Bakti Cinta untuk yang Tercinta

Hari itu, di sebuah angkot dalam perjalanan pulang, saya tertegun melihat seorang Anak dengan kedua Orang Tua nya. Saya menatapnya dari pojok tempat saya duduk. Sang Anak sepertinya sedang sakit gigi. Gadis kecil itu duduk di samping Ayahnya. Sementara Sang Ibu memegang barang belanjaan.
Awalnya gadis kecil itu diam memegang pipinya, namun perlahan ia meringis, lalu mulai menangis menahan giginya yang sakit. Sang Ayah berusaha membujuknya, menenangkannya. Namun Anak itu tetap menangis. Kemudian Sang Ayah meraih kepala gadis kecil lalu memeluknya erat. Tulus sekali membelai rambut Si Gadis Kecil. Sang Ibu tak ketinggalan. Di tengah belanjaannya, ia pun sibuk membelai Si Anak yang masih mengerang kesakitan.

Tak lama kemudian, naik pula pasangan muda dengan seorang balita. Awalnya tenang, tapi kemudian balita itu mulai rewel, menangis. Marahkah Sang Ayah yang menggendongnya? Ternyata tidak sama sekali. Dia malah sibuk menenangkan balitanya dengan lembut. Sesekali bercanda agar Anaknya diam dari menangis. Hanya senyum terukir dari bibirnya.

Saat itu, saya teringat Orang Tua saya. Mungkin begitulah dulu mereka memperlakukan saya. Penuh cinta, penuh kelembutan. Ketulusan yang mengalahkan kelelahan, kasih sayang yang memancarkan senyuman. Ada rasa rindu menyeruak dalam hati saya. Andai saat itu mereka ada di samping saya, ingin saya memberi kecupan cinta untuk mereka.

Hampir semua Orang Tua yang saya temui memancarkan cinta yang serupa. Cinta yang mendahulukan kebutuhan Anak dibandingkan keinginan mereka sendiri. Kesabaran yang tak berbatas, meski kadang mereka merasa lelah. Saya ingat, Ummi selalu memastikan semua kebutuhan saya terpenuhi, sebelum ia memikirkan kebutuhannya sendiri. Ayah selalu singgah di kamar saya di malam hari, sekedar memastikan bahwa saya telah tidur dengan nyaman, merapikan selimut saya, lalu membelai lembut sebelum ia beranjak untuk tidur.

Lalu, ketika Sang Anak beranjak dewasa, berubahkan cinta Orang Tua untuk Anaknya? Sama sekali tidak. Mereka bahkan berusaha keras untuk tetap 'melayani' anak-anak mereka. Saat sakit, mereka orang yang paling setia merawat Anak-anaknya hingga sembuh. Padahal mereka tidak pernah dibayar untuk semua itu, malah harus mengeluarkan banyak biaya untuk membesarkan anak-anak mereka.

Saya sedih jika melihat Anak yang memaki Orang Tua, menyalahkan Orang Tuanya atas berbagai hal. Saya prihatin jika ada Anak yang melawan Orang Tua hanya karena masalah teman atau pacar. Saya marah jika ada Anak yang menelantarkan Orang Tuanya yang sudah tua, apalagi sampai memasukkannya ke Panti Jompo. Saya benci menyaksikan Anak yang kadang malu mengakui Orang Tuanya yang telah tua renta di hadapan temannya.

Begitukah balasan untuk orang yang telah mengorbankan peluh, keringat, bahkan air matanya sejak Sang Anak lahir? Pantaskah rasanya memperlakukan kasar orang yang telah merawat kita dengan penuh cinta yang tulus? Kalau pun tidak ingat bagaimana Orang Tua memperlakukan kita, lihat dan perhatikan bagaimana orang lain mencintai anak-anaknya. Bisa jadi, perlakuan Orang Tua kita jauh lebih baik dari itu.

Saya mungkin belum banyak berbakti untuk kedua Orang Tua saya. Sudah hampir lima tahun saya meninggalkan rumah untuk menuntut ilmu. Sesekali pulang, saya pun tak berbuat banyak. Malahan seringkali mereka yang masih 'melayani' saya. Rasanya saya tidak akan pernah bisa menandingi kadar cinta mereka. Tapi, jauh di dalam hati, saya mengakui bahwa saya sangat mencintai mereka. Saya bangga punya Orang Tua seperti mereka, saya beruntung bisa belajar mencintai dan menyayangi orang lain dari mereka.

Ya Allah, izinkan hari-hari berikutnya adalah hari di mana saya bisa selalu berada di samping mereka, menggenggam erat tangan mereka, mendengarkan cerita-cerita cinta mereka, dan merawat mereka sepenuh hati. Jika ada air mata mengalir dari mata keduanya, biarkan tangan kecil ini yang menghapusnya dengan penuh cinta. Izinkan diri ini untuk selalu menjaga senyum terukir di bibir mereka.

Kemarin, ada SMS dari Buya (Ayah saya). Bunyinya, “Insya Allah, Buya selalu berdoa untuk kesehatan dan keselamatan Anak Buya.” Ah, lagi-lagi saya selalu tak mampu menandingi besarnya cinta mereka. Sejenak saya mengambil HP dan menulis dengan hati terharu. “Saya sayang Buya dan Ummi selalu. Terima kasih untuk semua yang telah diberikan...”

Robbighfir lii wa li waalidayya warhamhumaa kamaa robbayaanii shoghiiroo.Ya Robbku. Ampunilah aku, Ibu Bapakku dan kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil. Aamiin.


(http://www.eramuslim.com/oase-iman/bakti-cinta-untuk-yang-tercinta.htm)

0 komentar: