Sirah Sahabat Nabi MUHAMMAD S.A.W (Bilal Bin Rabah-Muazzin Rasulullah)

Bilal bin Rabah, Muazin Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam, memiliki kisah menarik tentang sebuah perjuangan mempertahankan aqidah. Sebuah kisah yang tidak akan pernah membosankan, walaupun terus diulang-ulang sepanjang zaman. Kekuatan alurnya akan membuat setiap orang tetap penasaran untuk mendengarnya.

Bilal lahir di daerah as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Ayahnya bernama Rabah, sedangkan ibunya bernama Hamamah, seorang budak wanita berkulit hitam yang tinggal di Mekah. Karena ibunya itu, sebagian orang memanggil Bilal dengan sebutan ibnus-Sauda' (putra wanita hitam).

Bilal dibesarkan di kota Ummul Qura (Mekah) sebagai seorang budak milik keluarga bani Abduddar. Saat ayah mereka meinggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir.

Ketika Mekah diterangi cahaya agama baru dan Rasul yang agung Sholallahu ‘alaihi wasallam mulai mengumandangkan seruan kalimat tauhid, Bilal adalah termasuk orang-orang pertama yang memeluk Islam. Saat Bilal masuk Islam, di bumi ini hanya ada beberapa orang yang telah mendahuluinya memeluk agama baru itu, seperti Ummul Mu'minin Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abu Thalib, 'Ammar bin Yasir bersama ibunya, Sumayyah, Shuhaib ar-Rumi, dan al-Miqdad bin al-Aswad.

Bilal merasakan penganiayaan orang-orang musyrik yang lebih berat dari siapa pun. Berbagai macam kekerasan, siksaan, dan kekejaman mendera tubuhnya. Namun ia, sebagaimana kaum muslimin yang lemah lainnya, tetap sabar menghadapi ujian di jalan Allah itu dengan kesabaran yang jarang sanggup ditunjukkan oleh siapa pun.

Orang-orang Islam seperti Abu Bakar dan Ali bin Abu Thalib masih memiliki keluarga dan suku yang membela mereka. Akan tetapi, orang-orang yang tertindas (mustadh'afun) dari kalangan hamba sahaya dan budak itu, tidak memiliki siapa pun, sehingga orang-orang Quraisy menyiksanya tanpa belas kasihan. Quraisy ingin menjadikan penyiksaan atas mereka sebagai contoh dan pelajaran bagi setiap orang yang ingin mengikuti ajaran Muhammad.

Kaum yang tertindas itu disiksa oleh orang-orang kafir Quraisy yang berhati sangat kejam dan tak mengenal kasih sayang, seperti Abu Jahal yang telah menodai dirinya dengan membunuh Sumayyah. Ia sempat menghina dan mencaci maki, kemudian menghunjamkan tombaknya pada perut Sumayyah hingga menembus punggung... , dan gugurlah syuhada pertama dalam sejarah Islam.

Sementara itu, saudara-saudara seperjuangan Sumayyah, terutama Bilal bin Rabah, terus disiksa oleh Quraisy tanpa henti. Biasanya, apabila matahari tepat di atas ubun-ubun dan padang pasir Mekah berubah menjadi perapian yang begitu menyengat, orang-orang Quraisy itu mulai membuka pakaian orang-orang Islam yang tertindas itu, lalu memakaikan baju besi pada mereka dan membiarkan mereka terbakar oleh sengatan matahari yang terasa semakin terik. Tidak cukup sampai di sana, orang-orang Quraisy itu mencambuk tubuh mereka sambil memaksa mereka mencaci maki Muhammad.

Adakalanya, saat siksaan terasa begitu berat dan kekuatan tubuh orang-orang Islam yang tertindas itu semakin lemah untuk menahannya, mereka mengikuti kemauan orang-orang Quraisy yang menyiksa mereka secara lahir, sementara hatinya tetap pasrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kecuali Bilal-semoga Allah meridhainya. Baginya, penderitaan itu masih terasa terlalu ringan jika dibandingkan dengan kecintaannya kepada Allah dan perjuangan di jalan-Nya.

Orang Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal adalah Umayyah bin Khalaf bersama para algojonya. Mereka menghantam punggung telanjang Bilal dengan cambuk, namun Bilal hanya berkata, “Ahad, Ahad ... (Allah Maha Esa).” Mereka menindih dada telanjang Bilal dengan batu besar yang panas, Bilal pun hanya berkata, “Ahad, Ahad ....“ Mereka semakin meningkatkan penyiksaannya, namun Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad....”

Mereka memaksa Bilal agar memuji Latta dan 'Uzza, tapi Bilal justru memuji nama Allah dan Rasul-Nya. Mereka terus memaksanya, “Ikutilah yang kami katakan!”

Bilal menjawab, “Lidahku tidak bisa mengatakannya.” Jawaban ini membuat siksaan mereka semakin hebat dan keras.

Apabila merasa lelah dan bosan menyiksa, sang tiran, Umayyah bin Khalaf, mengikat leher Bilal dengan tali yang kasar lalu menyerahkannya kepada sejumlah orang tak berbudi dan anak-anak agar menariknya di jalanan dan menyeretnya di sepanjang Abthah2 Mekah. Sementara itu, Bilal menikmati siksaan yang diterimanya karena membela ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ia terus mengumandangkan pernyataan agungnya, “Ahad..., Ahad..., Ahad..., Ahad....” Ia terus mengulang-ulangnya tanpa merasa bosan dan lelah.

Suatu ketika, Abu Bakar Rodhiallahu ‘anhu mengajukan penawaran kepada Umayyah bin Khalaf untuk membeli Bilal darinya. Umayyah menaikkan harga berlipat ganda. Ia mengira Abu Bakar tidak akan mau membayarnya. Tapi ternyata, Abu Bakar setuju, walaupun harus mengeluarkan sembilan uqiyah emas1.

Seusai transaksi, Umayyah berkata kepada Abu Bakar, "Sebenarnya, kalau engkau menawar sampai satu uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk menjualnya."

Abu Bakar membalas, "Seandainya engkau memberi tawaran sampai seratus uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk membelinya..."

Ketika Abu Bakar memberi tahu Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam bahwa ia telah membeli sekaligus menyelamatkan Bilal dari cengkeraman para penyiksanya, Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Abu Bakar, "Kalau begitu, biarkan aku bersekutu denganmu untuk membayarnya, wahai Abu Bakar."Ash-Shiddiq Rodhiallahu ‘anhu menjawab, "Aku telah memerdekakannya, wahai Rasulullah."

Setelah Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan sahabat-sahabatnya untuk hijrah ke Madinah, mereka segera berhijrah, termasuk Bilal Rodhiallahu ‘anhu.. Setibanya di Madinah, Bilal tinggal satu rumah dengan Abu Bakar dan 'Amir bin Fihr. Malangnya, mereka terkena penyakit demam. Apabila demamnya agak reda, Bilal melantunkan gurindam kerinduan dengan suaranya yang jernih,

Duhai malangnya aku, akankah suatu malam nanti
Aku bermalam di Fakh3 dikelilingi pohon idzkhir4 dan jalil
Akankah suatu hari nanti aku minum air Mijannah5
Akankah aku melihat lagi pegunungan Syamah dan Thafil6

Tidak perlu heran, mengapa Bilal begitu mendambakan Mekah dan perkampungannya; merindukan lembah dan pegunungannya, karena di sanalah ia merasakan nikmatnya iman.... Di sanalah ia menikmati segala bentuk siksaan untuk mendapatkan keridhaan Allah.... Di sanalah ia berhasil melawan nafsu dan godaan setan.

Bilal tinggal di Madinah dengan tenang dan jauh dari jangkauan orang-orang Quraisy yang kerap menyiksanya. Kini, ia mencurahkan segenap perhatiannya untuk menyertai Nabi sekaligus kekasihnya, Muhammad Sholallahu ‘alaihi wasallam.. Bilal selalu mengikuti Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam ke mana pun beliau pergi. Selalu bersamanyma saat shalat maupun ketika pergi untuk berjihad. Kebersamaannya dengan RasulullahSholallahu ‘alaihi wasallam ibarat bayangan yang tidak pernah lepas dari pemiliknya.

Ketika Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam selesai membangun Masjid Nabawi di Madinah dan menetapkan azan, maka Bilal ditunjuk sebagai orang pertama yang mengumandangkan azan (muazin) dalam sejarah Islam.

Biasanya, setelah mengumandangkan azan, Bilal berdiri di depan pintu rumah Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam seraya berseru, “Hayya ‘alashsholaati hayya ‘alashsholaati...(Mari melaksanakan shalat, mari meraih keuntungan....)” Lalu, ketika Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam keluar dari rumah dan Bilal melihat beliau, Bilal segera melantunkan iqamat.

Suatu ketika, Najasyi, Raja Habasyah, menghadiahkan tiga tombak pendek yang termasuk barang-barang paling istimewa miliknya kepada Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam mengambil satu tombak, sementara sisanya diberikan kepada Ali bin Abu Thalib dan Umar ibnul Khaththab, tapi tidak lama kemudian, beliau memberikan tombak itu kepada Bilal. Sejak saat itu, selama Nabi hidup, Bilal selalu membawa tombak pendek itu ke mana-mana. Ia membawanya dalam kesempatan dua shalat id (Idul Fitri dan Idul Adha), dan shalat istisqa' (mohon turun hujan), dan menancapkannya di hadapan beliau saat melakukan shalat di luar masjid.

Bilal menyertai Nabi Sholallahu ‘alaihi wasallam dalam Perang Badar. Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Allah memenuhi janji-Nya dan menolong tentara-Nya. Ia juga melihat langsung tewasnya para pembesar Quraisy yang pernah menyiksanya dengan hebat. Ia melihat Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf tersungkur berkalang tanah ditembus pedang kaum muslimin dan darahnya mengalir deras karena tusukan tombak orang-orang yang mereka siksa dahulu.

Ketika Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam menaklukkan kota Mekah, beliau berjalan di depan pasukan hijaunya bersama 'sang pengumandang panggilan langit', Bilal bin Rabah. Saat masuk ke Ka'bah, beliau hanya ditemani oleh tiga orang, yaitu Utsman bin Thalhah, pembawa kunci Ka'bah, Usamah bin Zaid, yang dikenal sebagai kekasih Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam dan putra dari kekasihnya, dan Bilal bin Rabah, Muazin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam..

Shalat Zhuhur tiba. Ribuan orang berkumpul di sekitar Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam, termasuk orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam saat itu, baik dengan suka hati maupun terpaksa. Semuanya menyaksikan pemandangan yang agung itu. Pada saat-saat yang sangat bersejarah itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memanggil Bilal bin Rabah agar naik ke atap Ka'bah untuk mengumandangkan kalimat tauhid dari sana. Bilal melaksanakan perintah Rasul Sholallahu ‘alaihi wasallam dengan senang hati, lalu mengumandangkan azan dengan suaranya yang bersih dan jelas.

Ribuan pasang mata memandang ke arahnya dan ribuan lidah mengikuti kalimat azan yang dikumandangkannya. Tetapi di sisi lain, orang-orang yang tidak beriman dengan sepenuh hatinya, tak kuasa memendam hasad di dalam dada. Mereka merasa kedengkian telah merobek-robek hati mereka.

Saat azan yang dikumandangkan Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”. Juwairiyah binti Abu Jahal bergumam, "Sungguh, Allah telah mengangkat kedudukanmu.... Memang, kami tetap akan shalat, tapi demi Allah, kami tidak menyukai orang yang telah membunuh orang-orang yang kami sayangi." Maksudnya, adalah ayahnya yang tewas dalam Perang Badar.

Khalid bin Usaid berkata, "Aku bersyukur kepada Allah yang telah memuliakan ayahku dengan tidak menyaksikan peristiwa hari ini." Kebetulan ayahnya meninggal sehari sebelum Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masuk ke kota Mekah..

Sementara al-Harits bin Hisyam berkata, "Sungguh malang nasibku, mengapa aku tidak mati saja sebelum melihat Bilal naik ke atas Ka'bah."

Al-Hakam bin Abu al-'Ash berkata, "Demi Allah, ini musibah yang sangat besar. Seorang budak bani Jumah bersuara di atas bangunan ini (Ka'bah)."

Sementara Abu Sufyan yang berada dekat mereka hanya berkata, "Aku tidak mengatakan apa pun, karena kalau aku membuat pernyataan, walau hanya satu kalimat, maka pasti akan sampai kepada Muhammad bin Abdullah."

Bilal menjadi muazin tetap selama Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam hidup. Selama itu pula, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sangat menyukai suara yang saat disiksa dengan siksaan yang begitu berat di masa lalu, ia melantunkan kata, "Ahad..., Ahad... (Allah Maha Esa)."

Sesaat setelah Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam mengembuskan napas terakhir, waktu shalat tiba. Bilal berdiri untuk mengumandangkan azan, sementara jasad Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masih terbungkus kain kafan dan belum dikebumikan. Saat Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, tiba-tiba suaranya terhenti. Ia tidak sanggup mengangkat suaranya lagi. Kaum muslimin yang hadir di sana tak kuasa menahan tangis, maka meledaklah suara isak tangis yang membuat suasana semakin mengharu biru.

Sejak kepergian Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam, Bilal hanya sanggup mengumandangkan azan selama tiga hari. Setiap sampai kepada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, ia langsung menangis tersedu-sedu. Begitu pula kaum muslimin yang mendengarnya, larut dalam tangisan pilu.

Karena itu, Bilal memohon kepada Abu Bakar, yang menggantikan posisi Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam sebagai pemimpin, agar diperkenankan tidak mengumandangkan azan lagi, karena tidak sanggup melakukannya. Selain itu, Bilal juga meminta izin kepadanya untuk keluar dari kota Madinah dengan alasan berjihad di jalan Allah dan ikut berperang ke wilayah Syam.

Awalnya, ash-Shiddiq merasa ragu untuk mengabulkan permohonan Bilal sekaligus mengizinkannya keluar dari kota Madinah, namun Bilal mendesaknya seraya berkata, "Jika dulu engkau membeliku untuk kepentingan dirimu sendiri, maka engkau berhak menahanku, tapi jika engkau telah memerdekakanku karena Allah, maka biarkanlah aku bebas menuju kepada-Nya."

Abu Bakar menjawab, "Demi Allah, aku benar-benar membelimu untuk Allah, dan aku memerdekakanmu juga karena Allah."

Bilal menyahut, "Kalau begitu, aku tidak akan pernah mengumandangkan azan untuk siapa pun setelah Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam wafat."

Abu Bakar menjawab, "Baiklah, aku mengabulkannya." Bilal pergi meninggalkan Madinah bersama pasukan pertama yang dikirim oleh Abu Bakar. Ia tinggal di daerah Darayya yang terletak tidak jauh dari kota Damaskus. Bilal benar-benar tidak mau mengumandangkan azan hingga kedatangan Umar ibnul Khaththab ke wilayah Syam, yang kembali bertemu dengan Bilal Rodhiallahu ‘anhu setelah terpisah cukup lama.

Umar sangat merindukan pertemuan dengan Bilal dan menaruh rasa hormat begitu besar kepadanya, sehingga jika ada yang menyebut-nyebut nama Abu Bakar ash-Shiddiq di depannya, maka Umar segera menimpali, "Abu Bakar adalah tuan kita dan telah memerdekakan tuan kita (maksudnya Bilal)."

Dalam kesempatan pertemuan tersebut, sejumlah sahabat mendesak Bilal agar mau mengumandangkan azan di hadapan al-Faruq Umar ibnul Khaththab. Ketika suara Bilal yang nyaring itu kembali terdengar mengumandangkan azan, Umar tidak sanggup menahan tangisnya, maka iapun menangis tersedu-sedu, yang kemudian diikuti oleh seluruh sahabat yang hadir hingga janggut mereka basah dengan air mata. Suara Bilal membangkitkan segenap kerinduan mereka kepada masa-masa kehidupan yang dilewati di Madinah bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam..

BiIal, "pengumandang seruan langit itu", tetap tinggal di Damaskus hingga wafat. Saat menjelang kematiannya, istri Bilal menunggu di sampingnya dengan setia seraya berkata, "Oh, betapa sedihnya hati ini...."

Tapi, setiap istrinya berkata seperti itu, Bilal membuka matanya dan membalas, "Oh, betapa bahagianya hati ini.... " Lalu, sambil mengembuskan napas terakhirnya, Bilal berkata lirih,

"Esok kita bersua dengan orang-orang terkasih...
Muhammad dan sahabat-sahabatnya
Esok kita bersua dengan orang-orang terkasih...
Muhammad dan sahabat-sahabatnya"

1) Satu Uqiyah adalah jenis berat timbangan. Konversi berat Uqiyah di beberapa negara Arab berbeda. Sebagai contoh, di Mesir 1 Uqiyah = 37 gram. Sementara di Halab, 1 Uqiyah = 320 gram. Lihat: Mu'jam al-Lughah al-'Arabiyah al-Mu'aashirah, karya Hans Wehr.
2) Abthah adalah saluran air yang mengering sehingga yang tersisa hanya pasir dan batu kerikil.
3) Nama suatu daerah dekat Mekah.
4) Idzkhir adalah sejenis tumbuhan yang menyebarkan bau harum.
5) Mijannah adalah salah satu pasar bangsa Arab pada masa Jahiliah. Jaraknya sekitar 12 Mil dari Mekah.
6) Syamah dan Thafil adalah nama gunung di Mekah.

Sumber: Shuwar min Hayaati ash-Shahabah (kisahislam.com)

P/S : Teguhnya hatimu demi islam...mampukah aku sepertimu? Ku cuba susuri jejak langkahmu namun segalanya Hanya Tuhan Yang Tahu.....


(http://diariperjalananku.blogspot.com/2010/01/sirah-sahabat-nabi-muhammad-saw-bilal.html)

0 komentar:

Manusia PRASEJARAH Ternyata Tidak Pernah Ada

Manusia PRASEJARAH Ternyata Tidak Pernah Ada

Tanpa harus mengkonfrontir teori manusia purba dengan Al-Quran, sebenarnya ilmu pengetahuan terbaru sudah mematahkannya. Beberapa temuan terakhir justru menunjukkan bahwa teori tentang manusia purba semakin jelas kebohongannya.

Bukti-bukti ilmiyah yang dahulu sering diajukan oleh kalangan evolusionis, satu per satu kini RONTOK. Semakin hari semakin terkuak fakta bahwa Teori Manusia Purba adalah Sebuah Kebohongan Super Besar Sepanjang Sejarah.

Selama ini kita memang dicekoki teori manusia purba dalam kurikulum pendidikan. Para evolusionis telah merekayasa skema khayalan dengan sangat fantastis. Bahkan seringkali dilengkapi dengan ilustrasi yang nampak sangat realistis. Konyolnya, semua itu masuk ke dalam kurikulum pendidikan di seluruh dunia, termasuk di dunia Islam.

Mereka memasukkan Australopithecus, ras kera yang telah punah sebagai ras 'nenek moyang manusia'. Padahal ada jurang besar dan tak berhubungan antara kera dan manusia.

Adapun ras manusia primitif menurut mereka, sebenarnya hanya variasi dari ras manusia modern, namun dibesar-besarkan sebagai spicies yang berbeda. Faktanya, tidak ada urutan kronologis seperti itu. Banyak yang hidup pada priode yang sama yang berarti tidak ada evolusi, bahkan ada yang lebih tua dari jenis yang diklaim sebagai nenek moyangnya.

Tatkala para evolusionis tak juga menemukan satu fosilpun yang bisa mendukung teori mereka, terpaksa mereka melakukan kebohongan. Contoh yang paling terkenal adalah manusia Piltdown yang dibuat dengan memasangkan TULANG RAHANG ORANG HUTAN pada tengkorak manusia.

Fosil ini telah Membohongi Dunia Ilmu Pengetahuan Selama 40 tahun lebih.

Begini Kisahnya :
Pada tahun 1912 seorang ahli palaentologi amatir bernama Charles Dawson mengklaim bahwa dia telah menemukan sebuah tulang rahang dan fragmen tengkorak di sebuah lubang dekat Piltdown, Inggris. Tulang itu mirip tulang rahang hewan namun gigi dan tengkoraknya seperti milik manusia. Spesimen ini dinamakan Manusia Piltdown dan diduga berumur 500.000 tahun.

Rekonstruksi terhadap manusia Piltdown dilakukan dan setelah dipajang di berbagai mueium sebagai bukti nyata evolusi manusia. Selama lebih dari 40 tahun sejumlah penafsiran dan gambar dibuat. Banyak artikel ilmiyah tentang manusia piltdown ini, termasuk 500 tesis doktor tentangnya.

Namun pada tahun 1953, hasil pengujian secara menyeluruh terhadap fosil tersebut menunjukkan kepalsuannya. Tengkorak tersebut berasal dari manusia yang hidup beberapa ribu tahun yang lalu, sedangkan tulang rahangnya berasal dari bangkai kera yang baru terkubur beberapa tahun. Gigi-giginya ditambahkan kemudian agar terlihat mirip manusia lalu persendiannya disumpal. Setelah itu seluruh fosil diwarnai dengan potasium dokromat agar tampak kuno.

Kalau kita menyodorkan ayat Allah SWT di dalam Al-Quran Al-Karim dan hadits Rasulullah SAW tentang manusia pertama, besar kemungkinan para hamba sahaya teori evolusi akan menentangnya. Mereka akan mencari alibi dan dalih untuk membuat penafsiran 'lain' alias menentang kebenaran yang ada di dalamnya.

Berapa banyak dari umat Islam yang masih saja percaya bahwa ada manusia sebelum nabi Adam. Fanatisme buta kepada teori evolusi telah membuat mereka menentang apa yang telah Allah SWT sampaikan dalam kitab suci.

Jadi jawaban yang benar adalah bahwa manusia purba tidak pernah ada, sebab teori evolusi juga tidak pernah terbukti. Ada sejuta kejanggalan yang memaksa teori evolusi termasuk teori manusia purba HARUS DI HAPUS dari kurikulum pendidikan sekolah.

Adam alaihissalam adalah makhluk cerdas pertama di muka bumi. Dengan kedatangan beliau, maka untuk pertama kalinya bumi didatangi oleh makhluk cerdas dari luar angkasa (alien). Kecerdasan manusia sungguh merupakan loncatan besar dalam sejarah bumi, yang sebelumnya hanya dihuni oleh makhluk-makhluk kelas bawah berupa hewan dan tumbuhan. Dengan kata lain, MANUSIA PURBA (PRASEJARAH) Ternyata TIDAK PERNAH ADA.


(http://situslakalaka.blogspot.com/2011/07/manusia-prasejarah-ternyata-tidak.html)

0 komentar:

Tentang Kebahagiaan dan Cinta


Kita barang kali tidak perlu rumit untuk memikirkan bagaimana mekanisme bahagia. Bahagia, sesungguhnya hanyalah sebuah perkara sederhana. Namun, tak banyak yang cuma-cuma mendapatkannya.

Jika kita telik dan telusuri, maka sesungguhnya, setiap perilaku manusia akan menuju pada satu ordinat kecil saja. Yah, kebahagiaan itu sendiri. Jika banyak yang memikirkan, bahwa dengan memperoleh uang banyak akan melahirkan kebahagiaan, maka sebanyak itu pula orang-orang berlomba-lomba untuk mendapatkan uang, yang pada akhirnya menuju ordinat kebahagiaan itu sendiri. Pertanyaannya, apakah benar uang akan menjanjikan kebahagiaan? Belum tentu! Jika yang menjadi titik goal dari kebahagiaan itu adalah serentetan gelar di ujung dan pangkal nama, maka kita melihat begitu banyak pula orang yang mengejarnya. Ordinatnya apa? Lagi-lagi kebahagiaan. Lalu, apakah benar ia menjanjikan kebahagiaan hakiki?

Pada sisi lain, banyak orang yang mengakhiri hidupnya, dengan cara yang begitu tragis. Juga karena, sisi kebahagiaan yang tiada lagi bersemayam di hati mereka. Maka, sesungguhnya, lagi-lagi, arus gradient itu terkonsentrasi pada kata sederhana bernama kebahagiaan!

Coba, kita renungkan sejenak. Dahulu, jika kita masih duduk di bangku sekolah dasar, kita membayangkan, “bagaimana yah, nanti kalo sudah SMP?” Lantas, ketika sudah SMP, semua terasa biasa-biasa saja. Euporianya, hanyalah sesaat saja. Pun begitu seterusnya. Sama halnya dengan ketika kita bertanya, bagaimana sih rasanya mendapat gelar sarjana, magister atau bahkan professor? Barang kali, bahagianya hanya sesaat saja. Namun, setelahnya, semua kembali terasa biasa-biasa saja. Hal senada, barang kali juga kita rasakan ketika dahulu kehidupan kita serba susah. Lalu, ketika Allah mulai melapangkan rizki. Euphoria yang sesaat lalu kemudian semuanya terasa biasa-biasa saja. Hal ini semua sudah cukup menjelaskan betapa uang, kedudukan, gelar dan hal-hal yang bersifat duniawi lainnya hanyalah menjanjikan kebahagiaan sesaat. Hanya sesaat saja. Bahkan, barangkali ia kemudian menjadi begitu adiktif, selalu minta lebih dan lebih, yang katanya untuk mendapatkan kebahagiaan. Tapi, jika memang demikian, terlalu sempit makna bahagia itu.

Lalu, bagaimana sebenarnya buffer kebahagiaan itu, hingga ia tetap “long term” di dalam hati? Bagaimanakah?

Hanya ada satu kata dalam mengkatalis terjadinya kebahagiaan. Yaitu, CINTA!

Karena, cinta adalah energi yang begitu menggerakkan. Mungkin, adalah hal klise jika dikatakan, “seorang pemalas tiba-tiba menjadi rajin, karena jatuh cinta. Dan, seorang yang begitu kasar dan keras, tiba-tiba menjadi lembut dan puitis karena cinta.” Tapi, memang begitulah adanya cinta. Kekuatan besar yang mengubah. Tak lekang oleh zaman, dan tak mengenal kata klise.

Coba, kita rasakan sejenak. Bukankah adalah kebahagiaan, ketika kita bisa membuat orang yang kita cintai bahagia? Ketika kita mencintai ayah dan ibu kita, maka adalah kebahagiaan ketika kita bisa membuat beliau berdua bahagia, tak peduli diri kita berpeluh payah? Dan, itu juga sebaliknya —bahkan, barangkali secara eksponensial sudah berpangkat tak berhingga— seorang ayah, atau ibu, tidak pernah peduli dengan peluh payahnya, bahkan berdarah-darah, hanya karena ia ingin, anak yang ia cintai bahagia! Lagi-lagi, sebenarnya, kata kunci atas bahagia adalah cinta!

Seorang pencinta, akan selalu ingin membuat apa yang dicintainya bahagia. Bahagia. Yah, bahagia! Ia, akan begitu cemas dan khawatir, jika sedikit saja ia melukai seseorang yang ia cintai itu. Apa yang ia cintai itu.

Dan, cinta pula yang menjawab, kenapa seorang Bilal bin Rabbah RA, budak Ethiopia itu rela menerima siksaan yang amat pedih. Karena, kebahagiaan yang ia rasakan atas cintanya pada Allah, jauh di atas kebahagiaan semu ketika ia dilepaskan dengan siksaan itu. Kebahagiaan yang merdeka dan letaknya di hati. Cinta pula yang membuat sosok Agung Rasulullaah SAW tidak pernah rela menukar da’wah beliau dengan tawaran harta, kedudukan dan wanita-wanita. Bahkan, beliau membuat metaphor yang jauh lebih dahsyat. “Andai matahari di tangan kananku, dan rembulan di tangan kiriku, maka aku takkan rela meninggalkan da’wah ini.” Semuanya karena cinta. Dan, cintalah yang kemudian melahirkan kebahagiaan.

Cinta yang tak terjamah logikalah, yang menghadirkan kebahagiaan itu. Kebahagiaan yang takkan pernah terjajah, dan ia tak pernah lekang. Kenapa para syuhada’ itu justru sangat bahagia, jika ia terkena panah, padahal sesungguhnya secara logika itu menyakitkan? Karena, ada kebahagiaan hakiki atas cinta itu.

Iman itu sesungguhnya menjanjikan kebahagiaan. Karena, hanya dengan imanlah, seseorang bisa menangis, kala ia tak terbangun malam. Hanya karena imanlah. Dan, kunci semua itu adalah cinta.

Rahasianya adalah “...dan orang-orang yang beriman SANGAT BESAR CINTANYA kepada Allah...” (QS. Al-Baqaroh [2] : 165)

Cinta yang di atas segala cinta. Dan, bahagia yang di atas segala kebahagiaan. Yap, inilah rahasianya. Ada pada surat cinta-Nya ini.


(http://www.eramuslim.com/oase-iman/fathelvi-mudaris-tentang-kebahagiaan-dan-cinta.htm)

0 komentar:

Cinta Kita Tak Pernah Bertepuk Sebelah Tangan

Sahabat, pernahkah ada sebersit harap di hatimu, untuk melabuhkan asa dan menyandarkan hatimu pada satu sosok? Pernahkah ada sebuah rasa yang meluap-luap bagaikan banjir bandang yang tertahan di balik wajahmu yang merona? Pernahkah ada sebuah rasa yang begitu dahsyat yang begitu sulit engkau tahan dan kemudian binar matamu tak sanggup menyembunyikan itu semua?

Pernahkah engkau rasakan demikian, sahabat? Meski kemudian engkau tahu, bahwa rasa-rasa itu adalah sesungguhnya bukan pada sosok yang layak, dan belum dihalalkan-Nya, lalu kemudian mati-matian engkau coba lenyapkan dari segala bilik memorimu? Pernahkah?

Kemudian, pada saat yang tak terduga, saat harap-harapmu itu seperti singsingan fajar yang semakin meninggi dan kemudian menjadi mentari pagi di ufuk timur yang kian mencerah, kau dihadapkan pada sesuatu yang bagimu lebih dahsyat dari hancurnya katai putih menjadi supernova. Harapan dan asa yang kau rajut tiba-tiba saja buyar seketika.

Tiba-tiba saja mentari yang baru saja menyingsing di ufuk timur, dengan segera tenggelam seketika. Kau merasa gelap. Harapanmu itu kandas seperti bergantinya mentari dengan gelapnya sang malam tanpa rembulan. Semangatmu meredup. Harapanmu lenyap. Lalu, engkau menderita sebab langit asamu tiba-tiba saja mendung dan memuntahan hujan deras.

Ah, sahabat. Kau sedang dirundung kedukaan. Tapi, engkau tak boleh lupa satu hal, bahwa CINTAMU TAK PERNAH BERTEPUK SEBELAH TANGAN! Ya, sekali lagi, cintamu tak pernah bertepuk sebelah tangan. Sungguh, tak pernah.

Sebab, mungkin saja harap-harap itu telah membuatmu lupa bahwa ada banyak lokus cinta yang ada di sekelilingmu. Cinta tulus, yang tak pernah ada pamrih sedikitpun, tercurah untukmu, di saat engkau (mungkin) mengejar cinta yang bahkan bukan selayaknya untuk kau kejar!

Cobalah kembali kita insafi sejenak. Sungguh ada banyak cinta di sekeliling kita, tulus teruntuk buat kita, yang mungkin ambang dalam hati kita sebab satu lokus harap itu sudah tersandar bulat-bulat padanya. Cinta dari sahabat-sahabat kita, saudara saudari kita. Mereka yang merengkuh pundak-pundak kita dengan hangat. Berbagi kedukaan dan berbagi canda tawa dengan kita. Adakah pantas untuk terlupakan?

Ada lagi, curahan cinta yang lebih dahsyat dari itu. Bahkan, ia pertaruhkan nyawa demi kehidupan kita. Sungguh, cinta yang takkan pernah terbalaskan oleh diri kita. Ialah cinta ibu dan ayah kita. Lalu, apakah masih ada alasan bagi kita untuk lupa dengan segenap cinta yang begitu dahsyat ini dan masih merelakan separuh hati kita, bahkan untuk seseorang yang tak layak menurut-Nya? Cobalah sejenak kembali kita selami. Bukankah beliau berdua tak pernah rela membiarkan sedikitpun ada beban penderitaan di hati kita?

Saat kita bahkan lebih euphoria menerima SMS dia dari pada beliau berdua? Saat sebagian alam fikir kita justru tersedot pada seseorang yang belum tentu terbaik buat diri kita, dan lupa akan segala cinta dahsyat dari ayah bunda kita? Bukankah beliau telah berkorban segalanya untuk kita? Memberikan yang terbaik untuk kita. Berbahagia dengan kebahagiaan kita, melebihi kebahagiaan diri beliau sendiri. Apakah kita lupa itu?

Ingatkah kita, ketika beliau lebih rela kekurangan, lebih rela untuk tidak enak, hanya demi diri kita agar tidak kekurangan dan merasa lebih enak? Ingkatkah kita, ketika beliau senantiasa bersusah payah, lelah dan penat tetapi tak pernah beliau keluhkan itu? Bahkan, ketika kita bertanya, “adakah engkau lelah, Bunda?” beliau masih saja menjawab “tidak, anakku” padahal tubuh itu sudah begitu gemetaran? Aaah…, sungguh, mungkin kita lupa, ketika kita mengejar cinta yang belum tentu Alloh halalkan untuk diri kita. Lupakah kita akan hal itu?

Sahabat, bersyukurlah…bahwa engkau jauh lebih beruntung dikaruniai kasih dan cinta yang tak terbatas? Kita jauh lebih beruntung dari pada segenap anak-anak lainnya yang sama sekali tak merasakan dahsyatnya cinta luar biasa ini. Anak-anak yang tak pernah merasakan betapa bersahajanya belaian seorang ibu? Lalu, masihkah kita sanggup berkata, bahwa cinta kita bertepuk sebelah tangan?

Di atas itu semua, masih lagi ada cinta yang Maha Dahsyat! Cinta Sang Maha Pemilik Cinta. Kita, yang senantiasa melakukan dosa di hadapan-Nya, tapi, Dia masih membentangkan segenap keampunan. Masih mencurahkankan segenap Rahman dan Rahim-Nya pada diri kita yang dhaif ini. Dia yang sungguh jauh lebih dekat dengan kita. Bahkan, dia itu, tentulah tak lebih bandingannya dengan sebiji dzarrah dibandingkan luasnya semesta. Bahkan ia lebih kecil dari pada itu. Lalu, adakah kita lupa akan hal ini? Ah, sungguh…cinta kita tak pernah bertepuk sebelah tangan. Tak pernah…

Sahabat...

Sungguh, ada cinta-Nya yang Maha Indah yang lebih patut untuk kita kejar. Sungguh, dia itu bukan apa-apa. Bahkan, BELUM TENTU dia adalah sebaik-baik pilihan-Nya buat diri kita. Berhentilah melabuhkan harap pada manusia yang sama dhaifnya dengan diri kita. Berhentilah menyandarkan hati pada sosok yang belum tentu Dia ridhoi untuk membersamai kita. Sedangkan cinta-Nya dan kasih sayang-Nya, adalah sesuatu yang PASTI meliputi semua hamba-Nya, bahkan setelah kita bermaksiat sekalipun. Sungguh, ampunan-Nya lebih luas dari samudera, kendati pun dosa-dosa kita juga sebanyak air di lautan. Lalu, masihkah kita rela menukar cinta yang banyak dengan cinta yang sedikit? Tentu kita tak ingin merugi, bukan?

Sahabat, mari, kita saling mengingatkan. Mari kita mengejar cinta-Nya. Yaah, cukuplah pada-Nya saja kita labuhkan segenap harap. Dia paling tahu apa yang terbaik bagi diri kita, jauh melebihi kita. Bahkan kita tak tahu apa-apa.


(http://www.eramuslim.com/oase-iman/fathelvi-mudaris-cinta-kita-tak-pernah-bertepuk-sebelah-tangan.htm)

0 komentar:

Ketika Allah Mencintai Hamba-Nya

Jika seseorang mencintai seorang, maka ia akan selalu mendekatinya. Selalu ingin berdekatan. Melihat wajahnya. Berusaha memberi perhatian lebih. Lalu bagaimana jika Allah mencintai hamba-Nya?

Bukan bermaksud membandingkan dengan manusia atau cinta sesama manusia, bukan. Tetapi hanya sedikit menyadarkan tanpa bermaksud menyamakan dengan makhluk. Maaf Allah, aku yang salah berkata ini.

Jika Allah cinta, mungkin seperti cintanya manusia dan lebih lagi. Allah akan membuat kita mendekat kepada Allah. Diberi cobaan dan kesulitan agar selalu mendekat kepada Allah melalui doa dan rintihan kesedihan.

Allah akan lebih suka lagi jika kita ingat dosa-dosa dan bertobat ketika tengah kesusahan. Allah kemudian memberi kebahagiaan agar kita bersyukur dan memuji-Nya. Allah selalu memperhatikan kita, menjaga kita, men-spesial-kan kita, karena kita beriman dan selalu yakin kepadaNya. Karena Allah mencintai orang-orang yang bertakwa.

Berbeda dengan orang-orang yang tidak Allah cinta, dibiarkannya berbuat sesuka hati. Diberi ujian tidak mendekat apalagi diberi kelapangan, malah semakin jauh. Allah tidak akan membuat dia merintih dengan ujian dan penderitaan. Allah juga tidak peduli jika dia tidak bersyukur saat bahagia. Karena Allah tidak cinta, Allah hanya mengasihi mereka. Ah, ini hanya pemikiran dan persangkaanku saja. Sebuah pemikiran yang tidak tepat.

Jadi, berbahagialah untuk kita (semoga aku juga termasuk di dalamnya) yang merintih dan memelas, memohon kepada Allah. Mengadukan segala kesedihan hanya kepada Allah. Karena kita terpilih menjadi hamba yang dicintai Allah.

Kita dituntun untuk mendekat kepada-Nya. Karena Allah suka jika dekat dengan hamba yang dicintai-Nya. Lalu kenapa kita tak juga membalas cinta-Nya? Kenapa masih juga tidak ikhlas dengan kehendak-Nya. Tidak bersabar dengan kesulitan-kesulitan yang datang. Bahkan selalu mengeluh dan menolak jalan ini.

Sebaiknya, mulai sekarang kita harus lebih peka pada setiap kehendak Allah. Apakah itu berwujud cinta Allah agar kita makin meningkatkan ketakwaan, atau berwujud peringatan Allah agar kembali ke jalan Allah dan mendekat kepada-Nya. atau berwujud hadiah dari Allah agar kita bersyukur dan memuji kemurahan Allah. Jangan sampai itu berwujud azab Allah karena kita telah durhaka kepada Allah, naudzubilah.

Semoga kita selalu membersihkan hati dari dosa-dosa yang kita perbuat. Agar kita bisa peka dengan kehendak Allah yang selalu terbaik untuk kita. Amin...

(Allah tengah mengawasiku yang sedang menulis ini, semoga Allah menyukainya, semoga benar yang kupikirkan, semoga Allah selalu cinta padaku). Semoga ini merupakan wujud cintaku kepada Allah... Amin ya Robbalamin....


(http://www.eramuslim.com/akhwat/muslimah/dicintai-allah.htm)

0 komentar:

Dahsyatnya Cinta Itu

“Love story lets make it history” , demikian sepenggal lirik lagu yang kurang lebih berarti ingin menorehkan sejarah kisah cinta. Berbicara mengenai cinta, cinta tak hanya milik antara sepasang kekasih, orang tua kepada anak, cinta dengan sahabat, cinta dengan benda ataupun cinta dengan hewan peliharaan. Sungguh dahsyat cinta, cinta sangat sulit digambarkan dengan kata-kata, hanya perbuatan yang mampu menunjukkan kehebatan cinta.

Sepasang suami istri yang selalu berpegangan tangan dan memandang penuh arti, saling menyuapi makanan ke mulut masing-masing, saling membelai tangan, walaupun sang suami tahu betul bahwa usia istri tak lama lagi karena sang istri sedang mengidap penyakit serius yang mematikan “kanker payudara”.

Di belahan bumi lain, seorang ibu dengan sekuat tenaga melahirkan buah hatinya yang dikandungnya dengan segala daya upaya, walaupun sang ibu tahu betul jika ia ngotot melahirkan maka nyawanya sendiri akan terancam tak terselamatkan.

Juga ada kisah seorang ayah yang rela kehilangan salah satu organ tubuhnya yang penting, yaitu ginjalnya, demi sang buah hati yang sedang mengalami penyakit gagal ginjal yang serius, atau cerita tentang seekor binatang peliharaan, seekor kucing. Ia telah menyelamatkan tuannya dari kecelakaan kebocoran kompor gas dirumah majikannya, dengan menyelamatkan bayi majikannya terlebih dahulu.

Sungguh, begitu dahsyatnya cinta. Jika kita merenung maka kita tahu hakikat cinta sesungguhnya. Cinta tidak datang dengan tiba-tiba. Cinta diciptakan Allah Swt. dengan begitu indah dan lembutnya, cinta merupakan sifat- sifat Allah Swt. Di dalam 99 Asmaul Husna (nama-nama yang indah) yang dimiliki Allah Swt. terdapat misteri yang sangat luas dan diluar jangkauan manusia, dan semuanya mengandung arti cinta yang tak dapat dibayangkan umat manusia, karena cinta adalah milik Allah Swt.

Begitu luas dan dalamnya cinta Sang Pencipta kepada umatnya, sehingga begitu tak terbatasnya maaf dan kesabaran yang dimiliki Sang Penciptanya kepada makhluknya. Salah satu makhluk ciptaannya adalah seorang anak manusia; Rasulullah Muhammad Saw. Beliau adalah seorang Rasul penutup dari kenabian dan rasul lainnya. Beliau merupakan kekasih Allah Swt., dan bahkan tak hanya seluruh umat di penjuru alam semesta ini selalu mendoakan dan bershalawat kepada Rasulullah Muhammad Saw. tetapi Allah Swt. pun senantiasa bershalawat kepadanya.

Kembali pada cinta yang dimiliki manusia, sebegitu dahsyat cinta yang dimiliki oleh umat manusia. Tak cukup hanya sering diucapkan mulut dan dilafazkan oleh lidah yang tak bertulang, namun juga melalui perbuatan. Sungguh dahsyat ukuran cinta bagi makhluk ciptaan Allah Swt. yang bernama manusia, sehingga sering kali mereka rela menukar kehidupannya dengan cinta yang didapatkannya, mereka rela mengorbankan nyawa yang dimilikinya demi cinta, manusia juga rela menukar harta demi adanya cinta dalam kehidupan mereka. Sungguh serumit itukah cinta yang direasakan manusia?

Sungguh tak masuk akal, demi cinta manusia rela menukarkan apapun yang dimilikinya. Bahkan jika cinta itu dapat dibeli dengan uang atau nyawa sekalipun, manusia akan membelinya.

Namun sadarkah semua cinta yang diinginkan sebagian besar manusia adalah cinta duniawi, padahal duniawi semuanya bersifat sementara, semua hanya titipan dan amanah dari Allah Swt. Pernahkah terpikir bahwa kita bisa seperti Khadijah istri Rasulullah Muhammad Saw. yang tak hanya memiliki kecintaan pada sang suami tetapi juga memiliki kecintaan dan keyakinan yang begitu besar kepada Allah Swt.. Sehingga beliau rela memberikan seluruh hartanya demi perjuangan Rasulullah Saw. di jalan Allah Swt.

Manusia, janganlah kita hanya mengatakan dengan lantang beriman kepada Allah Swt dan rasul-Nya, tapi ketika disebut nama Rasulullah Saw. sering kita tidak menyambung dengan bersholawat kepadanya, padahal dengan bersholawat kita sudah termasuk melakukan perbuatan nyata bentuk cinta kepada Allah Swt. dan kepada Rasulullah.

Kita sering bertasbih menyebut dan mengagungkan asma Allah Swt. namun sering kali hati tak ikut bertasbih. Apakah itu bentuk cinta manusia pada sang penciptanya? Sungguh manusia harus memperbanyak melakukan perenungan dan memohon ampun, karena begitu banyak nikmat Allah Swt dan kecintaa-Nya kepada makhluk-Nya, namun tetap saja manusia masih lebih sering menuntut dan terus menuntut, tak jarang pula menyalahkannya apabila ada permohonan tak terkabulkan.

Tidakkah kita melihat bahwa seburuk apapun manusia jika telah meminta pada Allah Swt. maka Allah Swt. akan mengabulkannya, dan bentuk cinta bagaimana lagi yang diinginkan manusia? Harusnya manusia membalas cinta Allah Swt kepada kita dengan senantiasa melakukan segala yang diinginkan Allah Swt.

Jadi, sudahkah kita membuat Allah Swt. mencintai kita? Sudahkah kita bersyukur kepadanya? Semoga kedahsyatan cinta yang kita rasakan sebagai manusia, mampu kita berikan pula kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya dengan segala perintahnya.


(http://www.eramuslim.com/akhwat/muslimah/dahsyatnya-cinta-itu.htm)

0 komentar: