berbeda lagi dari lubb yang arti sebenarnya adalah akal pikiran yang beriman. Ulul Albab adalah orang yang berakal pikiran tauhidi.

Namun itu semua merujuk kepada sesuatu yang bersifat batiniyah. Jika seseorang dibedah dadanya tentu sadr, qalb, fuad dan lub itu tidak akan ditemukan secara fisik. Maka dalam buku ini Hakim Tirmidhi menjelaskan bahwa hati atau qalb itu adalah nama yang komprehensif yang kesemuanya bersifat batiniyah alias tidak zahir alias tidak empiris.

Sadr ada di dalam qalb seperti kedudukan putihnya mata didalam mata. Sadr adalah pintu masuk segala sesuatu ke dalam diri manusia. Perasaan waswas, lalai, kebencian, kejahatan, kelapangan dan kesempitan masuk melalui sadr. Nafsu amarah, cita-cita, keinginan, nafsu birahi, itu pun masuk kedalam sadr dan bukan kedalam qalb.

Akan tetapi sadr itu juga tempat masuknya ilmu yang datang melalui pendengaran atau khabar. Maka dari itu pengajaran, hafalan, dan pendengaran itu berhubungan dengan sadr. Dinamakan sadr karena merujuk kepada kata sadara (muncul), atau sadr (pusat). Jadi kesadaran adalah inti atau pusat dari hati (qalb).

Jika sadr ada didalam qalb maka qalb itu ada dalam genggaman nafs atau jiwa. Namun, qalb itu adalah raja dan jiwa itu adalah kerajaannya. “Jika rajanya baik” seperti sabda Nabi, “Maka baiklah bala tentaranya dan jika rusak maka rusaklah bala tentaranya”. 

Demikian pula baik-buruknya jasad itu tergantung pada hati (qalb). Hati (qalb) itu bagaikan lampu dan baiknya suatu lampu itu terlihat dari cahaya. Dan baiknya hati terlihat dari cahaya ketaqwaan dan keyakinan. 

Sebagai raja, qalb adalah tempat bersemayamnya cahaya Iman, cahaya kekhusyu’an, ketaqwaan, kecintaan, keridhaan, keyakinan, ketakutan, harapan, kesabaran, kepuasan. Karena iman dalam Islam berasaskan pada ilmu, maka qalb juga merupakan sumber ilmu. Karena sadr itu tempat masuknya ilmu, sedangkan qalb itu tempat keimanan, maka didalam qalb itu pun terdapat ilmu.

Jika qalb (hati) itu adalah mata maka fuad itu adalah hitamnya pupil mata. Fuad ini adalah tempat bersemayamnya ma’rifah, ide, pemikiran, konsep, pandangan. Ketika seseorang berpikir maka fuadnya lebih dulu yang bekerja baru kemudian hatinya. Fuad itu ada di tengah-tengah hati, sedangkan hati di tengah-tengah sadar.
Jika qalb adalah mata, sadr adalah putih mata, fuad adalah hitamnya pupil mata, maka lubb adalah cahaya mata. Jika qalb adalah tempat bersemayamnya cahaya keimanan dan sadr tempat cahaya keislaman, dan fuad adalah tempat cahaya ma’rifah maka lubb berkaitan dengan cahaya ketauhidan.
Gambaran diatas mungkin nampak terlalu spiritual atau dalam bahasa Kant transcendent. Tapi memang proses berpikir demikian adanya. Hanya saja yang ditekankan disini bukan bagaimana ilmu didapat akan tetapi bagaimana ia berproses menuju dari ilmu menjadi iman.

Apabila pendidikan Islam memperhatikan potensi batiniyah manusia seperti digambarkan Hakim Tirmidhi diatas maka yang akan lahir adalah manusia-manusia tinggi ilmu dan imannya sekaligus banyak amalnya. Yaitu manusia-manusia yang  hati (qalb), kesadaran (sadr), nurani (fuad) dan pikirannya (lubb) berjalan seimbang.

0 komentar:

Tanyakan pada Dirimu

Tanyakan pada dirimu
Bila hatimu tak tenang
Itu sebab karena kamu terlalu jauh dari al -Qur'an

Tanyakan pada dirimu
Bila hidupmu terasa sempit
Itu sebab dari kamu tidak pernah qiyyamul lail

Tanyakan pada dirimu
Bila hidupmu terasa sulit
Itu sebab dari kamu tidak pernah berdzikir

Tanyakan pada dirimu
Bila hidupmu tidak ada tujuan
Itu sebab kamu terlalu menaruh hati pada dunia dan tak pernah memikirkan akhirat yang kekal

Tanyakan pada dirimu
Bila hatimu terasa sakit ketika melihat orang lain bahagia,
Berhatihatilah penyakit hati mulai tumbuh dalam hatimu

Tanyakan pada dirimu
Bila dalam hidupmu kamu diliputi dengan kekayaan berlimpah, kesenangan dlm duniamu padahal diatas kemaksiatan-kemaksiatanmu.
Berhati hatilah, itu hanya kenikmatan yang melalaikan. Kenikmatan istidraj.

Sungguh tanyakan pada dirimu, apa apa yang menyebabkan hatimu serta hidupmu dalam kegelisahan

Tanyakan pada dirimu, kamu pasti akan mendapatkan jawabanya.

Kamu sangat jauh dari Allah, jauh dari mengingatNya :"

Segera bertaubatlah dan menjauhkan diri daripada melakukan dosa besar mahupun dosa-dosa kecil yang kerap dilakukan sehingga mengakibatkan hati kita menjadi hitam dan menghalangi sampainya nur hidayah Allah.

Hati pula menjadi keras kerana telah menyerahkan diri kepada nafsu dan godaan syaitan.

Sehingga lalai dari mengingatNya.

Jangalah berputus asa dalam mengharap ampunanNya.
Sungguh Rahmat serta AmpunanNya lebih luas.

Dan ingatlah, jika Allah selalu ada dalam pikiranmu. Maka keimanan akan selalu ada dihatimu.

0 komentar:

Ramadhan



Ramadhan adalah Bulan Diturunkannya Al Qur’an
Bulan ramadhan adalah bulan yang mulia. Bulan ini dipilih  sebagai bulan untuk berpuasa dan pada bulan ini pula Al Qur’an diturunkan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al Baqarah: 185)
Ibnu Katsir rahimahullah tatkala menafsirkan ayat yang mulia ini mengatakan, ”(Dalam ayat ini) Allah Ta’ala memuji bulan puasa –yaitu bulan Ramadhan- dari bulan-bulan lainnya. Allah memuji demikian karena bulan ini telah Allah pilih sebagai bulan diturunkannya Al Qur’an dari bulan-bulan lainnya. Sebagaimana pula pada bulan Ramadhan ini Allah telah menurunkan kitab ilahiyah lainnya pada para Nabi ’alaihimus salam.”
Setan-setan Dibelenggu, Pintu-pintu Neraka Ditutup dan Pintu-pintu Surga Dibuka Ketika Ramadhan Tiba
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ
Apabila Ramadhan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan pun dibelenggu.”
Al Qodhi ‘Iyadh mengatakan, “Hadits di atas dapat bermakna, terbukanya pintu surga dan tertutupnya pintu Jahannam dan terbelenggunya setan-setan sebagai tanda masuknya bulan Ramadhan dan mulianya bulan tersebut.” Lanjut Al Qodhi ‘Iyadh, “Juga dapat bermakna terbukanya pintu surga karena Allah memudahkan berbagai ketaatan pada hamba-Nya di bulan Ramadhan seperti puasa dan shalat malam. Hal ini berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Di bulan Ramadhan, orang akan lebih sibuk melakukan kebaikan daripada melakukan hal maksiat. Inilah sebab mereka dapat memasuki surga dan pintunya. Sedangkan tertutupnya pintu neraka dan terbelenggunya setan, inilah yang mengakibatkan seseorang mudah menjauhi maksiat ketika itu.”
Terdapat Malam yang Penuh Kemuliaan dan Keberkahan
Pada bulan ramadhan terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan yaitu lailatul qadar (malam kemuliaan). Pada malam inilah –yaitu 10 hari terakhir di bulan Ramadhan- saat diturunkannya Al Qur’anul Karim.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (1) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (2) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada lailatul qadar (malam kemuliaan). Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al Qadr: 1-3).
Dan Allah Ta’ala juga berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ
Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (QS. Ad Dukhan: 3). Yang dimaksud malam yang diberkahi di sini adalah malam lailatul qadr. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Jarir Ath Thobarirahimahullah. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama di antaranya Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Bulan Ramadhan adalah Salah Satu Waktu Dikabulkannya Do’a
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ لِلّهِ فِى كُلِّ يَوْمٍ عِتْقَاءَ مِنَ النَّارِ فِى شَهْرِ رَمَضَانَ ,وَإِنَّ لِكُلِّ مُسْلِمٍ دَعْوَةً يَدْعُوْ بِهَا فَيَسْتَجِيْبُ لَهُ
Sesungguhnya Allah membebaskan beberapa orang dari api neraka pada setiap hari di bulan Ramadhan,dan setiap muslim apabila dia memanjatkan do’a maka pasti dikabulkan.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
Tiga orang yang do’anya tidak tertolak: orang yang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan do’a orang yang dizholimi”. An Nawawirahimahullah menjelaskan, “Hadits ini menunjukkan bahwa disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk berdo’a dari awal ia berpuasa hingga akhirnya karena ia dinamakan orang yang berpuasa ketika itu.” An Nawawi rahimahullah mengatakan pula, “Disunnahkan bagi orang yang berpuasa ketika ia dalam keadaan berpuasa untuk berdo’a demi keperluan akhirat dan dunianya, juga pada perkara yang ia sukai serta jangan lupa pula untuk mendoakan kaum muslimin lainnya.”
Raihlah berbagai keutamaan di bulan tersebut, wahai Saudaraku!
Semoga Allah memudahkan kita untuk semakin meningkatkan amalan sholih di bulan Ramadhan.
 

HUKUM DAN ADAB SEPUTAR PUASA
  1. Niat sebelum puasa
Berdasarkan hadits:
عَنْ حَفْصَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: مَنْ لَمْ يُجْمِعْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
Dari Hafshoh ummul mukminin bahwasanya rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang tidak meniatkan puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya”.

Melafadzkan niat puasa?

Niat tempatnya di dalam hati, bukan melafadzkannya dengan lisan semisal ucapan yang sering kita dengar Nawaitu Shouma Ghodin Fardhon Lillahi Ta’ala. Bahkan mengucapkan niat dalam ibadah, baik ketika berwudhu, shalat, atau puasa adalah menyelisihi syariat atau kita katakan bid’ah.
Abu Abdillah Muhammad bin Qosim al-Maliki berkata: “Niat termasuk pekerjaan hati, maka mengeraskannya adalah bid’ah”.
2. Sahur
Berdasarkan hadits:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ :  تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِيْ السُّحُوْرِ بَرَكَةً
Dari Anas bin Malik bahwasanya Rasulullah bersabda: “Sahurlah kalian, karena sesungguhnya di dalam sahur itu terdapat keberkahan“.
Hadits ini berisi anjuran untuk sahur sebelum puasa, karena didalamnya terdapat kebaikan yang banyak dan membawa berkah. Perintah dalam hadits ini hanya menunjukkan sunnah tidak sampai wajib, namun demikian hendaklah kita berusaha untuk tidak meninggalkan sahur walaupun hanya dengan seteguk air. Rasulullah mengatakan:
 السَّحُوْرُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ فَلاَ تَدَعُوْهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جَرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ الْمُتَسَحِّرِيْنَ
Sahur makannya adalah berkah. Maka janganlah kalian tinggalkan walaupun hanya dengan seteguk air. Sesungguhnya Alloh dan malaikatNya bershalawat kepada orang-orang yang sahur.
Dan termasuk sunnah ketika sahur adalah untuk mengakhirkannya. Zaid bin Tsabit berkata: “Kami sahur bersama nabi, kemudian beliau berdiri untuk shalat shubuh. Anas bertanya: “Berapa lama jarak antara selesai sahurnya dengan adzan? Zaid menjawab: “Lamanya sekitar bacaan limapuluh ayat”.

3. Membaca al-Qur’an

Saudaraku… hiasilah bulan yang penuh berkah ini dengan membaca al-Qur’an. Ramadhan adalah bulan diturunkannya al-Qur’an. Perbanyaklah membaca, mentadabburi dan memahami isinya pada bulan ini. Rasulullah sebagai teladan kita beliau selalu mengecek bacaan al-Qur’annya pada malaikat jibril pada bulan ini. Cukuplah keutamaan membaca dan mempelajari al-Qur’an sebuah hadits yang berbunyi:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ يَقُوْلُ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُوْلُ آلمَ حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيْمٌ حَرْفٌ
Dari Abdullah bin Mas’ud bahwasanya rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang membaca satu huruf al-Qur’an, maka baginya satu kebaikan, setiap satu kebaikan dilipat gandakan hingga sepuluh kebaikan. Aku tidak mengatakan Aliif Laam Miim satu huruf, akan tetapi Aliif satu huruf, Laam satu huruf dan Miim satu huruf.

4. Menjaga anggota badan

Puasa tidak hanya menahan makan dan minum semata. Akan tetapi lebih dari itu, yaitu menahan anggota badan dari bermaksiat kepada Alloh. Menahan mata dari melihat yang haram, menjauhkan telinga dari mendengar yang haram, menahan lisan dari mencaci dan menggibah, menjaga kaki untuk tidak melangkah ke tempat maksiat. Rasulullah bersabda:
رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الْجُوْعُ
Betapa banyak orang yang berpuasa tidak ada bagian dari puasanya kecuali hanya mendapat lapar belaka.

5. Jagalah lisan!!

Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda:
 الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ وَإِنْ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ
“Puasa adalah perisai. Maka janganlah berkata kotor dan berbuat  bodoh. Apabila ada yang memerangimu atau mencelamu, maka katakanlah aku sedang puasa”.
Dalam hadits yang lain rasulullah bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ فَلَيْسَ ِللهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan amalannya serta kebodohan, maka Alloh tidak butuh dia meninggalkan makan dan minumnya.
Dari sinilah kita mengetahui hikmah yang mendalam dari disyariatkannya puasa, andaikan kita terlatih dengan tarbiah yang agung semacam ini, sungguh Ramadhan akan berlalu sedangkan manusia berada dalam akhlak yang agung, berpegang dengan akhlak dan adab, karena  itu adalah tarbiyah yang nyata.
6. Memperbanyak amalan shalih
Manfaatkan bulan ramadhan ini dengan perbuatan baik. Penuhi dengan amalan shalih. Manfaatkan waktu yang ada dengan dzikir, membaca al-Qur’an, mengkaji ilmu agama, banyak bershadaqoh, dan lain-lain. Karena semakin banyak ibadah yang kita kerjakan pada bulan mulia ini semakin besar pula ganjarannya. Demikian pula sebaliknya apabila bulan mulia ini kita kotori dengan kemaksiatan, maka akan semakin besar pula dosanya.
Hukum-hukum seputar orang yang berpuasa

A. Pembatal puasa

Paraulama telah menyebutkan dalam berbagai kitab fiqih mereka beberapa pembatal puasa, yaitu:
  1. Jima’
  2. Mengeluarkan mani dengan sengaja
  3. Makan dan minum dengan sengaja
  4. Segala sesuatu yang semakna dengan makan dan minum
  5. Muntah secara sengaja
  6. Keluar darah haidh dan nifas
Pembatal-pembatal puasa ini tidak membatalkan puasa seseorang kecuali dengan tiga syarat:
Pertama: Orang yang berpuasa mengetahui hukum dari pembatal-pembatal puasa ini.
Kedua: Dalam keadaan ingat, tidak karena lupa
Ketiga: Sengaja dan atas kehendak dirinya sendiri.
- Apabila ada yang muntah dengan sengaja karena mengira bahwa muntah dengan sengaja tidak membatalkan, maka puasanya sah tidak batal. Dalilnya Alloh berfirman:
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللَّـهِ ۚفَإِن لَّمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ ۚ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُم بِهِ وَلَـٰكِن مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ ۚوَكَانَ اللَّـهُ غَفُورًا رَّحِيمًا ﴿٥
Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu.Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. al-Ahzab:5)
- Apabila ada yang makan dan minum setelah fajar, karena dia mengira fajar belum terbit atau makan dan minum karena mengira matahari telah terbenam, kemudian setelah itu jelas baginya bahwa fajar telah terbit dan matahari belum terbenam, maka puasanya sah tidak batal. Karena dia jahil akan waktu. Asma’ Binti Abi Bakar berkata: “Kami pernah berbuka puasa pada zaman nabi pada hari yang mendung, kemudian setelah itu ternyata matahari masih terbit”.[167]
Nabi tidak memerintahkan untuk mengganti puasa mereka, maka orang yang jahil akan waktu puasa, puasanya sah tidak batal.
- Apabila ada yang makan dan minum karena lupa, maka puasanya tidak batal. Alloh berfirman:
وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا ۚ أَنتَ مَوْلَانَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ ﴿٢٨٦
“Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. (QS.al-Baqarah 286).
- Apabila seseorang tidur, kemudian disiram air hingga masuk mulutnya, maka puasanya tidak batal, karena masuknya air ke mulut bukan kehendak dirinya.

B. Berbuka puasa secara sengaja??

Berbuka puasa secara sengaja pada bulan Ramadhan tanpa alasan yang syar’I adalah perbuatan dosa besar. Rasulullah bersabda:
Ketika aku sedang tidur, tiba-tiba datang kepadaku dua orang yang kemudian memegang bagian bawah ketiakku dan membawaku ke sebuah gunung yang terjal. Keduanya berkata, “Naiklah”. Aku menjawab: “Aku tidak mampu”, keduanya berkata, “Baiklah, akan kami bantu engkau”. Akhirnya aku naik juga, tatkala aku sampai pada pertengahan gunung, aku mendengar suara yang sangat mengerikan, aku bertanya: “Suara apa ini?” keduanya berkata: “Itu teriakan penduduk neraka”. Kemudian aku dibawa lagi, dan aku melihat sekelompok orang yang kaki-kaki mereka digantung, tulang rahang mereka dipecah, darah mengalir dari tulang rahang mereka. Aku bertanya: “Siapakah mereka itu?” Keduanya menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang berbuka puasa sebelum waktunya”.
Hadits ini adalah dalil yang sangat jelas akan besarnya dosa orang yang berbuka puasa Ramadhan secara sengaja tanpa udzur. Bahkan hadits ini menunjukkan berbuka puasa tanpa udzur termasuk dosa besar.
Imam adz-Dzahabi berkata: “Dosa besar yang ke sepuluh adalah berbuka puasa pada bulan Ramadhan tanpa ada udzur dan alasan”.
Perhatian:
Hadits yang berbunyi
مَنْ أَفْطَرَ مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلاَ مَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صَوْمُ الدَّهْرِ وَإِنْ صَامَهُ
Barangsiapa tidak berpuasa di bulan Ramadhan tanpa ada udzur atau sakit, maka dia tak dapat ditebus dengan puasa setahun sekalipun dia berpuasa.
Adalah hadits yang lemah menurut timbangan ahli hadits.

C. Puasanya orang yang diberi udzur

Alloh berfirman:
 وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗيُرِيدُ اللَّـهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّـهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ ﴿١٨٥
Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (QS.al-Baqarah 185).

1.Musafir

Orang yang musafir (bepergian jauh) ada tiga keadaan:
Pertama: Jika berpuasa sangat memberatkannya, maka haram baginya berpuasa. Tatkala fathu makkah, para sahabat merasakan sangat berat dalam berpuasa. Akhirnya rasulullah berbuka, akan tetapi ada sebagian sahabat yang tetap memaksakan puasa. Maka rasulullahpun berkata: “Mereka itu orang yang bermaksiat, mereka itu orang yang bermaksiat”.
Kedua: Jika berpuasa tidak terlalu memberatkannya, maka dibenci puasa dalam keadaan seperti ini, karena dia berpaling dari keringanan Alloh, yaitu dengan tetap berpuasa padahal dia merasa berat walaupun tidak sangat.
Ketiga: Puasa tidak memberatkannya. Maka hendaklah dia mengerjakan yang mudah, boleh puasa atau berbuka. Karena Alloh berfirman:
رِيدُ اللَّـهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.(QS.al-Baqarah 185).

2.Orang yang sakit

Orang yang sakit terbagi menjadi dua golongan;
Pertama; Orang yang sakitnya terus menerus, berkepanjangan, tidak bisa diharapkan sembuh dengan segera seperti sakit kanker, maka dia tidak wajib puasa. Karena keadaan sakit seperti ini tidak bisa diharapkan untuk bisa puasa. Hendaklah ia memberi makan satu orang miskin sebanyak hari yang ditinggalkan.
Kedua; Orang yang sakitnya bisa diharapkan sembuh, seperti sakit panas dan sebagainya. Maka orang yang sakit seperti ini tidak lepas dari tiga keadaan;
  1. Puasa tidak memberatkannya dan tidak membahayakan. Wajib baginya untuk puasa, karena dia tidak punya udzur.
  2. Puasa memberatkannya akan tetapi tidak membahayakan dirinya, dalam keadaan seperti ini maka dibenci untuk puasa. Karena apabila puasa berarti dia berpaling dari keringanan Alloh, padahal dirinya merasa berat.
  3. Puasa membahayakan dirinya, maka haram baginya untuk puasa. Karena apabila puasa berarti dia mendatangkan bahaya bagi dirinya sendiri. Alloh berfirman;
وَلَا تَقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّـهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا ﴿٢٩
Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. An-Nisa: 29)
Untuk mengetahui bahaya atau tidaknya puasa bagi yang sakit, bisa dengan perasaan dirinya kalau puasa akan berbahaya, atau atas diagnosa dokter yang terpercaya. Maka kapan saja seorang yang sakit tidak puasa dan termasuk golongan ini, hendaklah dia mengganti puasa yang di tinggalkan apabila dia sudah sembuh dan sehat. Apabila dia meninggal sebelum dia sembuh maka gugurlah utang puasanya. Karena yang wajib baginya adalah untuk mengqadha puasa di hari yang lain yang dia sudah mampu melakukannya, sedangkan dia tidak mendapati waktu tersebut.

3.Wanita hamil dan menyusui

Wanita hamil dan menyusui ada tiga keadaan:
Pertama: Apabila wanita hamil dan menyusui khawatir dengan puasanya dapat membahayakan dirinya saja, maka boleh baginya berbuka dan wajib mengqodho (mengganti) di hari yang lain kapan saja sanggupnya menurut pendapat mayoritas ahli ilmu, karena dia seperti orang yang sakit yang khawatir terhadap kesehatan dirinya. Alloh berfirman:
فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ ۚ وَأَن تَصُومُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿١٨٤
Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (QS.al-Baqarah 184).
Imam Ibnu Qudamah mengatakan, “Walhasil, bahwa wanita yang hamil dan menyusui, apabila khawatir terhadap dirinya, maka boleh berbuka dan wajib mengqodho saja. Kami tidak mengetahui ada perselisihan diantara ahli ilmu dalam masalah ini, karena keduanya seperti orang yang sakit yang takut akan kesehatan dirinya.
Kedua: Apabila wanita hamil dan menyusui khawatir dengan puasanya dapat membahayakan dirinya dan anaknya, maka boleh baginya berbuka dan wajib mengqodho seperti keadaan pertama.
Imam an-Nawawi mengatakan: “Parasahabat kami mengatakan: “Orang yang hamil dan menyusui apabila keduanya khawatir dengan puasanya dapat membahayakan dirinya maka dia berbuka dan mengqodho, tidak ada fidyah karena dia seperti orang yang sakit, dan semua ini tidak ada perselisihan. Apabila orang yang hamil dan menyusui khawatir dengan puasanya membahayakan dirinya dan anaknya demikian juga dia berbuka dan mengqodho tanpa ada perselisihan.
Ketiga: Apabila wanita hamil dan menyusui khawatir dengan puasanya akan membahayakan kesehatan janin atau anaknya sajatidak terhadap dirinya, maka dalam masalah ini terjadi silang pendapat diantara ulama hingga terpolar sampai enam pendapat. Yang lebih mendekati kebenaran dalam masalah ini adalah bahwa wanita hamil dan menyusui apabila dengan puasanya khawatir membahayakan kesehatan janin atau anaknya saja, maka dia boleh berbuka dan wajib mengqodho serta membayar fidyah. Wajib mengqodho menurut pendapat kebanyakan ulama, karena keduanya mampu untuk mengqodho, dan tidak ada dalam syariat ini menggugurkan qodho bagi orang yang mampu mengerjakannya. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar bahwa wanita hamil dan menyusui-pada keadaan ketiga ini- wajib mengqodho pada waktu dia mampu.
Adapun fidyah karena mereka termasuk keumuman ayat;
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.(QS.al-Baqoroh 184).
Berdasarkan zhohir ayat ini keduanya wajib membayar fidyah. Yang menguatkan hal ini juga perkataan Ibnu Abbas tatkala mengatakan: “Adalah keringanan ayat ini bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta yang berat berpuasa, bagi mereka untuk berbuka dan memberi makan seorang miskin demikian pula wanita hamil dan menyusui apabila keduanya khawatir-Abu Dawud berkata: “Yaitu khawatir terhadap kesehatan janin dan anaknya saja”- mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin”.
Ibnu Umar pernah ditanya tentang wanita hamil yang khawatir terhadap anaknya? beliau menjawab: “Hendaklah berbuka dan memberi makan seorang miskin setiap hari yang ditinggalkan”.
Ibnu Qudamah mengatakan: “Tidak diketahui ada yang menyelisihi keduanya dari kalangan sahabat”.
Inilah pendapat yang lebih berhati-hati. Dipilih oleh Hanabilah, dan yang masyhur dari kalangan as-Syafi’iyyah. Pendapat ini dikuatkan oleh Mujahid, diriwayatkan pula dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas dan Atho bin Abi Robah. Disetujui pula oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz. Wallohu A’lam

Faedah:

Dalam sebuah Muktamar kedokteran yang digelar di Kairo pada bulan Muharram 1406 H dengan tema “Sebagian perubahan kimiawi yang bisa ditimbulkan dari puasanya wanita hamil dan menyusui” demi menjawab pertanyaan yang kerap muncul apakah puasa berpengaruh terhadap wanita yang hamil dan menyusui. Setelah melalui penelitian para dokter ahli disimpulkan bahwa tidak ada bahaya bagi wanita hamil dan menyusui untuk berpuasa di bulan ramadhan.

8. Bila waktu berbuka tiba

1. Segerakan berbuka
Berdasarkan hadits:
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا اْلفِطْرَ
Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa.
2. Doa berbuka puasa
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ
Telang hilang rasa dahaga, telah basah kerongkongan dan mendapat pahala insya Alloh.
3. Jangan berlebihan
Berdasarkan hadits:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يُفْطِرُ عَلىَ رُطُبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيْ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطُبَاتٍ فَعَلىَ تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
Adalah rasulullah berbuka puasa dengan kurma basah sebelum shalat. Apabila tidak ada kurma basah, beliau berbuka dengan kurma kering, apabila tidak ada kurma kering, beliau berbuka dengan air.
4. Memberi makan orang yang berbuka puasa
Keutamaan memberi makan orang yang berbuka puasa tertuang dalam hadits berikut:
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرُ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
Barangsiapa yang memberi makan kepada orang yang berpuasa, maka baginya pahala semisal orang yang berpuasa, tanpa dikurangi dari pahala orang yang berpuasa sedikitpun.
  1. Shalat tarawih
Rasulullah bersabda:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa yang mengerjakan shalat malam di bulan ramadhan karena keimanan dan mengharap pahala Alloh, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.
Dan hendaklah mengerjakan shalat tarawih bersama imam, jangan pulang sebelum imam selesai, karena rasulullah bersabda:
مَنْ قَامَ مَعَ اْلإِمَامِ حَتىَّ يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
Barangsiapa yang shalat bersama imam sampai selesai, ditulis baginya shalat sepanjang malam.
      10. Berpisah dengan Ramadhan
Apabila Ramadhan sudah berada di penghujung bulan, maka berharaplah selalu kepada Alloh agar amalan kita selama ramadhan diterima disisi-Nya, berharaplah agar kita menjadi insan yang bertakwa. Alloh berfirman:
Sesungguhnya Allah hanya menerima  dari orang-orang yang bertaqwa. (QS.al-Maidah: 27).
Pada hari raya iedul fithri Umar bin Abdul Aziz berkata dalam khutbahnya: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah puasa karena Alloh selama tiga puluh hari, kalian shalat malam selama tiga puluh hari, dan pada hari ini kalian semua keluar untuk meminta kepada Alloh agar diterima amalan kalian. Ketahuilah, sebagian para salaf mereka menampakkan kesedihan pada hari raya iedul fithri, kemudian dikatakan padanya, bukankah hari ini, hari kegembiraan dan kebahagiaan? Dia menjawab: benar, akan tetapi aku adalah seorang hamba yang Alloh memerintahkanku untuk beramal, akan tetapi aku tidak tahu, apakah Alloh menerima amalanku ataukah tidak!?”.

0 komentar: