Hari itu, di sebuah angkot dalam perjalanan pulang, saya tertegun
melihat seorang Anak dengan kedua Orang Tua nya. Saya menatapnya dari
pojok tempat saya duduk. Sang Anak sepertinya sedang sakit gigi. Gadis
kecil itu duduk di samping Ayahnya. Sementara Sang Ibu memegang barang
belanjaan.
Awalnya gadis kecil itu diam memegang pipinya, namun perlahan ia
meringis, lalu mulai menangis menahan giginya yang sakit. Sang Ayah
berusaha membujuknya, menenangkannya. Namun Anak itu tetap menangis.
Kemudian Sang Ayah meraih kepala gadis kecil lalu memeluknya erat. Tulus
sekali membelai rambut Si Gadis Kecil. Sang Ibu tak ketinggalan. Di
tengah belanjaannya, ia pun sibuk membelai Si Anak yang masih mengerang
kesakitan.
Tak lama kemudian, naik pula pasangan muda dengan seorang balita.
Awalnya tenang, tapi kemudian balita itu mulai rewel, menangis. Marahkah
Sang Ayah yang menggendongnya? Ternyata tidak sama sekali. Dia malah
sibuk menenangkan balitanya dengan lembut. Sesekali bercanda agar
Anaknya diam dari menangis. Hanya senyum terukir dari bibirnya.
Saat itu, saya teringat Orang Tua saya. Mungkin begitulah dulu mereka
memperlakukan saya. Penuh cinta, penuh kelembutan. Ketulusan yang
mengalahkan kelelahan, kasih sayang yang memancarkan senyuman. Ada rasa
rindu menyeruak dalam hati saya. Andai saat itu mereka ada di samping
saya, ingin saya memberi kecupan cinta untuk mereka.
Hampir semua Orang Tua yang saya temui memancarkan cinta yang serupa.
Cinta yang mendahulukan kebutuhan Anak dibandingkan keinginan mereka
sendiri. Kesabaran yang tak berbatas, meski kadang mereka merasa lelah.
Saya ingat, Ummi selalu memastikan semua kebutuhan saya terpenuhi,
sebelum ia memikirkan kebutuhannya sendiri. Ayah selalu singgah di kamar
saya di malam hari, sekedar memastikan bahwa saya telah tidur dengan
nyaman, merapikan selimut saya, lalu membelai lembut sebelum ia beranjak
untuk tidur.
Lalu, ketika Sang Anak beranjak dewasa, berubahkan cinta Orang Tua
untuk Anaknya? Sama sekali tidak. Mereka bahkan berusaha keras untuk
tetap 'melayani' anak-anak mereka. Saat sakit, mereka orang yang paling
setia merawat Anak-anaknya hingga sembuh. Padahal mereka tidak pernah
dibayar untuk semua itu, malah harus mengeluarkan banyak biaya untuk
membesarkan anak-anak mereka.
Saya sedih jika melihat Anak yang memaki Orang Tua, menyalahkan Orang
Tuanya atas berbagai hal. Saya prihatin jika ada Anak yang melawan
Orang Tua hanya karena masalah teman atau pacar. Saya marah jika ada
Anak yang menelantarkan Orang Tuanya yang sudah tua, apalagi sampai
memasukkannya ke Panti Jompo. Saya benci menyaksikan Anak yang kadang
malu mengakui Orang Tuanya yang telah tua renta di hadapan temannya.
Begitukah balasan untuk orang yang telah mengorbankan peluh,
keringat, bahkan air matanya sejak Sang Anak lahir? Pantaskah rasanya
memperlakukan kasar orang yang telah merawat kita dengan penuh cinta
yang tulus? Kalau pun tidak ingat bagaimana Orang Tua memperlakukan
kita, lihat dan perhatikan bagaimana orang lain mencintai anak-anaknya.
Bisa jadi, perlakuan Orang Tua kita jauh lebih baik dari itu.
Saya mungkin belum banyak berbakti untuk kedua Orang Tua saya. Sudah
hampir lima tahun saya meninggalkan rumah untuk menuntut ilmu. Sesekali
pulang, saya pun tak berbuat banyak. Malahan seringkali mereka yang
masih 'melayani' saya. Rasanya saya tidak akan pernah bisa menandingi
kadar cinta mereka. Tapi, jauh di dalam hati, saya mengakui bahwa saya
sangat mencintai mereka. Saya bangga punya Orang Tua seperti mereka,
saya beruntung bisa belajar mencintai dan menyayangi orang lain dari
mereka.
Ya Allah, izinkan hari-hari berikutnya adalah hari di mana saya bisa
selalu berada di samping mereka, menggenggam erat tangan mereka,
mendengarkan cerita-cerita cinta mereka, dan merawat mereka sepenuh
hati. Jika ada air mata mengalir dari mata keduanya, biarkan tangan
kecil ini yang menghapusnya dengan penuh cinta. Izinkan diri ini untuk
selalu menjaga senyum terukir di bibir mereka.
Kemarin, ada SMS dari Buya (Ayah saya). Bunyinya, “Insya Allah, Buya
selalu berdoa untuk kesehatan dan keselamatan Anak Buya.” Ah, lagi-lagi
saya selalu tak mampu menandingi besarnya cinta mereka. Sejenak saya
mengambil HP dan menulis dengan hati terharu. “Saya sayang Buya dan Ummi
selalu. Terima kasih untuk semua yang telah diberikan...”
Robbighfir lii wa li waalidayya warhamhumaa kamaa robbayaanii
shoghiiroo.Ya Robbku. Ampunilah aku, Ibu Bapakku dan kasihilah mereka
keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.
Aamiin.
(http://www.eramuslim.com/oase-iman/bakti-cinta-untuk-yang-tercinta.htm)
Bakti Cinta untuk yang Tercinta
Apa gayamu dalam BERHIJAB (BERJILBAB)?
Bismillah..
Untuk yang belum mengetahuinya, Hijab harus dikenakan di hadapan non-mahrom kita (sebagian besar lawan jenis) dan Alhamdulillah, kita diizinkan untuk berhias jika berada di hadapan mahrom kita (suami, ayah, saudara laki-laki, paman dari pihak ayah dan ibu, kakek, anak laki-laki, ayah mertua, anak laki-laki dari saudara laki-laki, anak laki-laki dari saudara perempuan, menantu laki-laki dan anak laki-laki yang belum aqil baliq) dan dalam pertemuan yang hanya dihadiri oleh muslimah.
Camkan hadits berikut ini:
Rasulullah Salallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Mengapa kita harus mengenakan Hijab?
Apakah engkau merasa tertindas saat mengenakannya??? Jujurlah pada dirimu sendiri.
Perhatikan apa yang difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang hal ini.
Alasan mengapa Dia memerintahkan Hijab bagi wanita disebutkan dalam Qur’an pada ayat berikut di surat Al-Ahzab:
Allah berfirman (yang artinya):
Mari sekarang kita analisis: Mengapa Muslimah mengenakan Hijab?
1. Karena ini adalah perintah Allah. Allah memerintahkan kita dan kita menta’atinya, sederhana bukan? Agar Allah ridho terhadap kita, maka kita menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Karena Dia-lah yang menciptakan kita dan segala hal di sekitar kita, dan Dia menciptakan kita hanya untuk beribadah kepada-Nya. Itulah alasan mengapa kita sekarang ada di dunia dan kita akan kembali kepada-Nya untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan kita semasa hidup. Allah berfirman: “Dan tidaklah Aku ciptakan seluruh jin dan seluruh manusia melainkan untuk beribadah kepadaKu” (QS 51:56).
2. Kita ini berharga. Nasihat juara dunia tinju Muhammad Ali kepada anak perempuannya: “Hana, segala sesuatu ciptaan Allah yang berharga di muka bumi ini senantiasa tertutup dan sulit untuk didapatkan. Di manakah engkau menemukan berlian? Jauh di dalam tanah, tertutup dan terlindungi. Di manakah engkau menemukan mutiara? Jauh di dasar samudera, tertutup dan terlindungi dalam sebuah cangkang yang keras. Di manakah engkau menemukan emas? Jauh di dalam tanah yang ditambah, tertutup oleh banyak lapisan batuan… Engkau harus bekerja keras untuk mendapatkannya.” Ia memandang dengan tatapan mata yang serius. “Demikian pula tubuhmu. Jauh lebih berharga dari pada berlian dan mutiara, maka engkau juga harus mengenakan hijab agar tertutup.”
3. Ini adalah hak kita. Ketika seorang wanita berhijab, maka pria tidak dapat menilai melalui penampilannya, melainkan melalui kepribadian, karakter dan moralnya. Hijab adalah suatu tanggung jawab DITAMBAH hak yang diberikan oleh Allah kepada kita, Allahu a’lam. Inilah keutamaan bagi kita, lantas apa yang menghalangi engkau dari mengenakannya? Mengapa kita harus memperlihatkan kecantikan kita kepada semua orang? Apakah itu hakikat menjadi seorang wanita? Apakah tubuh kita demikian murah? Mengapa kita ingin menjadikan diri kita objek yang tidak berharga? Tidaklah mengherankan bila tingkat pelecehan seksual meningkat, jika kita menyediakan bahan untuk kejahatan tersebut. Camkan!
Saya memperingatkan diri SAYA sendiri terlebih dahulu dan selanjutnya saudari-saudariku yang kucintai karena Allah, SIAPA TAHU ENGKAU LUPA!
Semoga Allah selalu menunjukkan jalan yang lurus kepada kita!
Saudarimu dalam Islam.
Versi tulisan asli: http://www.facebook.com/note.php?note_id=144682325547432
- Apakah engkau “KADANG-KADANG BERHIJAB (BERJILBAB)”?
- Apakah engkau berhijab hanya ketika menghadiri pengajian atau membaca Al Qur’an?
- Apakah engkau berhijab saat berada di Arab Saudi dan engkau lupa bahwa engkau adalah seorang muslimah begitu pesawatmu mendarat di negara lain?
- Apakah engkau berhijab ketika keluar rumah, tetapi memajang foto-fotomu di FB agar dapat dilihat orang lain? (Saudariku yang kucintai dalam Islam, sekali pun engkau membatasi orang-orang yang melihat fotomu dan hanya teman-teman di FB-mu yang bisa melihatnya, WASPADALAH, siapa saja bisa menyimpan foto kita dan melakukan apa pun yang mereka inginkan, dan engkau tidak akan pernah tahu untuk tujuan apa fotomu dimanfaatkan. Belum lagi fakta bahwa teman-temanmu bersama orang lain saat mereka melihat foto-fotomu, yang merupakan non-mahrommu!! Allohul musta’aan)
- Apakah adakalanya engkau mengerudungi kepalamu saja, tetapi tetap mengenakan celana jeans ketat atau pakaian lainnya yang ketat dan membentuk lekuk tubuhmu? (Faktanya banyak muslimah yang melakukannya, dan ini merupakan suatu bentuk penghinaan terhadap hijab!)
- Apakah engkau mengerudungi kepalamu tetapi menampakkan sebagian dari rambutmu, baik di depan atau di belakang, agar engkau terlihat lebih cantik?
- Apakah engkau menutup tubuhmu dengan sempurna, tetapi abaya atau gamis yang engkau kenakan tampak menarik, warna-warni, berenda, berbordir dan berpayet sehingga manarik perhatian orang lain dan sejatinya membutuhkan abaya atau gamis lain untuk menutupi semua perhiasan itu?
Untuk yang belum mengetahuinya, Hijab harus dikenakan di hadapan non-mahrom kita (sebagian besar lawan jenis) dan Alhamdulillah, kita diizinkan untuk berhias jika berada di hadapan mahrom kita (suami, ayah, saudara laki-laki, paman dari pihak ayah dan ibu, kakek, anak laki-laki, ayah mertua, anak laki-laki dari saudara laki-laki, anak laki-laki dari saudara perempuan, menantu laki-laki dan anak laki-laki yang belum aqil baliq) dan dalam pertemuan yang hanya dihadiri oleh muslimah.
Camkan hadits berikut ini:
Rasulullah Salallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 2128)Saudariku yang kucintai karena Allah, pernahkah engkau berpikir tentang tujuan dari Hijab???
Mengapa kita harus mengenakan Hijab?
- Karena tidak ada pilihan lain kecuali mengenakannya saat berada di Saudi Arabia?
- Karena orangtuamu memerintahkan engkau melakukannya?
- Karena orang-orang di sekitarmu mengenakannya?
Apakah engkau merasa tertindas saat mengenakannya??? Jujurlah pada dirimu sendiri.
Perhatikan apa yang difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang hal ini.
Alasan mengapa Dia memerintahkan Hijab bagi wanita disebutkan dalam Qur’an pada ayat berikut di surat Al-Ahzab:
Allah berfirman (yang artinya):
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mendekatkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS 33 : 59)Qur’an menyebutkan bahwa Hijab telah diperintahkan kepada kaum wanita sehingga mereka dikenali sebagai wanita yang tidak menonjolkan diri dan dengan demikian mereka akan terhindar dari gangguan.
Mari sekarang kita analisis: Mengapa Muslimah mengenakan Hijab?
1. Karena ini adalah perintah Allah. Allah memerintahkan kita dan kita menta’atinya, sederhana bukan? Agar Allah ridho terhadap kita, maka kita menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Karena Dia-lah yang menciptakan kita dan segala hal di sekitar kita, dan Dia menciptakan kita hanya untuk beribadah kepada-Nya. Itulah alasan mengapa kita sekarang ada di dunia dan kita akan kembali kepada-Nya untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan kita semasa hidup. Allah berfirman: “Dan tidaklah Aku ciptakan seluruh jin dan seluruh manusia melainkan untuk beribadah kepadaKu” (QS 51:56).
2. Kita ini berharga. Nasihat juara dunia tinju Muhammad Ali kepada anak perempuannya: “Hana, segala sesuatu ciptaan Allah yang berharga di muka bumi ini senantiasa tertutup dan sulit untuk didapatkan. Di manakah engkau menemukan berlian? Jauh di dalam tanah, tertutup dan terlindungi. Di manakah engkau menemukan mutiara? Jauh di dasar samudera, tertutup dan terlindungi dalam sebuah cangkang yang keras. Di manakah engkau menemukan emas? Jauh di dalam tanah yang ditambah, tertutup oleh banyak lapisan batuan… Engkau harus bekerja keras untuk mendapatkannya.” Ia memandang dengan tatapan mata yang serius. “Demikian pula tubuhmu. Jauh lebih berharga dari pada berlian dan mutiara, maka engkau juga harus mengenakan hijab agar tertutup.”
3. Ini adalah hak kita. Ketika seorang wanita berhijab, maka pria tidak dapat menilai melalui penampilannya, melainkan melalui kepribadian, karakter dan moralnya. Hijab adalah suatu tanggung jawab DITAMBAH hak yang diberikan oleh Allah kepada kita, Allahu a’lam. Inilah keutamaan bagi kita, lantas apa yang menghalangi engkau dari mengenakannya? Mengapa kita harus memperlihatkan kecantikan kita kepada semua orang? Apakah itu hakikat menjadi seorang wanita? Apakah tubuh kita demikian murah? Mengapa kita ingin menjadikan diri kita objek yang tidak berharga? Tidaklah mengherankan bila tingkat pelecehan seksual meningkat, jika kita menyediakan bahan untuk kejahatan tersebut. Camkan!
Saya memperingatkan diri SAYA sendiri terlebih dahulu dan selanjutnya saudari-saudariku yang kucintai karena Allah, SIAPA TAHU ENGKAU LUPA!
Semoga Allah selalu menunjukkan jalan yang lurus kepada kita!
Saudarimu dalam Islam.
Versi tulisan asli: http://www.facebook.com/note.php?note_id=144682325547432
Pertarungan Elit Islam Di Indonesia Sangat Membingungkan
Munculnya
Radio Rodja, majalah-majalah seperti As-Sunnah dan ad-Dakhiirah,
penerbit-penerbit seperti Pustaka Imam Asy-Syafi’i dan Pustaka
Darussunnah, ma’had-ma’had salafi seperti Ma’had Ihya as-Sunnah dan
Ma’had Imam Bukhari merupakan bukti diterimanya dan berkembangnya paham
SALAFY di Indonesia.
Lumrah saja para pembela bid’ah hasanah (baca: NU)
yang sedang asyik duduk santai di tahta mereka, kelimpungan dengan aksi
para da’i salafi ini. Pilar-pilar kekuasaan mereka yang telah eksis di
bumi nusantara lebih dari satu abad RONTOK satu demi satu. Terbukti dengan banyaknya kader kader NU yang memilih keluar dari keanggotaannya selama ini.
Tak heran, karena salah satu bidikan dakwah salafi adalah mengenai bid’ah hasanah
yang diyakini mayoritas orang indonesia (baca : Nahdliyin alias NU)
merupakan ajaran yang dihalalkan oleh agama. Tentu saja para pembela
bid’ah ini tak mau tinggal diam melihat masjid-masjid mereka ‘dijajah’
oleh salafiyyun. Debat atau lebih tepatnya disebut perang pemahaman, tak
dapat dihindarkan. .
Ada
secercah harapan, ketenangan dan rasa syukur melihat keberhasilan kaum
salafi mendakwahkan manhaj mereka (dalam masalah bid’ah). Setidaknya
dapat mengurangi intensitas bid’ah yang sangat tinggi di Indonesia,
mulai dari bid’ah yang ecek-ecek seperti tahlilan hingga yang akbar seperti tawasulan di kuburan para wali
Berbagai
manuver dalil yang diluncurkan para ahli bid’ah untuk membela bid’ah
hasanah langsung dipatahkan seketika itu juga. Maka untuk menyiasati
kekuatannya, para ahli bid’ah hasanah menyasar kepada segmen low-end (ORANG AWAM) untuk menyebar paham mereka.
Ahli
bid'ah itu sangat mengerti, orang-orang yang awam jika disodorkan
produk yang dibungkus cantik, mereka langsung berjoget-joget kegirangan,
tak mengerti bahwa tak semua yang kelihatannya bagus adalah bagus.
Begitu pula bid’ah hasanah yang nampaknya hasanah padahal sesat.
Dalil-dalil yang mereka gunakan juga tidak keluar dari hadits dha’if,
penyalahtafsiran al-Qur’an dan pemelintiran perkataan ulama.
Alih-alih
memuji dakwah salafi, muncul kekhawatiran lain yang jauh lebih besar.
Telah menjadi kemafhuman yang tak terbantahkan, bahwa orang-orang salafi
sangat benci dengan yang namanya ‘teroris’. Ya, teroris dalam tanda
petik. Kelompok yang mereka nisbatkan kata ‘teroris’ sejatinya adalah
kaum muslimin yang berusaha menegakkan syari’at islam di bumi dengan
pemahaman mereka (jihad).
Walaupun
kaum salafi menolak tuduhan ini, tapi kenyataan tak dapat didustakan.
Para ulama mujahid kontemporer seperti Sayyid Quthb, Hasan al-Bana dan
Abu Bakar Ba’asyir –yang ada di negeri kita— yang terbukti membela
syariat dengan jihad, mereka cap dengan istilah khawarij, teroris bahkan kilaabun-naar. Astaghfirullahal 'Adziem...
Bahkan
mereka mentafsirkan jihad masa kini adalah sekedar menuntut ilmu saja,
kemudian duduk di tengah majlis lalu mengisi kajian-kajian yang intinya
memerintahkan kaum muslimin untuk menuntut ilmu, lalu duduk di majlis
dan diajarkan kepada para jamaah sebagaimana sebelumnya dan begitu
seterusnya. Tak ada i’dad atau latihan militer.
Mereka
juga ‘tega’ mengajarkan—sebagaimana yang saya dengar sendiri di Ma’had
Ihya As-Sunnah Tasikmalaya—bahwa negara Indonesia adalah negara Islam
meskipun berhukum pada Pancasila dan UUD 45, karena mayoritas
penduduknya adalah islam dan syi’ar-syi’ar islam seperti adzan dan
shalat tidak dilarang.
Pemahaman yang sengaja di-blur
ini mau tak mau, berantai pada pemahaman tentang ulil amri dan jihad.
Karena negara Indonesia ini adalah negara Islam, maka presiden negara
ini adalah ulil amri yang tidak boleh diberontak sezhalim apapun dia
sebagaimana haramnya memberontak Yazid bin Muawwiyah yang menjadi
khalifah pengganti ayahnya meski dia telah melakukan kekejaman terhadap
kaum muslimin yang tidak bisa disebutkan dalam tulisan ini.
Jadi,
jika ada yang melakukan pemberontakan–dalam perkara ini adalah mereka
yang menyeru pada syariat islam dengan jihad— maka orang-orang salafi
melabelinya dengan khawarij dan wajib memusuhinya. Jihadpun jika tidak
ada izin dari ulil amri_SBY, maka haram dilakukan kecuali jika ingin
digelari dengan gelar bughat.
Di
pihak para pembela syariat dengan jihad (selanjutnya disebut kelompok
jihadis), tentu saja mereka tak rela dicap khawarij oleh salafiyyun
karena memang pelabelan tersebut adalah sebuah fitnah yang mungkar lagi
keji. Perang dalil pun terulang kembali.
salafi vs jihadi.
Sebuah
nilai plus bagi orang-orang jihadi karena mereka memiliki senjata yang
tidak kalah canggih dari salafiyyin. Mereka juga punya stasiun radio,
majalah, situs, dan pesantren-pesantren yang memompa semangat jihad. Hal
ini tentu membuat salafiyyin seperti kebakaran jenggot. Untuk
menyiasati kekuatannya, orang-orang salafi menyebarkan manhajnya kepada
segmen high-end dan middle-end. Sehingga tak heran jika
kebanyakan pesantren yang gratis adalah milik salafi karena mereka
memiliki donatur-donatur yang kaya raya dari dalam maupun luar negeri.
Nah
lucunya, ketika salafi dan jihadi sedang bertempur membela manhajnya
masing-masing, kelompok bid’ah hasanah menyelusup ke dalam barisan
jihadi seperti ular berbisa lalu menebar racunnya secara membabi buta,
entah kepada jihadi atau kepada salafi.
Kalau kita lihat, salah satu bentuk serangan jihadi kepada salafi adalah dengan menisbatkannya kepada istilah ‘wahabi’.
Kemudian mereka memaparkan kesesatan-kesesatan kaum wahabi yang salah
satunya adalah suka mengkafirkan dan mencap sesat orang-orang diluar
kelompoknya.
Kelompok
bid’ah hasanah juga ikut-ikutan menisbatkan salafi kepada wahabi seraya
menyebutkan kesesatan-kesesatan wahabi yang ditulis oleh para ulama
terkemuka. Hanya saja bedanya dengan kelompok jihadi, kelompok ini
(pembela bid’ah hasanah) menambahkan satu kesesatan wahabi yang tidak
pernah disebutkan orang jihadi, yakni menolak bid’ah hasanah. Nah lho?
Kenapa
ahlul bid’ah hasanah tidak menyerang kelompok jihadi? Pertama karena
suara jihadi tentang sesatnya segala jenis bid’ah bisa dibilang sangat
lirih bahkan sangat jarang terdengar dalam ceramah Ustad Abu Bakar Ba’asyir atau Habib Rizieq sebagai icon kelompok ini. Mereka lebih fokus pada penerapan syariat islam terutama masalah hudud di Indonesia.
Berbeda
dengan teriakan salafi yang selalu membuat telinga para pembela bid’ah
serasa tersambar petir. Kedua, karena keberadaan jihadi sangat
menguntungkan mereka (ahli bid’ah). Mereka tidak perlu capek-capek
menulis kesesatan wahabi (salafi) karena semuanya sudah ditangani oleh
kelompok jihadi. Mereka hanya perlu meyakinkan kepada umat bahwa bid’ah
hasanah itu halal dan sangat boleh bahkan dianjurkan. Dan orang yang
menolaknya adalah wahabi yang sesat.
Saya
salut dengan dakwah salafi yang berhasil memberantas bid’ah hasanah di
kota-kota besar, tapi saya sangat menyayangkan sikap mereka yang suka
mencela ulama jihadi.
Terus terang saya juga mengagumi dakwah jihadi, tapi aku tidak setuju ketika mereka menisbatkan wahabi kepada salafi.
Kita
sangat berharap islam ini bisa tegak oleh kedua kelompok ini, tapi
bagaimana mungkin jika hari ini saja mereka masih bermusuhan.
Penisbatan
khawarij kepada jihadi oleh salafi dan penisbatan wahabi kepada salafi
oleh jihadi adalah disebabkan karena tidak adanya perasaan saling
mengerti dan memahami antara keduanya. Apakah pernah orang salafi ikut
bermajlis dengan orang jihadi sekedar untuk memahami manhaj mereka???
dan apakah pernah orang jihadi duduk di majlis salafi sekedar untuk
mengetahui mengapa mereka memiki paham yang berlawanan dengan dirinya???
Kami
sendiri tidak tahu harus mengakhiri tulisan ini dengan apa kecuali
sekedar ucapan Alhamdulillahi rabbil ‘aalamiin semoga Allah senantiasa
mengampuni aku dan kita semua dan menyatukan kita dalam satu barisan
kelak
Catatan Santri
(http://situslakalaka.blogspot.com/2011/12/pertarungan-elit-islam-di-indonesia.html)
Kesombonganku!
Aku tahu dan sadar. Sayang dan sialnya, aku tak mau kesadaran itu
terus menetap atau lebih sering dihalau ketika dari hati. Sombong! Fatal
benar kesalahanku ini. Dan bodoh bukan diriku yang enggan menyadari
bahwa diri ini sombong. Atau mungkin kesombongan itu begitu lembut.
Sampai tak terasa keberadaannya. Atau juga kesombongan itu tersembunyi
dibalik kebenaran yang diada-adakan dan lainnya.
Aku mendapat kemalangan kecil, tak suka. Marah. Bukankah ini berarti tak menginginkan kesusahan itu dan merasa harus mendapat yang bahagia saja. Angkuh benar. Ketika sesuatu tak berjalan dengan keinginan, aku juga kesal. Marah. Bukankah ini berarti rencanaku adalah yang benar jadi harus terlaksana. Sombong!
Ketika kebahagiaan tak jadi datang hampiriku, aku sedih. Marah. Merasa sangat pantas mendapatkan kebahagiaan dan harus merasa bahagia. Begitu pula ketika keinginanku tak kudapat. Selalu merasa aku sebaiknya begini, aku harusnya mendapat yang baik dan selalu bahagia. Semua itu karena ada satu pikiran bahwa aku ini baik, aku taat ibadah dan pikiran-pikiran sombongku. Jadi, inilah kesombongan yang bersembunyi dibalik kemarahanku.
Lalu kesombongan yang lembut adalah ketika aku melihat orang lain sholat terlambat, pikiran ini langsung mencibir. Ketika orang lain tak berjilbab, hati ini pun menghina. Ketika mendengar ceramah ustadz yang sesuai diri ini, hati melayang. Dan masih banyak lagi yang merendahkan orang lain dan melambungkan diri. Jadilah kesombongan itu tak terasa karena begitu halus dan sering dilakukan.
Maka aku harus benar-benar membuka mata hati agar melihat sombong yang terbawa dan tersembunyi dibalik kemarahanku. Teliti kenapa aku marah. Lalu cari hakikatnya. Bahwa diri ini tak tahu apa pun pada setiap kejadian. Tak tahu esensinya. Hanya Allah yang tahu segalanya.
Aku memang buruk dan sedang futur sehingga Allah sadarkan dengan kesusahan, itu kan jauh lebih menguntungkan daripada merasa tak terima dengan kesusahan. Karena aku akan taubat, bukannya menghanguskan amal dengan marahku. Kemudian merasai dengan sehalus-halusnya kesombonganku. Ketika mencibir orang lain, segera menyadari radar hati yang berbunyi. Apa yang tengah dilakukan.
Sombong kah. Merasa lebih baik dari orang lain. Oh... itu sungguh kesombongan yang nyata.
Jangan sampai aku terseret sombong samar dan sombong halus. Jangan terjebak. Jangan memanjakan kedua jenis sombong itu dengan membiarkan mereka di hati dan fikir. Berhenti! Segera berhenti ketika sombong itu mulai tersadari. Kalau lalai benar, ketika sadar harus segera mohon ampun. Kesombongan sekecil apa pun Allah tahu. Dan Allah sangat membenci orang yang sombong, astaghfirullah...
Tak terbayangkan ketika dibenci Allah. Jadi aku harus sering-sering membersihkan hati dari sombong dan peka dengan sombong. Bukankah ketika kaca yang bersih akan terasa ketika debu menempel...
"Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri." (QS. An-Nisa [4] : 36)
(http://www.eramuslim.com/oase-iman/najmi-haniva-kesombonganku.htm)
Aku mendapat kemalangan kecil, tak suka. Marah. Bukankah ini berarti tak menginginkan kesusahan itu dan merasa harus mendapat yang bahagia saja. Angkuh benar. Ketika sesuatu tak berjalan dengan keinginan, aku juga kesal. Marah. Bukankah ini berarti rencanaku adalah yang benar jadi harus terlaksana. Sombong!
Ketika kebahagiaan tak jadi datang hampiriku, aku sedih. Marah. Merasa sangat pantas mendapatkan kebahagiaan dan harus merasa bahagia. Begitu pula ketika keinginanku tak kudapat. Selalu merasa aku sebaiknya begini, aku harusnya mendapat yang baik dan selalu bahagia. Semua itu karena ada satu pikiran bahwa aku ini baik, aku taat ibadah dan pikiran-pikiran sombongku. Jadi, inilah kesombongan yang bersembunyi dibalik kemarahanku.
Lalu kesombongan yang lembut adalah ketika aku melihat orang lain sholat terlambat, pikiran ini langsung mencibir. Ketika orang lain tak berjilbab, hati ini pun menghina. Ketika mendengar ceramah ustadz yang sesuai diri ini, hati melayang. Dan masih banyak lagi yang merendahkan orang lain dan melambungkan diri. Jadilah kesombongan itu tak terasa karena begitu halus dan sering dilakukan.
Maka aku harus benar-benar membuka mata hati agar melihat sombong yang terbawa dan tersembunyi dibalik kemarahanku. Teliti kenapa aku marah. Lalu cari hakikatnya. Bahwa diri ini tak tahu apa pun pada setiap kejadian. Tak tahu esensinya. Hanya Allah yang tahu segalanya.
Aku memang buruk dan sedang futur sehingga Allah sadarkan dengan kesusahan, itu kan jauh lebih menguntungkan daripada merasa tak terima dengan kesusahan. Karena aku akan taubat, bukannya menghanguskan amal dengan marahku. Kemudian merasai dengan sehalus-halusnya kesombonganku. Ketika mencibir orang lain, segera menyadari radar hati yang berbunyi. Apa yang tengah dilakukan.
Sombong kah. Merasa lebih baik dari orang lain. Oh... itu sungguh kesombongan yang nyata.
Jangan sampai aku terseret sombong samar dan sombong halus. Jangan terjebak. Jangan memanjakan kedua jenis sombong itu dengan membiarkan mereka di hati dan fikir. Berhenti! Segera berhenti ketika sombong itu mulai tersadari. Kalau lalai benar, ketika sadar harus segera mohon ampun. Kesombongan sekecil apa pun Allah tahu. Dan Allah sangat membenci orang yang sombong, astaghfirullah...
Tak terbayangkan ketika dibenci Allah. Jadi aku harus sering-sering membersihkan hati dari sombong dan peka dengan sombong. Bukankah ketika kaca yang bersih akan terasa ketika debu menempel...
"Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri." (QS. An-Nisa [4] : 36)
(http://www.eramuslim.com/oase-iman/najmi-haniva-kesombonganku.htm)
Belajar pada Kehidupan Sang Daun
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau
duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi(seraya berkata), 'Ya Tuhan kami, tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka'.” (QS. Ali Imran [3] : 190-191)
Saudaraku, apa yang kau rasakan saat membaca ayat tersebut? Adakah kau merasakan ajakan Allah Azza wa Jalla untuk memikirkan ciptaan-Nya, yang mana bila kau lakukan maka Dia akan memberi tanda/petunjuk-Nya padamu?
Bila kita merenungi ayat tersebut kemudian mencoba mengikutinya maka akan terasa tanda-tanda itu bicara pada kita. Sebagai contoh sederhana, kau tahu daun kan? Saking banyaknya daun di sekitar kita, mungkin kita tak pernah memikirkan pelajaran apa yang dapat kita petik dari kehidupan daun.
Mungkin saat mengenyam ilmu di sekolah atau kampus yang berkaitan dengan ilmu biologi atau pertanian, ada sedikit pengetahuan akan kehidupan daun kita peroleh dari ulasan guru atau dosen, baik tentang proses fotosintesis, kemanfaatannya buat alam, manusia, hewan juga tanaman itu sendiri. Tetapi bisa jadi kita menelaahnya hanya sebatas itu, tanpa pernah menyentuh hal ini dari sudut pandang iman.
Oleh karenanya Saudaraku, mari sejenak kita perhatikan daun. Ya, sejenak saja dari sekian banyak waktu yang kau habiskan dengan segala rutinitasmu. Kau pasti tahu bahwa sang daun sejak tumbuh ia memiliki peran penting untuk proses kehidupannya sendiri dan tak diragukan lagi teramat banyak manfaat bagi sekitanya termasuk untuk kita. Kau pun pasti sangat faham saat sang daun luruh ke bumi, ia tetap memberi manfaat sebagai humus yang menyuburkan tanah.
Tidakkah kita bisa mengambil hikmah/pelajaran dari siklus hidupnya ini? Ada sebuah tanda yang Allah tunjukkan pada kita tentang kehidupan daun. Mari kita garisbawahi, bahwa sejak tumbuh hingga luruh ke bumi ia bermanfaat untuk sekitarnya.
Tidakkah kita menginginkan kehidupan kita bisa bermanfaat seperti kehidupan sang daun? Di mana hal ini selaras dengan apa yang diriwayatkan dari Jabir berkata, ”Rasulullah saw bersabda, ’Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia'.” (HR. Thabrani dan Daruquthni)
Mari sejenak kita renungi pula hadits ini, dari Ibnu Umar bahwa seorang lelaki mendatangi Nabi saw dan berkata, ”Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling dicintai Allah? dan amal apakah yang paling dicintai Allah swt?” Rasulullah saw menjawab,”Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat buat manusia dan amal yang paling dicintai Allah adalah kebahagiaan yang engkau masukkan kedalam diri seorang Muslim atau engkau menghilangkan suatu kesulitan atau engkau melunasi utang atau menghilangkan kelaparan. Dan sesungguhnya aku berjalan bersama seorang saudaraku untuk (menuaikan) suatu kebutuhan lebih aku sukai daripada aku beritikaf di masjid ini—yaitu Masjid Madinah—selama satu bulan. Dan barangsiapa yang menghentikan amarahnya maka Allah akan menutupi kekurangannya dan barangsiapa menahan amarahnya padahal dirinya sanggup untuk melakukannya maka Allah akan memenuhi hatinya dengan harapan pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang berjalan bersama saudaranya untuk (menunaikan) suatu keperluan sehingga tertunaikan (keperluan) itu maka Allah akan meneguhkan kakinya pada hari tidak bergemingnya kaki-kaki (hari perhitungan).” (HR. Thabrani)
Mereka, kata Rasulullah saw, adalah sebaik-baik manusia. Mereka mendapatkan cinta Allah karena kebaikan dan manfaat hidupnya terhadap orang lain. Para sahabat pada masa Nabi memahami secara mendalam sebuah kaidah usul fiqih yang menyebutkan bahwa kebaikan yang amalnya dirasakan orang lain lebih bermanfaat ketimbang yang manfaatnya dirasakan oleh diri sendiri.
Tidakkah kita ingin mendapat cinta Allah dengan menjadi bagian dari “Khairunnas anfa’uhum linnas?”
Kurasa tak ada seorang pun yang tak menginginkan dicintai Allah. Bila demikian, mari kita tengok diri kita, apa saja yang sudah diperbuat sepanjang perjalanan hidup kita, adakah yang kita lakukan telah bermanfaat tak hanya untuk diri pribadi tetapi berguna pula untuk orang lain? Bagaimana peran kita selama ini sebagai anak, sebagai suami atau isteri, sebagai ayah atau bunda, sebagai bagian dari masyarakat, sebagai pekerja, pengajar, pedagang, pencari ilmu, atau sebagai apa pun peran yang saat ini sedang dilakoni? Apa pula yang kita ingin orang lain sebutkan tentang diri kita saat meninggalkan kefanaan dunia?
Bila perjalanan hidupmu Saudaraku… masih sama denganku, masih jauh dari bermanfaat untuk sekitar, mulai saat ini mari menyusun langkah dan menata aktivitas kita dengan berorientasi pada kemanfaatan untuk orang banyak. Dengan segenap potensi yang Allah karuniakan, mari kita berjuang menjadi pribadi yang dicintai-Nya.
Indah sekali rasanya bila hidup kita diwarnai semangat untuk selalu menebar kebaikan dan memberi manfaat bagi orang lain. Elok juga rasanya bila ajal telah tiba mengakhiri aktivitas kita di dunia, namun nilai kemanfaatan dari apa yang kita lakukan tetap dirasakan oleh mereka yang masih berkelana di dunia.
Sungguh sangat bermakna pula ketika kita dapat memikirkan tanda-tanda dari ciptaan-Nya, seperti sang daun itu. Mari kita segera bergerak untuk belajar pada kehidupannya: dari tumbuh hingga luruh meninggalkan manfaat untuk sekitar.
Menyambut tahun baru Hijriyah yang sebentar lagi akan kita songsong, mari kita hadirkan dalam hati tentang kehidupan sang daun dan merefleksikannya dalam tingkah laku kita . Menjadikan ia bagian dari inspirasi hidup kita. Semoga dengan mengingat dan belajar pada salah satu ciptaan Allah ini, membuat kita terpacu menjadi bagian dari "Khairunnas anfa’uhum linnas".
(http://www.eramuslim.com/oase-iman/ineu-belajar-pada-kehidupan-sang-daun.htm)
Saudaraku, apa yang kau rasakan saat membaca ayat tersebut? Adakah kau merasakan ajakan Allah Azza wa Jalla untuk memikirkan ciptaan-Nya, yang mana bila kau lakukan maka Dia akan memberi tanda/petunjuk-Nya padamu?
Bila kita merenungi ayat tersebut kemudian mencoba mengikutinya maka akan terasa tanda-tanda itu bicara pada kita. Sebagai contoh sederhana, kau tahu daun kan? Saking banyaknya daun di sekitar kita, mungkin kita tak pernah memikirkan pelajaran apa yang dapat kita petik dari kehidupan daun.
Mungkin saat mengenyam ilmu di sekolah atau kampus yang berkaitan dengan ilmu biologi atau pertanian, ada sedikit pengetahuan akan kehidupan daun kita peroleh dari ulasan guru atau dosen, baik tentang proses fotosintesis, kemanfaatannya buat alam, manusia, hewan juga tanaman itu sendiri. Tetapi bisa jadi kita menelaahnya hanya sebatas itu, tanpa pernah menyentuh hal ini dari sudut pandang iman.
Oleh karenanya Saudaraku, mari sejenak kita perhatikan daun. Ya, sejenak saja dari sekian banyak waktu yang kau habiskan dengan segala rutinitasmu. Kau pasti tahu bahwa sang daun sejak tumbuh ia memiliki peran penting untuk proses kehidupannya sendiri dan tak diragukan lagi teramat banyak manfaat bagi sekitanya termasuk untuk kita. Kau pun pasti sangat faham saat sang daun luruh ke bumi, ia tetap memberi manfaat sebagai humus yang menyuburkan tanah.
Tidakkah kita bisa mengambil hikmah/pelajaran dari siklus hidupnya ini? Ada sebuah tanda yang Allah tunjukkan pada kita tentang kehidupan daun. Mari kita garisbawahi, bahwa sejak tumbuh hingga luruh ke bumi ia bermanfaat untuk sekitarnya.
Tidakkah kita menginginkan kehidupan kita bisa bermanfaat seperti kehidupan sang daun? Di mana hal ini selaras dengan apa yang diriwayatkan dari Jabir berkata, ”Rasulullah saw bersabda, ’Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia'.” (HR. Thabrani dan Daruquthni)
Mari sejenak kita renungi pula hadits ini, dari Ibnu Umar bahwa seorang lelaki mendatangi Nabi saw dan berkata, ”Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling dicintai Allah? dan amal apakah yang paling dicintai Allah swt?” Rasulullah saw menjawab,”Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat buat manusia dan amal yang paling dicintai Allah adalah kebahagiaan yang engkau masukkan kedalam diri seorang Muslim atau engkau menghilangkan suatu kesulitan atau engkau melunasi utang atau menghilangkan kelaparan. Dan sesungguhnya aku berjalan bersama seorang saudaraku untuk (menuaikan) suatu kebutuhan lebih aku sukai daripada aku beritikaf di masjid ini—yaitu Masjid Madinah—selama satu bulan. Dan barangsiapa yang menghentikan amarahnya maka Allah akan menutupi kekurangannya dan barangsiapa menahan amarahnya padahal dirinya sanggup untuk melakukannya maka Allah akan memenuhi hatinya dengan harapan pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang berjalan bersama saudaranya untuk (menunaikan) suatu keperluan sehingga tertunaikan (keperluan) itu maka Allah akan meneguhkan kakinya pada hari tidak bergemingnya kaki-kaki (hari perhitungan).” (HR. Thabrani)
Mereka, kata Rasulullah saw, adalah sebaik-baik manusia. Mereka mendapatkan cinta Allah karena kebaikan dan manfaat hidupnya terhadap orang lain. Para sahabat pada masa Nabi memahami secara mendalam sebuah kaidah usul fiqih yang menyebutkan bahwa kebaikan yang amalnya dirasakan orang lain lebih bermanfaat ketimbang yang manfaatnya dirasakan oleh diri sendiri.
Tidakkah kita ingin mendapat cinta Allah dengan menjadi bagian dari “Khairunnas anfa’uhum linnas?”
Kurasa tak ada seorang pun yang tak menginginkan dicintai Allah. Bila demikian, mari kita tengok diri kita, apa saja yang sudah diperbuat sepanjang perjalanan hidup kita, adakah yang kita lakukan telah bermanfaat tak hanya untuk diri pribadi tetapi berguna pula untuk orang lain? Bagaimana peran kita selama ini sebagai anak, sebagai suami atau isteri, sebagai ayah atau bunda, sebagai bagian dari masyarakat, sebagai pekerja, pengajar, pedagang, pencari ilmu, atau sebagai apa pun peran yang saat ini sedang dilakoni? Apa pula yang kita ingin orang lain sebutkan tentang diri kita saat meninggalkan kefanaan dunia?
Bila perjalanan hidupmu Saudaraku… masih sama denganku, masih jauh dari bermanfaat untuk sekitar, mulai saat ini mari menyusun langkah dan menata aktivitas kita dengan berorientasi pada kemanfaatan untuk orang banyak. Dengan segenap potensi yang Allah karuniakan, mari kita berjuang menjadi pribadi yang dicintai-Nya.
Indah sekali rasanya bila hidup kita diwarnai semangat untuk selalu menebar kebaikan dan memberi manfaat bagi orang lain. Elok juga rasanya bila ajal telah tiba mengakhiri aktivitas kita di dunia, namun nilai kemanfaatan dari apa yang kita lakukan tetap dirasakan oleh mereka yang masih berkelana di dunia.
Sungguh sangat bermakna pula ketika kita dapat memikirkan tanda-tanda dari ciptaan-Nya, seperti sang daun itu. Mari kita segera bergerak untuk belajar pada kehidupannya: dari tumbuh hingga luruh meninggalkan manfaat untuk sekitar.
Menyambut tahun baru Hijriyah yang sebentar lagi akan kita songsong, mari kita hadirkan dalam hati tentang kehidupan sang daun dan merefleksikannya dalam tingkah laku kita . Menjadikan ia bagian dari inspirasi hidup kita. Semoga dengan mengingat dan belajar pada salah satu ciptaan Allah ini, membuat kita terpacu menjadi bagian dari "Khairunnas anfa’uhum linnas".
(http://www.eramuslim.com/oase-iman/ineu-belajar-pada-kehidupan-sang-daun.htm)
Lakukan Saja!
Tiap orang kadang merasa hidupnya hampa, bingung harus mengerjakan
apa. Bedanya ada orang-orang yang sebenarnya menyadari apa hakikat hidup
ini dan adapula yang tak mengerti kehadirannya di Dunia ini untuk apa.
Orang yang sadar bahwa tujuannya diciptakan adalah Khalifah fil Ardhi, menjadi Khalifah di muka bumi. Beribadah, apapun yang dilakukannya diupayakan memiliki nilai Ibadah. Jikapun kadang ia menjadi hampa, itu hanya suatu warna tersendiri yang menjadi sebuah masa rehat untuk memikirkan apa yang akan dilakukan selanjutnya. Bukan lena untuk jangka panjang dan kebingungan tanpa sebab dan akibat.
Sedang yang belum paham akan kehadirannya di muka bumi, biasanya akan kurang menghargai nilai usia yang diberikan Allah. Untuk langkahnya pun kadang ia tak paham mengapa ia lakukan dan untuk apa dilakukan.
Bisa jadi, aku dan kau merasa berada pada dua kondisi di atas. Ketika pada satu masa berada di titik puncak semangat menjadi hamba Allah yang bertaqwa, hati kita berbunga-bunga, senyum selalu tersirat karena kita mampu melaksanakan peran sebagai seorang hamba dengan baik. Tapi di masa lain, karena suatu sebab kita berada pada di titik terendah kelemahan sebagai manusia yang bingung hendak melakukan apa dan melangkah kemana.
Suatu keadaan yang normal, jalani saja. Asalkan jangan sampai kita terlena terlalu lama tanpa mencari pengobar semangat lainnya.
Sebelum menjadi paham, kita adalah hamba yang tak mengerti. Tapi dengan diiringi rasa keingintahuan tentang hakikat penciptaan manusia maka perlahan kita akan bisa menjalani kehidupan lebih bermakna.
Setelah paham akan hakikat penciptaan manusia, sering kita bingung. Merasa tak memiliki kemampuan apapun yang digunakan sebagai sarana untuk menyampaikan kebenaran.
Tak perlu kita berharap menjadi seorang dai ternama yang mampu mengajak jutaan ummat ke jalan hidayah. Jika kita memang belum mampu untuk melakukan semua itu. Perlahan saja kita lakukan dengan apa yang kita bisa dan kita miliki. Sesuai dengan bidang yang kita kuasai.
Jika kamu bisa menulis, upayakanlah menulis sesuatu yang mampu mengajak orang lain pada cahaya Islam. Mengenal Allah dan RasulNya. Jika kamu penyair, syairkanlah bait-bait kata bernafaskan Islam. Amar ma’ruf nahi munkar. Jika kamu senang mendaki gunung, jadikanlah pendakian itu menjadi sarana dakwah bagi teman seperjalananmu dan orang-orang yang kau temui di gunung. Juga sebagai sarana menjaga habitat alam tanpa merusaknya sedikitpun. Jika kau seorang guru, manfaatkanlah kewibawaanmu untuk mendekati murid-muridmu dari hati ke hati. Ajarakan mereka jika mereka menyimpang. Luruskanlah mereka jika mereka bengkok.
Lakukan sebisa kita, Allah menitipkan berbagai kemampuan bukan semata hanya untuk kepentingan Dunia dan melupakan Akhirat. Jemput keberkahan dengan memaksimalkan kemampuan dan pekerjaan kita semata-mata agar bernilai Ibadah. Karena langkah seribu dimulai dari langkah pertama. Pelan-pelan kita jalani.
Paling tidak, dengan melakukan sesuatu yang kita senangi maka tak ada keterpaksaan dalam hati. Hanya dengan meluruskan niat, jadi apa yang kita lakukan bisa menjadi lading amal untuk bekal kelak. Walaupun nantinya kita lelah, akan cukup beristirahat sejenak kemudian melanjutkan perjalanan mengumpulkan keridhoan Allah dalam jejak langkah kita.
Tanpa ada praktek penghambaan kepada Allah. Bisa dipastikan betapa keringnya hidup ini. Layaknya daun kering kurang pengairan, maka akan meranggas perlahan. Begitupun hati kita, jika tak dibasahi dengan amal kebaikan maka hati akan menjadi mati.
Hidup hanya menjadi suatu kefanaan. Monoton. Karena yang dilakukan hanya untuk Dunia dan Dunia. Tiap harinya hanya berfikir bagaimana meraih Dunia. Jikapun secara fisik nampak kebahagiaan. Secara tak kasat mata, ada hati yang mencari suatu kebahagiaan sejati, yang pastinya bukan pada dunia melainkan hanya Allah Azza Wajalla.
Dimulai dengan sedikit berfikir tentang Akhirat. Dimulai dengan melakukan sedikit untuk amal kebaikan untuk bekal di Akhirat. Maka kelamaan akan menjadi suatu 'candu'. Lakukan saja. Dimulai dari sedikit namun fundamental yang kita bisa daripada tidak melakukan sama sekali. Bukan kuantitas yang Allah SWT lihat. Bukan ketenaran di mata manusia yang Allah nilai. Tapi bagaimana usaha kita untuk sungguh-sungguh menjalankan misi di Dunia ini menjadi Khalifah fil Ardhi dan mempraktekkan penghambaan hanya kepada Allah.
Allahua'lam.
(http://www.eramuslim.com/oase-iman/kiptiah-lakukan-saja.htm)
Orang yang sadar bahwa tujuannya diciptakan adalah Khalifah fil Ardhi, menjadi Khalifah di muka bumi. Beribadah, apapun yang dilakukannya diupayakan memiliki nilai Ibadah. Jikapun kadang ia menjadi hampa, itu hanya suatu warna tersendiri yang menjadi sebuah masa rehat untuk memikirkan apa yang akan dilakukan selanjutnya. Bukan lena untuk jangka panjang dan kebingungan tanpa sebab dan akibat.
Sedang yang belum paham akan kehadirannya di muka bumi, biasanya akan kurang menghargai nilai usia yang diberikan Allah. Untuk langkahnya pun kadang ia tak paham mengapa ia lakukan dan untuk apa dilakukan.
Bisa jadi, aku dan kau merasa berada pada dua kondisi di atas. Ketika pada satu masa berada di titik puncak semangat menjadi hamba Allah yang bertaqwa, hati kita berbunga-bunga, senyum selalu tersirat karena kita mampu melaksanakan peran sebagai seorang hamba dengan baik. Tapi di masa lain, karena suatu sebab kita berada pada di titik terendah kelemahan sebagai manusia yang bingung hendak melakukan apa dan melangkah kemana.
Suatu keadaan yang normal, jalani saja. Asalkan jangan sampai kita terlena terlalu lama tanpa mencari pengobar semangat lainnya.
Sebelum menjadi paham, kita adalah hamba yang tak mengerti. Tapi dengan diiringi rasa keingintahuan tentang hakikat penciptaan manusia maka perlahan kita akan bisa menjalani kehidupan lebih bermakna.
Setelah paham akan hakikat penciptaan manusia, sering kita bingung. Merasa tak memiliki kemampuan apapun yang digunakan sebagai sarana untuk menyampaikan kebenaran.
Tak perlu kita berharap menjadi seorang dai ternama yang mampu mengajak jutaan ummat ke jalan hidayah. Jika kita memang belum mampu untuk melakukan semua itu. Perlahan saja kita lakukan dengan apa yang kita bisa dan kita miliki. Sesuai dengan bidang yang kita kuasai.
Jika kamu bisa menulis, upayakanlah menulis sesuatu yang mampu mengajak orang lain pada cahaya Islam. Mengenal Allah dan RasulNya. Jika kamu penyair, syairkanlah bait-bait kata bernafaskan Islam. Amar ma’ruf nahi munkar. Jika kamu senang mendaki gunung, jadikanlah pendakian itu menjadi sarana dakwah bagi teman seperjalananmu dan orang-orang yang kau temui di gunung. Juga sebagai sarana menjaga habitat alam tanpa merusaknya sedikitpun. Jika kau seorang guru, manfaatkanlah kewibawaanmu untuk mendekati murid-muridmu dari hati ke hati. Ajarakan mereka jika mereka menyimpang. Luruskanlah mereka jika mereka bengkok.
Lakukan sebisa kita, Allah menitipkan berbagai kemampuan bukan semata hanya untuk kepentingan Dunia dan melupakan Akhirat. Jemput keberkahan dengan memaksimalkan kemampuan dan pekerjaan kita semata-mata agar bernilai Ibadah. Karena langkah seribu dimulai dari langkah pertama. Pelan-pelan kita jalani.
Paling tidak, dengan melakukan sesuatu yang kita senangi maka tak ada keterpaksaan dalam hati. Hanya dengan meluruskan niat, jadi apa yang kita lakukan bisa menjadi lading amal untuk bekal kelak. Walaupun nantinya kita lelah, akan cukup beristirahat sejenak kemudian melanjutkan perjalanan mengumpulkan keridhoan Allah dalam jejak langkah kita.
Tanpa ada praktek penghambaan kepada Allah. Bisa dipastikan betapa keringnya hidup ini. Layaknya daun kering kurang pengairan, maka akan meranggas perlahan. Begitupun hati kita, jika tak dibasahi dengan amal kebaikan maka hati akan menjadi mati.
Hidup hanya menjadi suatu kefanaan. Monoton. Karena yang dilakukan hanya untuk Dunia dan Dunia. Tiap harinya hanya berfikir bagaimana meraih Dunia. Jikapun secara fisik nampak kebahagiaan. Secara tak kasat mata, ada hati yang mencari suatu kebahagiaan sejati, yang pastinya bukan pada dunia melainkan hanya Allah Azza Wajalla.
Dimulai dengan sedikit berfikir tentang Akhirat. Dimulai dengan melakukan sedikit untuk amal kebaikan untuk bekal di Akhirat. Maka kelamaan akan menjadi suatu 'candu'. Lakukan saja. Dimulai dari sedikit namun fundamental yang kita bisa daripada tidak melakukan sama sekali. Bukan kuantitas yang Allah SWT lihat. Bukan ketenaran di mata manusia yang Allah nilai. Tapi bagaimana usaha kita untuk sungguh-sungguh menjalankan misi di Dunia ini menjadi Khalifah fil Ardhi dan mempraktekkan penghambaan hanya kepada Allah.
Allahua'lam.
(http://www.eramuslim.com/oase-iman/kiptiah-lakukan-saja.htm)
Masih Haruskah Berpacaran?
Allah memberikan rizki sesuai dengan kebutuhan hambaNya dan di waktu
yang menurut Allah terbaik untuk kita mendapatkannya. Jodoh adalah salah
satu rizki yang Allah persiapkan untuk kita.
Allah akan memberikan jodoh pada kita di saat yang tepat. Bukan sesuai dengan keinginan kita. Seringnya kita menginginkan sesuatu hanya berdasarkan pada keinginan bukan pada kebutuhan. Allah Maha Tahu, kapan kita akan siap untuk menerima sebuah tanggung jawab besar untuk membentuk suatu peradaban kecil yang dimulai dari sebuah keluarga.
Karena menikah bukan hanya penyatuan dua insan berbeda dalam satu bahtera tanpa visi dan tujuan yang pasti, berlayar tanpa arah atau berlayar hanya menuju samudera duniawi. Menikah adalah penggenapan setengah agama karena menikah adalah sarana ibadah kepada Allah. Dalam tiap perbuatan di dalam rumah tangga dengan berdasarkan keikhlasan dan ketaqwaan maka ganjarannya adalah pahala. Tapi jika menikah hanya berdasarkan nafsu atau bahkan mengikuti perputaran kehidupan dunia, maka hasilnya pun akan sesuai dengan yang diniatkan.
Karena menikah adalah ibadah. Menikah adalah sunnah dianjurkan Rasulullah saw. Menimbun pahala yang terserak di dalam rumah tangga. Dan semua manusia yang normal pasti akan mendambakan suatu pernikahan. Merasakan suatu episode hidup dimana kita akan memulai segala sesuatu yang baru. Yang dahulu kita berperan sebagai seorang anak dengan berbagai kebahagiaan bermandikan kasih sayang orang tua. Maka menikah adalah suatu gerbang menuju pembelajaran menjadi orang tua kelak. Kita bukan lagi sebagai penumpang dimana mengikuti arah kehidupan yang ditentukan orang tua, melainkan kita akan menjadi driver untuk kehidupan kita sendiri kelak. Kita bisa saja mengikuti jalur yang telah dilewati orang tua, jika memang itu jalur yang tepat. Tapi jika jalur itu tak sesuai dengan arah tujuan kehidupan rumah tangga kita yaitu jalur keridhoan Allah, maka kita pun harus mencari jalur yang tepat.
Karena menikah itu adalah satu kebaikan maka seharusnya harus dimulai dengan yang baik pula. Misalnya, ketika kita ingin lulus ujian, maka kita harus belajar yang giat bukan bermalas-malasan.
Ayat Allah masih jelas tertera dalam kitabNya, bahwa pria yang baik akan mendapatkan wanita yang baik pula dan sebaliknya. Dan ayat itu masih sama dengan pada saat Allah turunkan beribu tahun yang lalu. Janji Allah pun tergambar melalui ayat itu dan Allah Maha Menepati janji. Lalu mengapa kita masih meragukan janji Allah itu?
Masih haruskah berpacaran?
Mengenal lawan jenis dengan dalih untuk mengenal pribadi masing-masing. Padahal kenyataannya, hanya sedikit kejujuran yang ditampakkan pada saat pacaran. Rasa takut yang besar untuk ditinggal pasangannya atau hendak mengambil hati pasangannya membuat mereka menyembunyikan keburukan yang terdapat dalam dirinya.
Sudah menjadi rahasia umum, jika usia pacaran yang lama tak menjamin bahwa itu menjadi suatu jalan untuk memuluskan hubungan menuju jenjang pernikahan. Sudah tak menjamin adanya pernikahan setelah sekian lama menjalin masa pacaran, juga banyak dibumbui pelanggaran terhadap rambu-rambu Allah. Maksiat yang terasa nikmat.
Zaman sekarang, berpacaran sudah selayaknya menjadi pasangan Suami Istri. Si Pria seolah menjadi hak milik wanita dan Si Wanita kepunyaan pribadi Si Pria. Merekapun bebas melakukan apapun sesuai keinginan mereka.
Yang terparah adalah sudah hilangnya rasa malu ketika melakukan hubungan Suami Istri dengan Sang Pacar yang notabene bukan mahram.Padahal pengesahan hubungan berpacaran hanya berupa ucapan yang biasa disebut “nembak”, misalnya “I Love You, maukah kau menjadi pacarku?” dan diterima dengan ucapan “I Love You too, aku mau jadi pacarmu”. Atau sejenisnya. Hanya itu. Tanpa adanya perjanjian yang kuat (mitsaqan ghaliza) antara seorang hamba dengan Sang Pencipta. Tanpa adanya akad yang menghalalkan hubungan tersebut.
Hubungan pacaran tak ada pertanggungjawaban kecuali pelanggaran terhadap aturan Allah. Karena tak ada yang namanya pacaran islami, pacaran sehat atau apalah namanya untuk melegalkan hubungan tersebut.
Kita berlelah melakukan hubungan pacaran. Melakukan apapun guna menyenangkan hati Sang Kekasih (yang belum halal) meskipun hati kita menolak. Jungkir balik kita mempermainkan hati. Hingga suka dan sedih karena cinta, cinta terlarang. Hati dan otak dipenuhi hanya dengan masalah cinta. Kita menangis karena cinta, kita tertawa karena cinta, kita meraung-meraung ditinggal cinta, kita pun mengemis cinta.
Hingga tak ada tempat untuk otak memikirkan hal positif lainnya.
Tapi sayang, itu hanya cinta semu. Sesuatu yang semu adalah kesia-siaan. Kita berkorban mengatasnamakan cinta semu. Seorang pacar, hebatnya bisa menggantikan prioritas seorang anak untuk menghormati orangtua. Tak sedikit yang lebih senang berdua-duaan dengan Sang Pacar dibanding menemani orangtua.
Pacar bisa jadi lebih tau sedang dimana seorang anak dibanding orangtuanya sendiri. Seseorang akan rela menyenangkan hati pacarnya untuk dibelikan sesuatu yang disuka dibandingkan memberikan kejutan untuk seorang Ibu yang melahirkannya. Seseorang akan lebih menurut pada perintah Sang Pacar dibanding orangtuanya. Hubungan yang baru terjalin bisa menggantikan hubungan lahiriyah dan bathiniyah seorang anak dengan orangtua.
Jikapun akhirnya menikah, maka tak ada lagi sesuatu yang spesial untuk dipersembahkan pada pasangannya. Sebuah rasa yang seharusnya diperuntukkan untuk pasangannya karena telah diumbar sebelumnya, maka akan menjadi hal yang biasa. Tak ada lagi rasa “greget”, karena masing-masing telah mendapatkan apa yang diinginkan pada masa berpacaran. Bisa jadi, akibat mendapatkan sesuatu belum pada waktunya maka ikrar suci pernikahan bukan menjadi sesuatu yang sakral dan mudah dipermainkan. Na’udzubillah.
Parahnya jika tiba-tiba hubungan pacaran itu kandas, hanya dengan sebuah kata “PUTUS” maka kebanyakan akan menjadi sebuah permusuhan. Apalagi jika disebabkan hal yang kurang baik misalnya perselingkuhan. Kembali hati yang menanggung akibatnya. Kesedihan yang berlebihan hingga beberapa lama. Hati yang terlanjur memendam benci. Tak sedikit yang teramat merasakan patah hati dikarenakan cinta berlebihan menyebabkannya sakit secara fisik dan psikis. Juga ada beberapa kasus bunuh diri karena tak kuat menahan kesedihan akibat patah hati.
Terdengar berlebihan. Tapi itulah kenyataannya, hati adalah suatu organ yang sensitif. Bisa naik secara drastis, tak jarang bisa jatuh langsung menghantam ke bumi. Apa yang dirasakan hati akan terlihat pada sikap dan prilaku. Hati yang terpenuhi nafsu akan enggan menerima hal baik.
Ada orang bilang, jangan pernah bermain dengan hati. Karena dari mata turun ke hati, kemudian tak akan turun kembali. Akan ada sebuah rasa akan mengendap di dalam hati. Jika rasa itu baik dan ditujukan pada seseorang yang halal (Suami atau Istri) maka kebaikan akan terpancar secara lahiriyah. Bukan sebuah melankolisme yang kini merajalela.
Banyak pelajaran dari sekitar. Kenapa masih harus berpacaran?
Karena ingin ada teman yang selalu setia mendengar tiap keluh kesah? Tak selamanya manusia bisa dengan rela mendengarkan keluhan manusia lainnya. Hanya Allah yang tak pernah berpaling untuk hambaNya. Bisa jadi secara fisik Sang Pacar rela mendengar dengan seksama, tapi dia juga manusia yang akan merasa bosan jika selalu dicecoki dengan berbagai keluhan.
Malu dibilang jomblo?
Jika dengan jomblo kita bisa terbebas dari rasa yang terlarang, kenapa harus malu? Justru kita akan merasa nyaman bercengkerama dengan Allah karena sadar hati kita hanya patut ditujukan kepadaNya bukan yang lain. Justru kita harus bangga, di saat yang lain berlomba untuk melakukan hal terlarang tapi kita menjauhinya. Kemudian tak akan ada perasaan was-was karena telah melanggar aturan Allah. Kita bebas berkumpul dengan kawan-kawan tanpa ada kekangan dari orang yang sesungguhnya tak memiliki kewenangan terhadap diri kita.
Mungkin masih banyak lagi kesia-siaan dalam berpacaran. Dan sesungguhnya belum tentu Sang Pacar akan menjadi pasangan kita kelak.
Pacaran ibarat minuman beralkohol, banyak yang mengelak bahwa dengan berpacaran mereka memiliki semangat baru dan sederet hal positif yang mereka kumandangkan. Tapi sama halnya dengan alkohol, maka manfaat yang didapat jauh lebih kecil dibanding kemudharatan yang dihasilkan. Karena segala sesuatu yang dilarang Allah, pasti ada sebab dan manfaatnya.
Kemudian ada yang berdalih, toh pacaran itu tidak merugikan orang lain. Tidak merugikan orang lain, namun hukum Allah jauh lebih baik untuk diikuti ketimbang menurutkan hawa nafsu yang berakhir pada jurang kebinasaan.
Kembali ke pernikahan, suatu kebaikan maka tak pantas jika diawali dengan keburukan. Allah tak akan ingkar janji, karena jodoh telah Allah tetapkan di Lauh Mahfuzh. Tinggal kita melakukan usaha yang baik, yang Allah ridhoi. Supaya tiap langkah kita, hanya berisi keridhoan Allah dan mendapat keberkahanNya. Aamiin.
(hanya sebuah catatan hati guna pengingat diri dan saudara seimanku)
Allahua’lam
(http://www.eramuslim.com/oase-iman/kiptiah-masih-haruskah-berpacaran.htm)
Allah akan memberikan jodoh pada kita di saat yang tepat. Bukan sesuai dengan keinginan kita. Seringnya kita menginginkan sesuatu hanya berdasarkan pada keinginan bukan pada kebutuhan. Allah Maha Tahu, kapan kita akan siap untuk menerima sebuah tanggung jawab besar untuk membentuk suatu peradaban kecil yang dimulai dari sebuah keluarga.
Karena menikah bukan hanya penyatuan dua insan berbeda dalam satu bahtera tanpa visi dan tujuan yang pasti, berlayar tanpa arah atau berlayar hanya menuju samudera duniawi. Menikah adalah penggenapan setengah agama karena menikah adalah sarana ibadah kepada Allah. Dalam tiap perbuatan di dalam rumah tangga dengan berdasarkan keikhlasan dan ketaqwaan maka ganjarannya adalah pahala. Tapi jika menikah hanya berdasarkan nafsu atau bahkan mengikuti perputaran kehidupan dunia, maka hasilnya pun akan sesuai dengan yang diniatkan.
Karena menikah adalah ibadah. Menikah adalah sunnah dianjurkan Rasulullah saw. Menimbun pahala yang terserak di dalam rumah tangga. Dan semua manusia yang normal pasti akan mendambakan suatu pernikahan. Merasakan suatu episode hidup dimana kita akan memulai segala sesuatu yang baru. Yang dahulu kita berperan sebagai seorang anak dengan berbagai kebahagiaan bermandikan kasih sayang orang tua. Maka menikah adalah suatu gerbang menuju pembelajaran menjadi orang tua kelak. Kita bukan lagi sebagai penumpang dimana mengikuti arah kehidupan yang ditentukan orang tua, melainkan kita akan menjadi driver untuk kehidupan kita sendiri kelak. Kita bisa saja mengikuti jalur yang telah dilewati orang tua, jika memang itu jalur yang tepat. Tapi jika jalur itu tak sesuai dengan arah tujuan kehidupan rumah tangga kita yaitu jalur keridhoan Allah, maka kita pun harus mencari jalur yang tepat.
Karena menikah itu adalah satu kebaikan maka seharusnya harus dimulai dengan yang baik pula. Misalnya, ketika kita ingin lulus ujian, maka kita harus belajar yang giat bukan bermalas-malasan.
Ayat Allah masih jelas tertera dalam kitabNya, bahwa pria yang baik akan mendapatkan wanita yang baik pula dan sebaliknya. Dan ayat itu masih sama dengan pada saat Allah turunkan beribu tahun yang lalu. Janji Allah pun tergambar melalui ayat itu dan Allah Maha Menepati janji. Lalu mengapa kita masih meragukan janji Allah itu?
Masih haruskah berpacaran?
Mengenal lawan jenis dengan dalih untuk mengenal pribadi masing-masing. Padahal kenyataannya, hanya sedikit kejujuran yang ditampakkan pada saat pacaran. Rasa takut yang besar untuk ditinggal pasangannya atau hendak mengambil hati pasangannya membuat mereka menyembunyikan keburukan yang terdapat dalam dirinya.
Sudah menjadi rahasia umum, jika usia pacaran yang lama tak menjamin bahwa itu menjadi suatu jalan untuk memuluskan hubungan menuju jenjang pernikahan. Sudah tak menjamin adanya pernikahan setelah sekian lama menjalin masa pacaran, juga banyak dibumbui pelanggaran terhadap rambu-rambu Allah. Maksiat yang terasa nikmat.
Zaman sekarang, berpacaran sudah selayaknya menjadi pasangan Suami Istri. Si Pria seolah menjadi hak milik wanita dan Si Wanita kepunyaan pribadi Si Pria. Merekapun bebas melakukan apapun sesuai keinginan mereka.
Yang terparah adalah sudah hilangnya rasa malu ketika melakukan hubungan Suami Istri dengan Sang Pacar yang notabene bukan mahram.Padahal pengesahan hubungan berpacaran hanya berupa ucapan yang biasa disebut “nembak”, misalnya “I Love You, maukah kau menjadi pacarku?” dan diterima dengan ucapan “I Love You too, aku mau jadi pacarmu”. Atau sejenisnya. Hanya itu. Tanpa adanya perjanjian yang kuat (mitsaqan ghaliza) antara seorang hamba dengan Sang Pencipta. Tanpa adanya akad yang menghalalkan hubungan tersebut.
Hubungan pacaran tak ada pertanggungjawaban kecuali pelanggaran terhadap aturan Allah. Karena tak ada yang namanya pacaran islami, pacaran sehat atau apalah namanya untuk melegalkan hubungan tersebut.
Kita berlelah melakukan hubungan pacaran. Melakukan apapun guna menyenangkan hati Sang Kekasih (yang belum halal) meskipun hati kita menolak. Jungkir balik kita mempermainkan hati. Hingga suka dan sedih karena cinta, cinta terlarang. Hati dan otak dipenuhi hanya dengan masalah cinta. Kita menangis karena cinta, kita tertawa karena cinta, kita meraung-meraung ditinggal cinta, kita pun mengemis cinta.
Hingga tak ada tempat untuk otak memikirkan hal positif lainnya.
Tapi sayang, itu hanya cinta semu. Sesuatu yang semu adalah kesia-siaan. Kita berkorban mengatasnamakan cinta semu. Seorang pacar, hebatnya bisa menggantikan prioritas seorang anak untuk menghormati orangtua. Tak sedikit yang lebih senang berdua-duaan dengan Sang Pacar dibanding menemani orangtua.
Pacar bisa jadi lebih tau sedang dimana seorang anak dibanding orangtuanya sendiri. Seseorang akan rela menyenangkan hati pacarnya untuk dibelikan sesuatu yang disuka dibandingkan memberikan kejutan untuk seorang Ibu yang melahirkannya. Seseorang akan lebih menurut pada perintah Sang Pacar dibanding orangtuanya. Hubungan yang baru terjalin bisa menggantikan hubungan lahiriyah dan bathiniyah seorang anak dengan orangtua.
Jikapun akhirnya menikah, maka tak ada lagi sesuatu yang spesial untuk dipersembahkan pada pasangannya. Sebuah rasa yang seharusnya diperuntukkan untuk pasangannya karena telah diumbar sebelumnya, maka akan menjadi hal yang biasa. Tak ada lagi rasa “greget”, karena masing-masing telah mendapatkan apa yang diinginkan pada masa berpacaran. Bisa jadi, akibat mendapatkan sesuatu belum pada waktunya maka ikrar suci pernikahan bukan menjadi sesuatu yang sakral dan mudah dipermainkan. Na’udzubillah.
Parahnya jika tiba-tiba hubungan pacaran itu kandas, hanya dengan sebuah kata “PUTUS” maka kebanyakan akan menjadi sebuah permusuhan. Apalagi jika disebabkan hal yang kurang baik misalnya perselingkuhan. Kembali hati yang menanggung akibatnya. Kesedihan yang berlebihan hingga beberapa lama. Hati yang terlanjur memendam benci. Tak sedikit yang teramat merasakan patah hati dikarenakan cinta berlebihan menyebabkannya sakit secara fisik dan psikis. Juga ada beberapa kasus bunuh diri karena tak kuat menahan kesedihan akibat patah hati.
Terdengar berlebihan. Tapi itulah kenyataannya, hati adalah suatu organ yang sensitif. Bisa naik secara drastis, tak jarang bisa jatuh langsung menghantam ke bumi. Apa yang dirasakan hati akan terlihat pada sikap dan prilaku. Hati yang terpenuhi nafsu akan enggan menerima hal baik.
Ada orang bilang, jangan pernah bermain dengan hati. Karena dari mata turun ke hati, kemudian tak akan turun kembali. Akan ada sebuah rasa akan mengendap di dalam hati. Jika rasa itu baik dan ditujukan pada seseorang yang halal (Suami atau Istri) maka kebaikan akan terpancar secara lahiriyah. Bukan sebuah melankolisme yang kini merajalela.
Banyak pelajaran dari sekitar. Kenapa masih harus berpacaran?
Karena ingin ada teman yang selalu setia mendengar tiap keluh kesah? Tak selamanya manusia bisa dengan rela mendengarkan keluhan manusia lainnya. Hanya Allah yang tak pernah berpaling untuk hambaNya. Bisa jadi secara fisik Sang Pacar rela mendengar dengan seksama, tapi dia juga manusia yang akan merasa bosan jika selalu dicecoki dengan berbagai keluhan.
Malu dibilang jomblo?
Jika dengan jomblo kita bisa terbebas dari rasa yang terlarang, kenapa harus malu? Justru kita akan merasa nyaman bercengkerama dengan Allah karena sadar hati kita hanya patut ditujukan kepadaNya bukan yang lain. Justru kita harus bangga, di saat yang lain berlomba untuk melakukan hal terlarang tapi kita menjauhinya. Kemudian tak akan ada perasaan was-was karena telah melanggar aturan Allah. Kita bebas berkumpul dengan kawan-kawan tanpa ada kekangan dari orang yang sesungguhnya tak memiliki kewenangan terhadap diri kita.
Mungkin masih banyak lagi kesia-siaan dalam berpacaran. Dan sesungguhnya belum tentu Sang Pacar akan menjadi pasangan kita kelak.
Pacaran ibarat minuman beralkohol, banyak yang mengelak bahwa dengan berpacaran mereka memiliki semangat baru dan sederet hal positif yang mereka kumandangkan. Tapi sama halnya dengan alkohol, maka manfaat yang didapat jauh lebih kecil dibanding kemudharatan yang dihasilkan. Karena segala sesuatu yang dilarang Allah, pasti ada sebab dan manfaatnya.
Kemudian ada yang berdalih, toh pacaran itu tidak merugikan orang lain. Tidak merugikan orang lain, namun hukum Allah jauh lebih baik untuk diikuti ketimbang menurutkan hawa nafsu yang berakhir pada jurang kebinasaan.
Kembali ke pernikahan, suatu kebaikan maka tak pantas jika diawali dengan keburukan. Allah tak akan ingkar janji, karena jodoh telah Allah tetapkan di Lauh Mahfuzh. Tinggal kita melakukan usaha yang baik, yang Allah ridhoi. Supaya tiap langkah kita, hanya berisi keridhoan Allah dan mendapat keberkahanNya. Aamiin.
(hanya sebuah catatan hati guna pengingat diri dan saudara seimanku)
Allahua’lam
(http://www.eramuslim.com/oase-iman/kiptiah-masih-haruskah-berpacaran.htm)
Kenapa Kita Menganut Agama Islam?
Setidaknya ada sepuluh alasan mengapa kita menganut agama Islam. Kesepuluh alasan tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, karena kita ingin hidup di dalam naungan ridha Allah سبحانه و تعالى . Sedangkan Allah سبحانه و تعالى telah menegaskan di dalam Kitab-Nya bahwa satu-satunya agama atu jalan hidup yang diridhai-Nya hanyalah agama Islam. Tidak ada seorangpun Muslim yang pernah membaca ayat di bawah ini kecuali pasti akan menjadikan Islam sebagai satu-satunya pilihan agama yang ia anut. Karena Allah سبحانه و تعالى hanya meridhai atau melegalisir agama Islam, bukan agama selain Islam.
"Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam." (QS. Ali Imran [3] : 19)
Seorang Muslim sangat peduli memperoleh ridha Allah سبحانه و تعالى dalam hidupnya. Ia tidak risau jika pak RT atau pak RW atau presiden atau bahkan penguasa negara superpower sekalipun tidak ridha kepadanya. Tapi ia sangat risau jika Allah سبحانه و تعالى Penguasa langit dan bumi tidak meridhai hidupnya.
Ayat di atas bukan saja menegaskan bahwa penganut agama Islam bakal memperoleh ridha dan restu Allah سبحانه و تعالى , tetapi secara implisit juga menegaskan bahwa barangsiapa mencari agama selain Islam berarti ia hidup di dunia tanpa keridhaan Allah سبحانه و تعالى . Jika Allah سبحانه و تعالى tidak ridha kepadanya berarti ia bakal menderita kerugian di akhirat nanti. Sebab murka Allah سبحانه و تعالى menanti dirinya. Bagaimana tidak? Allah سبحانه و تعالى telah memberikan begitu banyak nikmat —lahir maupun batin— kepadanya, namun ia malah tidak bersyukur terhadap nikmat yang paling utama, yaitu hidayah agama Islam. Bukti tidak bersyukurnya ialah dia memilih agama selain Islam yang sesungguhnya menjauhkan dirinya dari Ridha Allah سبحانه و تعالى .
"Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi." (QS. Ali Imran [3] : 85)
Keridhaan Allah سبحانه و تعالى akan tercurah kepada kita karena kita memilih untuk beridentitas Islam, bukan yang lainnya. Sebab Allah سبحانه و تعالى menyuruh kita saat berinteraksi dengan penganut agama lainnya agar menawarkan prinsip hidup tauhid kepada mereka sebagai kesepakatan bersama. Tetapi kemudian jika mereka berpaling, kita tidak disuruh untuk berkompromi dengan mereka, misalnya dengan mencari identitas “pertengahan” seperti nasionalisme dan sejenisnya. Allah سبحانه و تعالى menyuruh kita untuk memproklamirkan diri sebagai orang-orang yang beridentitas Islam.
"Katakanlah, 'Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah'. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka, 'Saksikanlah, bahwa kami adalah kaum muslimin (orang-orang yang berserah diri kepada Allah)'." (QS. Ali Imran [3] : 64)
Kedua, kita menganut agama Islam karena ingin hidup seirama dengan gerak alam semesta. Seluruh makhluk di langit maupun di bumi bersikap “Islam” atau berserah-diri, bersujud, tunduk dan patuh kepada Allah سبحانه و تعالى . Maka kita tidak ingin memilih irama yang berbeda dengan gerak alam. Kita kaum Muslimin sangat merasa perlu untuk hidup dalam harmoni keserasian dengan alam seluruhnya.
"Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia?" (QS. Al-Hajj [22] : 18)
Kita menganut Islam karena kita ingin dengan sukarela berserah diri kepada Allah سبحانه و تعالى . Kita sangat sadar bahwa kita semua berasal dari Allah سبحانه و تعالى dan akan dikembalikan kepada Allah سبحانه و تعالى sebagai akhir perjalanan hidup.
"Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah,
padahal kepada-Nya-lah berserah diri (aslama) segala apa yang di langit
dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah-lah
mereka dikembalikan.” (QS. Ali Imran [3] : 83)
Ketiga, kita menganut agama Islam karena ingin dikumpulkan bersama orang-orang terbaik sepanjang zaman. Dari zaman ke zaman, dari negeri ke negeri Allah سبحانه و تعالى mengutus para Nabi dan Rasul-Nya untuk menyampaikan pesan Allah سبحانه و تعالى bahwa hidup di dunia ini adalah untuk menjalankan misi beribadah kepada Allah سبحانه و تعالى semata dan menjauhkan diri dari musuh-musuh-Nya yaitu para thaghut. Berfihak kepada al-haq (kebenaran) dan tidak berkompromi dengan al-bathil (kebatilan).
Para Nabi dan Rasul Allah merupakan manusia-manusia terbaik sepanjang zaman. Kita ingin dikumpulkan bersama mereka kelak di Akhirat nanti. Oleh karena itu kita menganut Islam. Sebab Islam merupakan agama yang telah dianut bahkan diperjuangkan oleh setiap Nabi dan Rasul Allah sepanjang sejarah.
"Katakanlah, 'Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, 'Isa dan para nabi dari Rabb mereka'. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan hanya kepada-Nya-lah kami menjadi kaum muslimun (menyerahkan diri)." (QS. Ali Imran [3] : 84)
Bahkan kita sangat berambisi agar bisa dikumpulkan bersama orang-orang terbaik sesudah level para Nabi dan Rasul Allah, yaitu para shiddiqiin (orang-orang yang selalu dalam kebenaran), syuhada (orang-orang yang mati syahid terbunuh oleh musuh-musuh Allah سبحانه و تعالى ) serta sholihiin (orang-orang yang menyibukkan diri mengerjakan amal ibadah dan amal sholeh). Sebab mereka inilah orang-orang yang paling pantas kita jadikan sebagai sebaik-baiknya teman setia di dunia maupun di Akhirat kelak.
"Dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya." (QS. An-Nisa [4] : 69)
Keempat, kita menganut agama Islam karena ingin mati sebagai Muslim yaitu sebagai orang yang berserah diri kepada Allah سبحانه و تعالى . Kita tidak mau mati sebagai seorang yang kafir kepada Allah سبحانه و تعالى . Demikian pula, kita tidak ingin mati sebagai orang yang berpura-pura atau bermain-main menjadi seorang yang beriman alias menjadi seperti kaum munafik. Begitu pula, kita tidak mau mati dalam keadaan sebagai seorang yang murtad. Mengapa? Karena Allah سبحانه و تعالى menyuruh kita untuk tidak mati kecuali dalam keadaan sebagai seorang Muslim.
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam." (QS. Ali Imran [3] : 102)
Orang yang mati dalam keadaan beragama Islam akan mendapat keselamatan dan kebahagiaan hakiki dan abadi di akhirat kelak dengan dimasukkan Allah سبحانه و تعالى ke dalam Jannah-Nya (surga-Nya).
Sedangkan orang yang mati dalam keadaan selain beragama Islam pasti celaka di Akhirat, karena Allah سبحانه و تعالى bakal memasukkan dirinya ke dalam api Neraka yang menyala-nyala. Semua orang yang mati dalam keadaan kafir, munafik atau murtad berarti mati tidak dalam keadaan beragama Islam. Ia bakal hidup dalam kesengsaraan hakiki dan abadi di dalam azab Allah tersebut. Wa na’udzubillaahi min dzaalika...
Maka seorang yang mati dalam keadaan beragama Islam berarti telah mempersiapkan dirinya untuk mampu menjawab beberapa pertanyaan fundamental malaikat ketika dirinya sudah menjadi mayat berada di dalam kuburnya. Sebagaimana disebutkan Rasulullah صلى الله عليه و سلم di dalam hadits berikut:
Kata Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم : "... lantas rohnya di kembalikan ke jasadnya, kemudian dua malaikat mendatanginya dan mendudukkannya dan bertanya, 'Siapa Rabbmu?'. Ia menjawab, 'Rabb-ku Allah'. Tanya keduanya. 'Apa agamamu?' Ia menjawab, 'Agamaku Islam.' Keduanya bertanya, 'Bagaimana komentarmu tentang laki-laki yang diutus kepada kamu ini?' Si mayit menjawab, 'Oh, dia Rasulullah صلى الله عليه و سلم .' Keduanya bertanya, 'Darimana kamu tahu itu semua?' Ia menjawab, 'Aku membaca Kitabullah sehingga aku mengimaninya dan membenarkannya.' Lantas ada Penyeru di langit memanggil-manggil, 'HambaKu benar'." (Hadits Shahih Riwayat Ahmad)
Kelima, kita menganut agama Islam karena ingin meneladani Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم yang disebut Allah سبحانه و تعالى merupakan rahmat bagi semesta alam.
"Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam." (QS. Al-Anbiya [21] : 107)
Seorang manusia yang menjalani kehidupan mengikuti agama Islam, berarti ia telah mengambil peranan sebagai rahmat bagi sekelilingnya. Sebab hakikat menjadi rahmat bagi sekelilingnya ialah ketika seseorang loyal dan istiqomah di dalam menganut agama Islam. Jangan dibalik. Bila orang kebanyakan (yang aqidahnya rusak serta terlanjur tenggelam dalam dosa) merasa terganggu oleh kehadiran orang yang sesungguhnya sholeh, maka orang sholeh itu dituduh tidak menjadi rahmat bagi orang-orang sekelilingnya (yang terlanjur gemar kemusyrikan dan bermaksiat alias durhaka kepada Allah سبحانه و تعالى ). Akhirnya supaya dianggap menjadi “rahmat” bagi orang-orang tersebut si sholeh tadi berkompromi dan menunjukkan sikap mencampuradukkan yang haq dengan yang batil. Ini pengertian yang keliru dari makna “rahmat bagi semesta alam”.
Maka, kita menganut agama Islam dan berusaha untuk istiqomah dengannya, karena tahu bahwa satu-satunya tolok-ukur kalau dirinya menjadi rahmat bagi sekelilingnya adalah ketika ia sibuk berusaha meneladani Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم dalam sebanyak mungkin aspek kehidupannya.
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak mengingat Allah." (QS. Al-Ahzab [33] : 21)
Keenam, kita menganut agama Islam karena ingin kehidupan yang baik di Dunia dan kehidupan yang jauh lebih baik lagi di akhirat kelak nanti. Sebab seorang Muslim yakin bahwa hidupnya belum berakhir ketika ia meninggal dunia. Ia sangat yakin bahwa kehidupan Dunia ini fana dan masih ada kehidupan Akhirat yang menantinya. Di Dunia ini ia hanya menjalani kehidupan sementara dan sangat singkat. Sedangkan di Akhirat nanti ia bakal menjalani kehidupan yang abadi dan hakiki. Kesenangan serta penderitaan di dunia merupakan kesenangan dan penderitaan yang artifisial. Sedangkan kesenangan dan derita di Akhirat merupakan kesenangan dan derita yang sejati.
Maka seorang Muslim tentunya ingin hidup baik dan senang di Dunia, tetapi ia lebih fokus mengejar hidup yang baik dan senang di akhirat. Seorang Muslim tentunya tidak ingin hidup yang buruk dan menderita di Dunia, tapi ia lebih tidak ingin lagi hidup buruk dan menderita di Akhirat nanti. Sedangkan Allah سبحانه و تعالى menjanjikan bahwa jika ia menjadi penganut Islam yang baik dan benar, niscaya ia bakal memperoleh hidup yang baik di Dunia dan hidup yang jauh lebih baik lagi di Akhirat kelak nanti.
"Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan." (QS. An-Nahl [16] : 97)
Yang sering mengecohkan manusia ialah kesalahfahaman mengenai makna “Hidup yang baik di Dunia.” Kebanyakan manusia modern mengartikannya sebagai hidup dengan berkecukupan dan kaya serta sukses meraih gelar akademis bahkan punya jabatan dan menjadi orang yang populer. Padahal tolok-ukur kesuksesan hidup di Dunia, bagi seorang Muslim, bukanlah itu. Kesuksesan diukur berdasarkan “taqwa”. Sedangkan taqwa ialah seberapa jauh seseorang menjalankan perintah-perintah Allah سبحانه و تعالى dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Seringkali karena seseorang patuh menjalankan perintah Allah سبحانه و تعالى (misalnya perintah berda’wah, amar ma’ruf dan nahi mungkar serta berjihad di jalan Allah) malah justeru dituduh sebagai pengacau, ekstrimis atau bahkan teroris, lalu dipenjara oleh penguasa zalim. Atau tatkala ia menjauhi larangan Allah سبحانه و تعالى (misalnya larangan mencuri/korupsi, berzina, memakan riba/bunga bank serta mentaati/berkompromi/berkoalisi dengan thaghut) malah ia dicap sebagai seorang yang kaku, radikal, kolot serta tidak progresif oleh kaum liberalis yang ingin hidup memperturutkan hawa-nafsu mereka. Apakah orang-orang seperti ini hidupnya tidak baik? Oh tidak, justeru inilah orang-orang yang sesungguhnya memperoleh “hidup yang baik di dunia” jika mereka tetap sabar dan istiqomah mematuhi Allah سبحانه و تعالى apapun resiko yang mesti mereka alami. Subhaanallah....!
Ketujuh, kita menganut agama Islam karena tidak mau menjadi orang yang berdusta sesudah mengaku beriman. Kita sadar bahwa sekedar berikrar syahadatain tidak serta-merta memastikan diri menjadi seorang yang benar imannya. Bahkan berpeluang masuk ke dalam golongan kaum munafik. Wa na’udzubillaahi min dzaalika...!
"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, 'Kami telah beriman', sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta." (QS. Al-Ankabut [29] : 2-3)
Hidup seorang yang mengaku beriman pasti dipenuhi dengan ujian demi ujian dari Allah سبحانه و تعالى untuk menyingkap apakah dirinya seorang mukmin yang benar ucapannya ataukah seorang munafik yang terbiasa berdusta. Allah سبحانه و تعالى secara tegas menggolongkan kaum munafik yang suka berdusta sebagai orang-orang yang pada hakikatnya tidak beriman walau lisannya mengaku dirinya beriman.
"Di antara manusia ada yang mengatakan, 'Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian', padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman." (QS. Al-Baqarah [2] : 8)
Kedelapan, kita menganut agama Islam karena menyadari bahwa iman tidak bisa diwarisi dari orangtua atau nenek moyang kita. Iman dan Islam bukanlah perkara yang secara otomatis diwariskan dari orang-tua kepada anak-keturunannya. Menjadi orang beriman harus melalui sebuah perjuangan memelihara iman dan tauhid serta kesungguhan doa kepada Allah سبحانه و تعالى agar senantiasa menunjuki kita jalan hidayah dan keselamatan di Dunia dan di Akhirat. Seorang ustadz yang alim dan sholeh tidak serta-merta mempunyai anak-keturunan yang juga alim dan sholeh. Jangankan seorang ustadz, bahkan seorang Nabiyullah-pun tidak selalu anaknya pasti menjadi orang beriman. Hal ini kita dapati di dalam kisah Nabiyullah Nuh ‘alaihis-salam.
"Dan Nuh berseru kepada Rabbnya sambil berkata, 'Ya Rabbku, sesungguhnya anakku, termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya'. Allah berfirman, 'Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat) nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan'." (QS. Huud [11] : 45-46)
Allah سبحانه و تعالى menegur Nabi Nuh agar jangan menganggap puteranya yang condong memilih kafir daripada iman sebagai bagian dari keluarganya. Bahkan Allah melarang Nabi Nuh mengajukan permohonan doa yang mencerminkan seolah dirinya selaku Nabi tidak berpengetahuan dalam persoalan mendasar ini. Yaitu persoalan aqidah sebagai pengikat sejati antar manusia, bahkan antara anak dan ayah. Pengikat sejati antar manusia adalah iman dan tauhid, bukan darah dan garis keturunan.
Demikian pula dengan Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم . Beliau dengan tegas memperingatkan kepada anak-keturunannya agar jangan mengandalkan garis keturunan sebagai hal yang otomatis mendatangkan keistimewaan dibandingkan orang lainnya yang tidak bergaris keturunan hingga ke Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم . Tidak mentang-mentang seseorang merupakan bagian dari ahli bait Rasulullah صلى الله عليه و سلم kemudian ia menjadi yakin dan pasti bahwa dirinya bakal masuk surga dan memperoleh syafaat dari Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم . Tidak...!
Kesembilan, kita menganut agama Islam karena faham bahwa zaman yang sedang berlangsung dewasa ini merupakan era penuh fitnah dimana ancaman utama ialah munculnya gejala “Murtad Tanpa Sadar”. Sehingga Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم menggambarkannya seperti sepenggal malam yang gelap-gulita.
Hadits di atas menggambarkan dengan tepat sekali kondisi Dunia dewasa ini. Bila jujur dalam menilai, semua kita pasti merasakan betapa fitnah telah merebak ke segenap lini kehidupan. Entah itu fitnah ideologi, politik, sosial, ekonomi, budaya, hukum, pendidikan, media, militer dan lain-lainnya. Sehingga Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم tidak mengatakan bahwa gejala yang muncul ialah “Di pagi hari seorang lelaki berbuat kebaikan, lalu berbuat kejahatan di sore harinya.” Tidak, Nabi tidak berkata demikian..! Sebab sejahat-jahatnya seseorang, namun bila iman dan tauhid masih bersemayam di dalam dadanya, ia masih berpeluang diampuni Allah سبحانه و تعالى . Jelas-tegas Nabi muhammad صلى الله عليه و سلم mengatakan “pagi beriman, sorenya kafir..!” Gejala “Murtad Tanpa Sadar” inilah yang harus kita waspadai..!
Dalam hadits lainnya, kita temukan prediksi Nabi muhammad صلى الله عليه و سلم yang dengan tepat menggambarkan keadaan kaum muslimin dewasa ini.
Rasulullah صلى الله عليه و سلم bersabda, "Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka masuk ke dalam lubang biawak sekalipun kalian pasti akan mengikuti mereka." Kami bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah mereka itu kaum Yahudi dan Nasrani?" Beliau menjawab, "Siapa lagi kalau bukan mereka?" (Hadits Shahih Riwayat Muslim)
Tidakkah seperti itu kondisi sebagian besar kaum Muslimin dewasa ini? Mereka mengekor secara membabi-buta kepada “The Western Civilization” (Peradaban Darat) yang tidak lain ialah “The Judeo-Christian Civilization” (Peradaban Yahudi-Nasrani) yang sedang mendominasi dunia saat ini. Dalam berideologi meyakini faham Sekularisme, Humanisme, Pluralisme dan Liberalisme. Dalam berhukum menolak hukum Allah سبحانه و تعالى dan membanggakan hukum produk manusia. Dalam berbudaya menjadikan syahwat sebagai tujuan bukan dzikrullah (mengingat Allah). Menjadikan riba sebagai praktek utama berekonomi yang diterima tanpa peduli larangan dan ancaman Allah سبحانه و تعالى . Ikatan sosial dirajut berlandaskan faham Nasionalisme bukan aqidah tauhid sebagaimana yang Allah perintahkan. Dalam berpolitik menjadikan faham Machiavelli (tujuan menghalalkan segala cara) serta demokrasi sebagai acuan utama, bukannya memperjuangkan tegaknya kedaulatan Allah سبحانه و تعالى dengan menerapkan syariah Islam sebagai aturan bersama. Media menjadi sarana penyebar-luasan kebohongan, kerusakan, humbar aurat, kelalaian bahkan kemusyrikan, bukan menjadi penerang yang menyadarkan manusia akan hakikat dan tujuan hidupnya. Sekolah formal sebagai sarana utama pendidikan malah menjadi penyebab utama disintegrasi keluarga serta tempat dimana anak belajar menjadi nakal dan mempersekutukan Allah, bukan menjadi santun dan ber-tauhid.
Pantas bilamana Allah سبحانه و تعالى memperingatkan kita akan bahaya kaum yahudi dan nasrani yang selalu menginginkan kaum muslimin mengekor kepada millah (baca: jalan hidup) mereka. Bahkan Allah سبحانه و تعالى memperingatkan kita bahwa jika loyalitas diserahkan kepada kaum yahudi dan nasrani, maka Allah tidak lagi memandang kita masih beragama Islam, alias murtad..!
"Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti millah mereka. Katakanlah, 'Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)'. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu." (QS. Al-Baqarah [2] : 120)
Allah jelas-tegas menyatakan bahwa, "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Islam itulah petunjuk Allah. Islam itulah petunjuk yang benar. Mengapa sebagian kita mengikuti petunjuk kaum yahudi dan nasrani? Pantas dewasa ini sebagian besar kaum muslimin tidak merasakan pertolongan dan perlindungan Allah, sebab mereka sibuk mencari pertolongan dan perlindungan dari kaum yahudi dan nasrani..!
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (QS. Al-Maidah [5] : 51)
Kesepuluh, kita menganut agama Islam karena sadar bahwa saat ini kaum Muslimin sedang hidup di babak keempat perjalanan sejarah ummat Islam. Dan babak ini merupakan “The Darkest Ages of The Islamic Era” (babak paling kelam dalam sejarah Islam). Di babak ini kaum muslimin hidup di bawah dominasi kepemimpinan mulkan jabbriyyan (para penguasa yang memaksakan kehendak dan mengabaikan kehendak Allah dan Rasul-Nya). Belum pernah di dalam sejarah ummat Islam kita mengalami babak yang lebih kelam daripada babak ini. Simak hadits Nabi صلى الله عليه و سلم berikut ini:
"Masa (1) kenabian akan berlangsung pada kalian dalam beberapa tahun, kemudian Allah mengangkatnya, setelah itu datang masa (2) Kekhalifahan mengikuti pola (Manhaj) Kenabian, selama beberapa masa hingga Allah mengangkatnya, kemudian datang masa (3) Raja-raja yang Menggigit selama beberapa masa, selanjutnya datang masa (4) Raja-raja/para penguasa yang Memaksakan kehendak (diktator) dalam beberapa masa hingga waktu yang ditentukan Allah, setelah itu akan terulang kembali (5) Kekhalifahan mengikuti pola (Manhaj) Kenabian. Kemudian Rasul SAW terdiam." (Hadits Shahih Riwayat Ahmad)
Pada babak ketiga kaum muslimin sempat mengalami kepemimpinan yang juga bermasalah karena yang memimpin adalah para khalifah yang dijuluki Nabi صلى الله عليه و سلم sebagai mulkan aadhdhon (para raja yang menggigit). Mengapa? Sebab pada masa itu pergantian khalifah bak sistem kerajaan yaitu diwariskan dalam lingkup keluarga raja secara turun-temurun. Sehingga mereka dijuluki para raja. Lalu mengapa disebut menggigit? Karena tidak sedikit di antara mereka yang memang berlaku zalim secara pribadinya, namun betapapun para kahliafah tersebut masih memenuhi kriteria sebagai ulil amri dalam hal kepemimpinannya dimana bila ada perselisihan, mereka masih menjadikan Allah (Al-Qur’an) serta Ar-Rasul (As-Sunnah) sebagai rujukan utama. Tidak demikian halnya di babak keempat dewasa ini. Para pemimpin dan pembesar yang ada mengambil rujukan selain Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam menyelesaikan persoalan masyarakat di dalam negara yang dipimpinnya. Inilah hal yang paling membedakan antara babak ketiga dengan babak keempat perjalanan sejarah ummat Islam. Di babak ketiga ummat masih merasakan kepemimpinan “ulil amri” sedangkan di babak keempat ummat tidak memiliki “ulil amri” sebab yang ada hanyalah para “pemimpin dan pembesar” yang mengajak masyarakat bukan menuju keridhoan Allah سبحانه و تعالى , malah menuju kemurkaan-Nya. Wa na’udzubillaahi min dzaalika..!
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An-Nisa [4] : 59)
Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata, "Alangkah baiknya, andai kata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul". Dan mereka berkata, "Ya Rabb kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Rabb kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar". (QS. Al-Ahzab [33] : 66-68)
Ya Allah, ajarkanlah kami bagaimana caranya beristiqomah menjadikan Kitab-Mu dan Sunnah Nabi-Mu Muhammad صلى الله عليه و سلم sebagai pemimpin kami di era fitnah ketiadaan ulil amri dewasa ini...
(http://www.eramuslim.com/suara-langit/undangan-surga/kenapa-kita-menganut-agama-islam-bgn-1.htm
http://www.eramuslim.com/suara-langit/undangan-surga/kenapa-kita-menganut-agama-islam-bgn-2.htm
http://www.eramuslim.com/suara-langit/undangan-surga/kenapa-kita-menganut-agama-islam-bgn-3-tammat.htm)
Pertama, karena kita ingin hidup di dalam naungan ridha Allah سبحانه و تعالى . Sedangkan Allah سبحانه و تعالى telah menegaskan di dalam Kitab-Nya bahwa satu-satunya agama atu jalan hidup yang diridhai-Nya hanyalah agama Islam. Tidak ada seorangpun Muslim yang pernah membaca ayat di bawah ini kecuali pasti akan menjadikan Islam sebagai satu-satunya pilihan agama yang ia anut. Karena Allah سبحانه و تعالى hanya meridhai atau melegalisir agama Islam, bukan agama selain Islam.
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلامُ
"Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam." (QS. Ali Imran [3] : 19)
Seorang Muslim sangat peduli memperoleh ridha Allah سبحانه و تعالى dalam hidupnya. Ia tidak risau jika pak RT atau pak RW atau presiden atau bahkan penguasa negara superpower sekalipun tidak ridha kepadanya. Tapi ia sangat risau jika Allah سبحانه و تعالى Penguasa langit dan bumi tidak meridhai hidupnya.
Ayat di atas bukan saja menegaskan bahwa penganut agama Islam bakal memperoleh ridha dan restu Allah سبحانه و تعالى , tetapi secara implisit juga menegaskan bahwa barangsiapa mencari agama selain Islam berarti ia hidup di dunia tanpa keridhaan Allah سبحانه و تعالى . Jika Allah سبحانه و تعالى tidak ridha kepadanya berarti ia bakal menderita kerugian di akhirat nanti. Sebab murka Allah سبحانه و تعالى menanti dirinya. Bagaimana tidak? Allah سبحانه و تعالى telah memberikan begitu banyak nikmat —lahir maupun batin— kepadanya, namun ia malah tidak bersyukur terhadap nikmat yang paling utama, yaitu hidayah agama Islam. Bukti tidak bersyukurnya ialah dia memilih agama selain Islam yang sesungguhnya menjauhkan dirinya dari Ridha Allah سبحانه و تعالى .
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Keridhaan Allah سبحانه و تعالى akan tercurah kepada kita karena kita memilih untuk beridentitas Islam, bukan yang lainnya. Sebab Allah سبحانه و تعالى menyuruh kita saat berinteraksi dengan penganut agama lainnya agar menawarkan prinsip hidup tauhid kepada mereka sebagai kesepakatan bersama. Tetapi kemudian jika mereka berpaling, kita tidak disuruh untuk berkompromi dengan mereka, misalnya dengan mencari identitas “pertengahan” seperti nasionalisme dan sejenisnya. Allah سبحانه و تعالى menyuruh kita untuk memproklamirkan diri sebagai orang-orang yang beridentitas Islam.
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى
كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلا نَعْبُدَ إِلا اللَّهَ وَلا
نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ
دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
"Katakanlah, 'Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah'. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka, 'Saksikanlah, bahwa kami adalah kaum muslimin (orang-orang yang berserah diri kepada Allah)'." (QS. Ali Imran [3] : 64)
Kedua, kita menganut agama Islam karena ingin hidup seirama dengan gerak alam semesta. Seluruh makhluk di langit maupun di bumi bersikap “Islam” atau berserah-diri, bersujud, tunduk dan patuh kepada Allah سبحانه و تعالى . Maka kita tidak ingin memilih irama yang berbeda dengan gerak alam. Kita kaum Muslimin sangat merasa perlu untuk hidup dalam harmoni keserasian dengan alam seluruhnya.
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَسْجُدُ لَهُ مَنْ فِي
السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الأرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُومُ
وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ وَكَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ
"Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia?" (QS. Al-Hajj [22] : 18)
Kita menganut Islam karena kita ingin dengan sukarela berserah diri kepada Allah سبحانه و تعالى . Kita sangat sadar bahwa kita semua berasal dari Allah سبحانه و تعالى dan akan dikembalikan kepada Allah سبحانه و تعالى sebagai akhir perjalanan hidup.
أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ
Ketiga, kita menganut agama Islam karena ingin dikumpulkan bersama orang-orang terbaik sepanjang zaman. Dari zaman ke zaman, dari negeri ke negeri Allah سبحانه و تعالى mengutus para Nabi dan Rasul-Nya untuk menyampaikan pesan Allah سبحانه و تعالى bahwa hidup di dunia ini adalah untuk menjalankan misi beribadah kepada Allah سبحانه و تعالى semata dan menjauhkan diri dari musuh-musuh-Nya yaitu para thaghut. Berfihak kepada al-haq (kebenaran) dan tidak berkompromi dengan al-bathil (kebatilan).
Para Nabi dan Rasul Allah merupakan manusia-manusia terbaik sepanjang zaman. Kita ingin dikumpulkan bersama mereka kelak di Akhirat nanti. Oleh karena itu kita menganut Islam. Sebab Islam merupakan agama yang telah dianut bahkan diperjuangkan oleh setiap Nabi dan Rasul Allah sepanjang sejarah.
قُلْ آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ عَلَيْنَا
وَمَا أُنْزِلَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ
وَالأسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَالنَّبِيُّونَ مِنْ
رَبِّهِمْ
لا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
"Katakanlah, 'Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, 'Isa dan para nabi dari Rabb mereka'. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan hanya kepada-Nya-lah kami menjadi kaum muslimun (menyerahkan diri)." (QS. Ali Imran [3] : 84)
Bahkan kita sangat berambisi agar bisa dikumpulkan bersama orang-orang terbaik sesudah level para Nabi dan Rasul Allah, yaitu para shiddiqiin (orang-orang yang selalu dalam kebenaran), syuhada (orang-orang yang mati syahid terbunuh oleh musuh-musuh Allah سبحانه و تعالى ) serta sholihiin (orang-orang yang menyibukkan diri mengerjakan amal ibadah dan amal sholeh). Sebab mereka inilah orang-orang yang paling pantas kita jadikan sebagai sebaik-baiknya teman setia di dunia maupun di Akhirat kelak.
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ
مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ
وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ
رَفِيقًا
"Dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya." (QS. An-Nisa [4] : 69)
Keempat, kita menganut agama Islam karena ingin mati sebagai Muslim yaitu sebagai orang yang berserah diri kepada Allah سبحانه و تعالى . Kita tidak mau mati sebagai seorang yang kafir kepada Allah سبحانه و تعالى . Demikian pula, kita tidak ingin mati sebagai orang yang berpura-pura atau bermain-main menjadi seorang yang beriman alias menjadi seperti kaum munafik. Begitu pula, kita tidak mau mati dalam keadaan sebagai seorang yang murtad. Mengapa? Karena Allah سبحانه و تعالى menyuruh kita untuk tidak mati kecuali dalam keadaan sebagai seorang Muslim.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam." (QS. Ali Imran [3] : 102)
Orang yang mati dalam keadaan beragama Islam akan mendapat keselamatan dan kebahagiaan hakiki dan abadi di akhirat kelak dengan dimasukkan Allah سبحانه و تعالى ke dalam Jannah-Nya (surga-Nya).
Sedangkan orang yang mati dalam keadaan selain beragama Islam pasti celaka di Akhirat, karena Allah سبحانه و تعالى bakal memasukkan dirinya ke dalam api Neraka yang menyala-nyala. Semua orang yang mati dalam keadaan kafir, munafik atau murtad berarti mati tidak dalam keadaan beragama Islam. Ia bakal hidup dalam kesengsaraan hakiki dan abadi di dalam azab Allah tersebut. Wa na’udzubillaahi min dzaalika...
Maka seorang yang mati dalam keadaan beragama Islam berarti telah mempersiapkan dirinya untuk mampu menjawab beberapa pertanyaan fundamental malaikat ketika dirinya sudah menjadi mayat berada di dalam kuburnya. Sebagaimana disebutkan Rasulullah صلى الله عليه و سلم di dalam hadits berikut:
قَالَ فَتُعَادُ رُوحُهُ فِي جَسَدِهِ فَيَأْتِيهِ
مَلَكَانِ فَيُجْلِسَانِهِ فَيَقُولَانِ لَهُ مَنْ رَبُّكَ فَيَقُولُ
رَبِّيَ اللَّهُ فَيَقُولَانِ لَهُ مَا دِينُكَ فَيَقُولُ دِينِيَ
الْإِسْلَامُ فَيَقُولَانِ لَهُ مَا هَذَا الرَّجُلُ الَّذِي بُعِثَ
فِيكُمْ فَيَقُولُ هُوَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَيَقُولَانِ لَهُ وَمَا عِلْمُكَ فَيَقُولُ قَرَأْتُ كِتَابَ اللَّهِ
فَآمَنْتُ بِهِ وَصَدَّقْتُ فَيُنَادِي مُنَادٍ فِي السَّمَاءِ أَنْ صَدَقَ
عَبْدِي
Kata Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم : "... lantas rohnya di kembalikan ke jasadnya, kemudian dua malaikat mendatanginya dan mendudukkannya dan bertanya, 'Siapa Rabbmu?'. Ia menjawab, 'Rabb-ku Allah'. Tanya keduanya. 'Apa agamamu?' Ia menjawab, 'Agamaku Islam.' Keduanya bertanya, 'Bagaimana komentarmu tentang laki-laki yang diutus kepada kamu ini?' Si mayit menjawab, 'Oh, dia Rasulullah صلى الله عليه و سلم .' Keduanya bertanya, 'Darimana kamu tahu itu semua?' Ia menjawab, 'Aku membaca Kitabullah sehingga aku mengimaninya dan membenarkannya.' Lantas ada Penyeru di langit memanggil-manggil, 'HambaKu benar'." (Hadits Shahih Riwayat Ahmad)
Kelima, kita menganut agama Islam karena ingin meneladani Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم yang disebut Allah سبحانه و تعالى merupakan rahmat bagi semesta alam.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
"Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam." (QS. Al-Anbiya [21] : 107)
Seorang manusia yang menjalani kehidupan mengikuti agama Islam, berarti ia telah mengambil peranan sebagai rahmat bagi sekelilingnya. Sebab hakikat menjadi rahmat bagi sekelilingnya ialah ketika seseorang loyal dan istiqomah di dalam menganut agama Islam. Jangan dibalik. Bila orang kebanyakan (yang aqidahnya rusak serta terlanjur tenggelam dalam dosa) merasa terganggu oleh kehadiran orang yang sesungguhnya sholeh, maka orang sholeh itu dituduh tidak menjadi rahmat bagi orang-orang sekelilingnya (yang terlanjur gemar kemusyrikan dan bermaksiat alias durhaka kepada Allah سبحانه و تعالى ). Akhirnya supaya dianggap menjadi “rahmat” bagi orang-orang tersebut si sholeh tadi berkompromi dan menunjukkan sikap mencampuradukkan yang haq dengan yang batil. Ini pengertian yang keliru dari makna “rahmat bagi semesta alam”.
Maka, kita menganut agama Islam dan berusaha untuk istiqomah dengannya, karena tahu bahwa satu-satunya tolok-ukur kalau dirinya menjadi rahmat bagi sekelilingnya adalah ketika ia sibuk berusaha meneladani Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم dalam sebanyak mungkin aspek kehidupannya.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ
حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ
اللَّهَ كَثِيرًا
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak mengingat Allah." (QS. Al-Ahzab [33] : 21)
Keenam, kita menganut agama Islam karena ingin kehidupan yang baik di Dunia dan kehidupan yang jauh lebih baik lagi di akhirat kelak nanti. Sebab seorang Muslim yakin bahwa hidupnya belum berakhir ketika ia meninggal dunia. Ia sangat yakin bahwa kehidupan Dunia ini fana dan masih ada kehidupan Akhirat yang menantinya. Di Dunia ini ia hanya menjalani kehidupan sementara dan sangat singkat. Sedangkan di Akhirat nanti ia bakal menjalani kehidupan yang abadi dan hakiki. Kesenangan serta penderitaan di dunia merupakan kesenangan dan penderitaan yang artifisial. Sedangkan kesenangan dan derita di Akhirat merupakan kesenangan dan derita yang sejati.
Maka seorang Muslim tentunya ingin hidup baik dan senang di Dunia, tetapi ia lebih fokus mengejar hidup yang baik dan senang di akhirat. Seorang Muslim tentunya tidak ingin hidup yang buruk dan menderita di Dunia, tapi ia lebih tidak ingin lagi hidup buruk dan menderita di Akhirat nanti. Sedangkan Allah سبحانه و تعالى menjanjikan bahwa jika ia menjadi penganut Islam yang baik dan benar, niscaya ia bakal memperoleh hidup yang baik di Dunia dan hidup yang jauh lebih baik lagi di Akhirat kelak nanti.
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى
وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ
أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Yang sering mengecohkan manusia ialah kesalahfahaman mengenai makna “Hidup yang baik di Dunia.” Kebanyakan manusia modern mengartikannya sebagai hidup dengan berkecukupan dan kaya serta sukses meraih gelar akademis bahkan punya jabatan dan menjadi orang yang populer. Padahal tolok-ukur kesuksesan hidup di Dunia, bagi seorang Muslim, bukanlah itu. Kesuksesan diukur berdasarkan “taqwa”. Sedangkan taqwa ialah seberapa jauh seseorang menjalankan perintah-perintah Allah سبحانه و تعالى dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Seringkali karena seseorang patuh menjalankan perintah Allah سبحانه و تعالى (misalnya perintah berda’wah, amar ma’ruf dan nahi mungkar serta berjihad di jalan Allah) malah justeru dituduh sebagai pengacau, ekstrimis atau bahkan teroris, lalu dipenjara oleh penguasa zalim. Atau tatkala ia menjauhi larangan Allah سبحانه و تعالى (misalnya larangan mencuri/korupsi, berzina, memakan riba/bunga bank serta mentaati/berkompromi/berkoalisi dengan thaghut) malah ia dicap sebagai seorang yang kaku, radikal, kolot serta tidak progresif oleh kaum liberalis yang ingin hidup memperturutkan hawa-nafsu mereka. Apakah orang-orang seperti ini hidupnya tidak baik? Oh tidak, justeru inilah orang-orang yang sesungguhnya memperoleh “hidup yang baik di dunia” jika mereka tetap sabar dan istiqomah mematuhi Allah سبحانه و تعالى apapun resiko yang mesti mereka alami. Subhaanallah....!
Ketujuh, kita menganut agama Islam karena tidak mau menjadi orang yang berdusta sesudah mengaku beriman. Kita sadar bahwa sekedar berikrar syahadatain tidak serta-merta memastikan diri menjadi seorang yang benar imannya. Bahkan berpeluang masuk ke dalam golongan kaum munafik. Wa na’udzubillaahi min dzaalika...!
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا
آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ
قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ
الْكَاذِبِينَ
"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, 'Kami telah beriman', sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta." (QS. Al-Ankabut [29] : 2-3)
Hidup seorang yang mengaku beriman pasti dipenuhi dengan ujian demi ujian dari Allah سبحانه و تعالى untuk menyingkap apakah dirinya seorang mukmin yang benar ucapannya ataukah seorang munafik yang terbiasa berdusta. Allah سبحانه و تعالى secara tegas menggolongkan kaum munafik yang suka berdusta sebagai orang-orang yang pada hakikatnya tidak beriman walau lisannya mengaku dirinya beriman.
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ
"Di antara manusia ada yang mengatakan, 'Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian', padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman." (QS. Al-Baqarah [2] : 8)
Kedelapan, kita menganut agama Islam karena menyadari bahwa iman tidak bisa diwarisi dari orangtua atau nenek moyang kita. Iman dan Islam bukanlah perkara yang secara otomatis diwariskan dari orang-tua kepada anak-keturunannya. Menjadi orang beriman harus melalui sebuah perjuangan memelihara iman dan tauhid serta kesungguhan doa kepada Allah سبحانه و تعالى agar senantiasa menunjuki kita jalan hidayah dan keselamatan di Dunia dan di Akhirat. Seorang ustadz yang alim dan sholeh tidak serta-merta mempunyai anak-keturunan yang juga alim dan sholeh. Jangankan seorang ustadz, bahkan seorang Nabiyullah-pun tidak selalu anaknya pasti menjadi orang beriman. Hal ini kita dapati di dalam kisah Nabiyullah Nuh ‘alaihis-salam.
وَنَادَى نُوحٌ رَبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي
مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ
قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ
صَالِحٍ فَلا تَسْأَلْنِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ
أَنْ تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ
"Dan Nuh berseru kepada Rabbnya sambil berkata, 'Ya Rabbku, sesungguhnya anakku, termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya'. Allah berfirman, 'Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat) nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan'." (QS. Huud [11] : 45-46)
Allah سبحانه و تعالى menegur Nabi Nuh agar jangan menganggap puteranya yang condong memilih kafir daripada iman sebagai bagian dari keluarganya. Bahkan Allah melarang Nabi Nuh mengajukan permohonan doa yang mencerminkan seolah dirinya selaku Nabi tidak berpengetahuan dalam persoalan mendasar ini. Yaitu persoalan aqidah sebagai pengikat sejati antar manusia, bahkan antara anak dan ayah. Pengikat sejati antar manusia adalah iman dan tauhid, bukan darah dan garis keturunan.
Demikian pula dengan Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم . Beliau dengan tegas memperingatkan kepada anak-keturunannya agar jangan mengandalkan garis keturunan sebagai hal yang otomatis mendatangkan keistimewaan dibandingkan orang lainnya yang tidak bergaris keturunan hingga ke Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم . Tidak mentang-mentang seseorang merupakan bagian dari ahli bait Rasulullah صلى الله عليه و سلم kemudian ia menjadi yakin dan pasti bahwa dirinya bakal masuk surga dan memperoleh syafaat dari Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم . Tidak...!
إن أهل بيتي هؤلاء يرون أنهم أولى الناس بي وليس كذلك إن أوليائي منكم المتقون من كانوا و حيث كانوا - إسناده صحيح رجاله كلهم ثقات
"Ahli Baitku berpandangan bahwa mereka
adalah orang-orang yang paling berhak mendapat syafaatku, padahal
tidaklah demikian. Sesungguhnya para waliku di antara kamu sekalian
adalah yang bertaqwa, siapapun dia dan dimanapun adanya." (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ashim dalam
“As-Sunnah” dan dipandang shahih oleh Al Al-Bani dalam takhrij beliau)
Kesembilan, kita menganut agama Islam karena faham bahwa zaman yang sedang berlangsung dewasa ini merupakan era penuh fitnah dimana ancaman utama ialah munculnya gejala “Murtad Tanpa Sadar”. Sehingga Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم menggambarkannya seperti sepenggal malam yang gelap-gulita.
بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ
اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا
أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنْ
الدُّنْيَا
Nabi صلى الله عليه و سلم bersabda, "Segeralah kalian beramal
sebelum datangnya fitnah-fitnah seperti malam yang gelap gulita. Di pagi
hari seorang laki-laki masih dalam keadaan mukmin, lalu menjadi kafir
di sore harinya. Di sore hari seorang laki-laki masih dalam keadaan
mukmin, lalu menjadi kafir di pagi harinya. Dia menjual agamanya dengan
barang kenikmatan dunia." (Hadits Shahih Riwayat Muslim) Hadits di atas menggambarkan dengan tepat sekali kondisi Dunia dewasa ini. Bila jujur dalam menilai, semua kita pasti merasakan betapa fitnah telah merebak ke segenap lini kehidupan. Entah itu fitnah ideologi, politik, sosial, ekonomi, budaya, hukum, pendidikan, media, militer dan lain-lainnya. Sehingga Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم tidak mengatakan bahwa gejala yang muncul ialah “Di pagi hari seorang lelaki berbuat kebaikan, lalu berbuat kejahatan di sore harinya.” Tidak, Nabi tidak berkata demikian..! Sebab sejahat-jahatnya seseorang, namun bila iman dan tauhid masih bersemayam di dalam dadanya, ia masih berpeluang diampuni Allah سبحانه و تعالى . Jelas-tegas Nabi muhammad صلى الله عليه و سلم mengatakan “pagi beriman, sorenya kafir..!” Gejala “Murtad Tanpa Sadar” inilah yang harus kita waspadai..!
Dalam hadits lainnya, kita temukan prediksi Nabi muhammad صلى الله عليه و سلم yang dengan tepat menggambarkan keadaan kaum muslimin dewasa ini.
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ
ضَبٍّ لَاتَّبَعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ
وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
Rasulullah صلى الله عليه و سلم bersabda, "Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka masuk ke dalam lubang biawak sekalipun kalian pasti akan mengikuti mereka." Kami bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah mereka itu kaum Yahudi dan Nasrani?" Beliau menjawab, "Siapa lagi kalau bukan mereka?" (Hadits Shahih Riwayat Muslim)
Tidakkah seperti itu kondisi sebagian besar kaum Muslimin dewasa ini? Mereka mengekor secara membabi-buta kepada “The Western Civilization” (Peradaban Darat) yang tidak lain ialah “The Judeo-Christian Civilization” (Peradaban Yahudi-Nasrani) yang sedang mendominasi dunia saat ini. Dalam berideologi meyakini faham Sekularisme, Humanisme, Pluralisme dan Liberalisme. Dalam berhukum menolak hukum Allah سبحانه و تعالى dan membanggakan hukum produk manusia. Dalam berbudaya menjadikan syahwat sebagai tujuan bukan dzikrullah (mengingat Allah). Menjadikan riba sebagai praktek utama berekonomi yang diterima tanpa peduli larangan dan ancaman Allah سبحانه و تعالى . Ikatan sosial dirajut berlandaskan faham Nasionalisme bukan aqidah tauhid sebagaimana yang Allah perintahkan. Dalam berpolitik menjadikan faham Machiavelli (tujuan menghalalkan segala cara) serta demokrasi sebagai acuan utama, bukannya memperjuangkan tegaknya kedaulatan Allah سبحانه و تعالى dengan menerapkan syariah Islam sebagai aturan bersama. Media menjadi sarana penyebar-luasan kebohongan, kerusakan, humbar aurat, kelalaian bahkan kemusyrikan, bukan menjadi penerang yang menyadarkan manusia akan hakikat dan tujuan hidupnya. Sekolah formal sebagai sarana utama pendidikan malah menjadi penyebab utama disintegrasi keluarga serta tempat dimana anak belajar menjadi nakal dan mempersekutukan Allah, bukan menjadi santun dan ber-tauhid.
Pantas bilamana Allah سبحانه و تعالى memperingatkan kita akan bahaya kaum yahudi dan nasrani yang selalu menginginkan kaum muslimin mengekor kepada millah (baca: jalan hidup) mereka. Bahkan Allah سبحانه و تعالى memperingatkan kita bahwa jika loyalitas diserahkan kepada kaum yahudi dan nasrani, maka Allah tidak lagi memandang kita masih beragama Islam, alias murtad..!
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلا النَّصَارَى
حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى
وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ
مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ
"Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti millah mereka. Katakanlah, 'Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)'. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu." (QS. Al-Baqarah [2] : 120)
Allah jelas-tegas menyatakan bahwa, "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Islam itulah petunjuk Allah. Islam itulah petunjuk yang benar. Mengapa sebagian kita mengikuti petunjuk kaum yahudi dan nasrani? Pantas dewasa ini sebagian besar kaum muslimin tidak merasakan pertolongan dan perlindungan Allah, sebab mereka sibuk mencari pertolongan dan perlindungan dari kaum yahudi dan nasrani..!
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا
الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا
يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (QS. Al-Maidah [5] : 51)
Kesepuluh, kita menganut agama Islam karena sadar bahwa saat ini kaum Muslimin sedang hidup di babak keempat perjalanan sejarah ummat Islam. Dan babak ini merupakan “The Darkest Ages of The Islamic Era” (babak paling kelam dalam sejarah Islam). Di babak ini kaum muslimin hidup di bawah dominasi kepemimpinan mulkan jabbriyyan (para penguasa yang memaksakan kehendak dan mengabaikan kehendak Allah dan Rasul-Nya). Belum pernah di dalam sejarah ummat Islam kita mengalami babak yang lebih kelam daripada babak ini. Simak hadits Nabi صلى الله عليه و سلم berikut ini:
تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ
أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ
تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ
اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ
يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ
أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ
تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّا فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ
ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً
عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ
"Masa (1) kenabian akan berlangsung pada kalian dalam beberapa tahun, kemudian Allah mengangkatnya, setelah itu datang masa (2) Kekhalifahan mengikuti pola (Manhaj) Kenabian, selama beberapa masa hingga Allah mengangkatnya, kemudian datang masa (3) Raja-raja yang Menggigit selama beberapa masa, selanjutnya datang masa (4) Raja-raja/para penguasa yang Memaksakan kehendak (diktator) dalam beberapa masa hingga waktu yang ditentukan Allah, setelah itu akan terulang kembali (5) Kekhalifahan mengikuti pola (Manhaj) Kenabian. Kemudian Rasul SAW terdiam." (Hadits Shahih Riwayat Ahmad)
Pada babak ketiga kaum muslimin sempat mengalami kepemimpinan yang juga bermasalah karena yang memimpin adalah para khalifah yang dijuluki Nabi صلى الله عليه و سلم sebagai mulkan aadhdhon (para raja yang menggigit). Mengapa? Sebab pada masa itu pergantian khalifah bak sistem kerajaan yaitu diwariskan dalam lingkup keluarga raja secara turun-temurun. Sehingga mereka dijuluki para raja. Lalu mengapa disebut menggigit? Karena tidak sedikit di antara mereka yang memang berlaku zalim secara pribadinya, namun betapapun para kahliafah tersebut masih memenuhi kriteria sebagai ulil amri dalam hal kepemimpinannya dimana bila ada perselisihan, mereka masih menjadikan Allah (Al-Qur’an) serta Ar-Rasul (As-Sunnah) sebagai rujukan utama. Tidak demikian halnya di babak keempat dewasa ini. Para pemimpin dan pembesar yang ada mengambil rujukan selain Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam menyelesaikan persoalan masyarakat di dalam negara yang dipimpinnya. Inilah hal yang paling membedakan antara babak ketiga dengan babak keempat perjalanan sejarah ummat Islam. Di babak ketiga ummat masih merasakan kepemimpinan “ulil amri” sedangkan di babak keempat ummat tidak memiliki “ulil amri” sebab yang ada hanyalah para “pemimpin dan pembesar” yang mengajak masyarakat bukan menuju keridhoan Allah سبحانه و تعالى , malah menuju kemurkaan-Nya. Wa na’udzubillaahi min dzaalika..!
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ
فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ
تَأْوِيلا
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An-Nisa [4] : 59)
يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ
يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولا
وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا
فَأَضَلُّونَا السَّبِيلا رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ
وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا
Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata, "Alangkah baiknya, andai kata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul". Dan mereka berkata, "Ya Rabb kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Rabb kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar". (QS. Al-Ahzab [33] : 66-68)
Ya Allah, ajarkanlah kami bagaimana caranya beristiqomah menjadikan Kitab-Mu dan Sunnah Nabi-Mu Muhammad صلى الله عليه و سلم sebagai pemimpin kami di era fitnah ketiadaan ulil amri dewasa ini...
(http://www.eramuslim.com/suara-langit/undangan-surga/kenapa-kita-menganut-agama-islam-bgn-1.htm
http://www.eramuslim.com/suara-langit/undangan-surga/kenapa-kita-menganut-agama-islam-bgn-2.htm
http://www.eramuslim.com/suara-langit/undangan-surga/kenapa-kita-menganut-agama-islam-bgn-3-tammat.htm)
Kekuatan Politik Islam Melawan Sekulerisme
Belum satu abad sejak runtuhnya Khilafah Ostmaniyah di Turki, tahun
1924, dan digantikan rezim Kemal Attaturk yang sekuler, dan berdampak
sangat luas terhadap dunia Islam. Kini, Islam menampakkan cahayanya
kembali di ujung akhir abad 21 ini.
Sekulerisme yang telah menggantikan nilai-nilai Islam di seluruh dunia Islam, kini menghadapi kekuatan Islam yang perlahan-lahan menggantikannya. Sistem sekuler yang sudah hampir satu abad yang disebarkan dan dipancarkan dari Turki itu, mulai redup, dan perlahan-lahan sirna. Sekalipun secara formal masih tetap ada, seperti di Turki. Tetapi, secara nilai dan politik, mulai digantikan oleh nilai-nilai Islam, yang menjadi sebuah kekuatan riil.
Secara nilai sekulerisme tidak memberikan manfaat apapun bagi kehidupan. Justeru sekulerisme menjadikan dunia Islam, hanya menjadi alat kaum penjajah Barat yang menginginkan dunia Islam menjadi bagian subordinasi Barat secara permanen. Tetapi, tak terjadi di dunia Islam yang seperti mereka inginkan.
Begitu banyak para pengkhutbah dan missionaris sekulerisme yang ingin terus berusaha menawarkan dan menjajakan sekurisme di dunia Islam. Tetapi semuanya gagal. Karena, nilai-nilai sekulerisme tidak sesuai dengan fitrah mausia. Sekulerisme yang ingin memisahkan kehidupan manusia dengan agama, dan tidak menemukan jalan, kecuali kegagalan.
Banyak tokoh sekuler yang mengajukan pemikiran dan theori tentang kehidupan, tetapi tak dapat dipraktekkan dalam kehidupan. Mohammad Arkoun (Aljazair), Thoha Husien (Mesir), Ali Abdul Raziq (Mesir), Ahmad Khan (India), Qasim Amin (Lebanon), Kook Alab (Turki), dan Nurcholis Madjid (Indonesia), mereka para "nabi"nya kaum sekuler, yang menawarkan pemikiran pembaharuan, tetapi tak pernah bisa mewujudkannya.
Seperti pemikiran yang sangat terkenal dari Nurcholis Madjid, yang sudah tidak ada lagi gemanya, "Islam Yes, Partai Islam No", yangn sudah tidak relevan lagi. Karena, Nurcholis Madjid pernah ikut dalam bursa pencalonan presiden di Partai Golkar. Kemudian, dia kalah dan mengundurkan diri.
Nurcholis Madjid tidak konsisten dengan pemikirannya, "Islam Yes, Partai Islam No". Akhirnya Nurcholis terjebak dengan politik praktis, dan ingin mendapatkan kekuasaan melalui bursa pencalonan presiden di Partai Golkar.
Di dunia Arab, Afrika, dan Asia, para pemikir sekuler, seperti Mohamad Arkoun, Thoha Husien, Ali Abdul Raziq, Qasim Amin, Kook Alab, dan Ahmad Khan, semuanya hanya menjadi alat kepentingan Barat. Mereka menjajakan pemikiran guna mendukung kekuatan politik kaum sekuler.
Seperti sekarang di Mesir, Mohammad el Baradei, yang digunakan kaum sekuler, dan ingin menjegal kaum Islamis, melalui gerakan politik, di Tahrir Square, dan gagal. Karena, el-Baradei tidak memiliki tempat berpijak, dan lama di Amerika dan Eropa. Serta tak memiliki kontribusi apapun, dikalangan rakyat Mesir.
Gerakan Islam melalui dakwah yang mereka lakukan secara perlahan di tanah Arab, Afrika dan Asia dan Asia Selatan, perlahan-lahan, berhasil menanamkan nilai-nilai Islam dikalangan rakyat. Sekarang menjadi sebuah kekuatan. Menggeser kekuatan sekuleris yang selama ini mendominasi kehidupan politik. Revolusi dan pemberontakan yang sekarang terjadi di dunia Arab , Afrika, dan Asia merupakan hasil kerja yang panjang. Bukan tiba-tiba lahir menjadi sebuah gerakan dan revolusi.
Perubahan politik di Tunisia, Mesir, Yaman, Libya, Yordania, Suriah, Somalia, Sudan, Turki, Pakistan, dan Afghanistan, bukan sebuah peristiwa yang dadakan, tanpa sebab. Tetapi, hasil kerja panjang yang dilakukan para aktivis Islam, yang dengan sangat tulus mendakwahkan agama Islam kepada rakyat di seluruh kawasan itu.
Jangan dibiarkan lagi, mereka yang mempunyai pemikiran dan pandangan sekuler mendominasi kehidupan. Mereka harus disingirkan. Mereka sudah tidak layak lagi, mendapatkan tempat di dalam kehidupan ini. Sekulerisme sudah tidak layak mendapatkan tempat di negeri-negeri Muslim. Kehidupan masa depan memerlukan tokoh-tokoh baru, yang lebih menjunjung tinggi nilai-nilai bersumber dari nilai-nilai yang fitrah, al-Islam.
Hampir satu abad, para pemikir, tokoh, politisi sekuler mendominasi di dunia Arab dan dunia Islam, tanpa dapat memberikan sumbangan apapun bagi kehidupan. Tidak memberikan solusi bagi rakyat dan kehidupan rakyat. Justeru mereka menenggelamkan negara dan bangsanya ke dalam penderitaan dan kesengsaraan.
Kisah-kisah yang sangat telanjang yang terjadi di dunia Arab, yang dikuasi rejim-rejim yang sekuler dan tiranik, tak memberikan apapun bagi rakyatnya. Kecuali kesengsaraan dan penindasan. Kenestapaan. Kehinaan semata. Serta menjadi bagian dari penjajah Barat. Inilah hakekat sekulerisme itu.
Kekuatan politik Islam berakar dari sebuah gerakan dakwah yang panjang, penuh dengan pengorbanan, dan kesabaran yang tiada ujung, yang sekarang membuahkan hasil. Munculnya harapan di ufuk kehidupan. Di mana Islam menjadi cahaya diantara gelapnya kehidupan jahilyah, yang diwariskan kaum sekuler di dunia Islam.
Satu generasi lagi, Islam bakal menjadi sistem kehidupan yang menyeluruh di dunia Arab, Afrika, dan Asia, menggantikan sistem sekuler yang mencabik-mencabik kehidupan, dan menyengsarakan.
Sejarah telah mencatat anak-anak keturunan penjajah Barat, seperti Raja Farouq, Gamal Abdul Naser, Anwar Sadat, Hosni Mubarak, Habib Bourguiba, Zine al Abidin ben Ali, Muammar Gaddafi, Ali Abdullah Saleh, Hafez Al-Azzad dan Bashar al-Assad, Saddam Husien, Raja Abdullah, semuanya telah sirna, dan menjadi bagian masa lalu sejarah sekulerisme di dunia Arab dan Afrika.
Sekarang anak-anak dan generasi baru, yang berasal dari "Gerakan Islam", tampil mengambil alih tanggung jawab, dan akan mengemplementasikan nilai-nilai Islam, dan menggantikan sekulerisme, yang dicangkokkan dalam kehidpan bangsa-bangsa Muslim. Sekulerisme merupakan produk penjajah, yang sangat jahat, dan merusak, serta menghancurkan. Sekulerisme harus dikeluarkan dari seluruh aliran darah, ruh, serta pemikiran Muslim di seluruh dunia Islam.
Mungkin sekarang masih belum sempurna dan masih sangat hati-hati, dan tidak berani dengan terus terang menawarkan Islam, tetapi mereka telah melakukan langkah-langkah perubahan, yang tidak akan dilupakan oleh siapapun.
Tiba saatnya sekarang menyatakan dengan lantang : "Isyhadu bi ana Muslimun". Tidak perlu takut. Tidak perlu malu. Tidak perlu merasa minder. Sebagai Muslim harus bangga dan percaya diri. Mari kita berikan solusi dan jalan keluar bagi kehidupan yang sekarang, yang carut-marut, dan penuh dengan kemunafikan, akibat warisan sistem jahiliyay, sekuler, dan anti Islam, yang tertanam lama dalam jiwa-jiwa penduduk di dunia Islam ini. Mari kita tegakkan sistem Islam.
Saudara-saudara kita di Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan telah memberikan contoh dan teladan, berani mendobrak dan memerangi sistem sekuler, dan para penjajah Barat, dan berhasil memenangkannya.
Jangan sampai kita kehilangan arah dan orientasi hidup, akibat tertipu oleh banyaknya opini yang sifatnya mendistorsi (merusak), dan berusaha menjauhkan umat Islam dari agamanya. Belum mati para pengkhotbah sekulerisme dan corong-corongnya. Mereka terus berusaha mengkampanyekan nilai-nilai yang sudah usang itu.
Kemenangan telah berada di depan mata kita. Kekuatan sekuler dan la diniyah telah tersungkur dalam kehinaan. Seperti kita saksikan hari ini. Di seluruh belahan dunia. Wallahu'alam.
(http://www.eramuslim.com/editorial/kekuatan-politik-islam-melawan-sekulerisme.htm)
Sekulerisme yang telah menggantikan nilai-nilai Islam di seluruh dunia Islam, kini menghadapi kekuatan Islam yang perlahan-lahan menggantikannya. Sistem sekuler yang sudah hampir satu abad yang disebarkan dan dipancarkan dari Turki itu, mulai redup, dan perlahan-lahan sirna. Sekalipun secara formal masih tetap ada, seperti di Turki. Tetapi, secara nilai dan politik, mulai digantikan oleh nilai-nilai Islam, yang menjadi sebuah kekuatan riil.
Secara nilai sekulerisme tidak memberikan manfaat apapun bagi kehidupan. Justeru sekulerisme menjadikan dunia Islam, hanya menjadi alat kaum penjajah Barat yang menginginkan dunia Islam menjadi bagian subordinasi Barat secara permanen. Tetapi, tak terjadi di dunia Islam yang seperti mereka inginkan.
Begitu banyak para pengkhutbah dan missionaris sekulerisme yang ingin terus berusaha menawarkan dan menjajakan sekurisme di dunia Islam. Tetapi semuanya gagal. Karena, nilai-nilai sekulerisme tidak sesuai dengan fitrah mausia. Sekulerisme yang ingin memisahkan kehidupan manusia dengan agama, dan tidak menemukan jalan, kecuali kegagalan.
Banyak tokoh sekuler yang mengajukan pemikiran dan theori tentang kehidupan, tetapi tak dapat dipraktekkan dalam kehidupan. Mohammad Arkoun (Aljazair), Thoha Husien (Mesir), Ali Abdul Raziq (Mesir), Ahmad Khan (India), Qasim Amin (Lebanon), Kook Alab (Turki), dan Nurcholis Madjid (Indonesia), mereka para "nabi"nya kaum sekuler, yang menawarkan pemikiran pembaharuan, tetapi tak pernah bisa mewujudkannya.
Seperti pemikiran yang sangat terkenal dari Nurcholis Madjid, yang sudah tidak ada lagi gemanya, "Islam Yes, Partai Islam No", yangn sudah tidak relevan lagi. Karena, Nurcholis Madjid pernah ikut dalam bursa pencalonan presiden di Partai Golkar. Kemudian, dia kalah dan mengundurkan diri.
Nurcholis Madjid tidak konsisten dengan pemikirannya, "Islam Yes, Partai Islam No". Akhirnya Nurcholis terjebak dengan politik praktis, dan ingin mendapatkan kekuasaan melalui bursa pencalonan presiden di Partai Golkar.
Di dunia Arab, Afrika, dan Asia, para pemikir sekuler, seperti Mohamad Arkoun, Thoha Husien, Ali Abdul Raziq, Qasim Amin, Kook Alab, dan Ahmad Khan, semuanya hanya menjadi alat kepentingan Barat. Mereka menjajakan pemikiran guna mendukung kekuatan politik kaum sekuler.
Seperti sekarang di Mesir, Mohammad el Baradei, yang digunakan kaum sekuler, dan ingin menjegal kaum Islamis, melalui gerakan politik, di Tahrir Square, dan gagal. Karena, el-Baradei tidak memiliki tempat berpijak, dan lama di Amerika dan Eropa. Serta tak memiliki kontribusi apapun, dikalangan rakyat Mesir.
Gerakan Islam melalui dakwah yang mereka lakukan secara perlahan di tanah Arab, Afrika dan Asia dan Asia Selatan, perlahan-lahan, berhasil menanamkan nilai-nilai Islam dikalangan rakyat. Sekarang menjadi sebuah kekuatan. Menggeser kekuatan sekuleris yang selama ini mendominasi kehidupan politik. Revolusi dan pemberontakan yang sekarang terjadi di dunia Arab , Afrika, dan Asia merupakan hasil kerja yang panjang. Bukan tiba-tiba lahir menjadi sebuah gerakan dan revolusi.
Perubahan politik di Tunisia, Mesir, Yaman, Libya, Yordania, Suriah, Somalia, Sudan, Turki, Pakistan, dan Afghanistan, bukan sebuah peristiwa yang dadakan, tanpa sebab. Tetapi, hasil kerja panjang yang dilakukan para aktivis Islam, yang dengan sangat tulus mendakwahkan agama Islam kepada rakyat di seluruh kawasan itu.
Jangan dibiarkan lagi, mereka yang mempunyai pemikiran dan pandangan sekuler mendominasi kehidupan. Mereka harus disingirkan. Mereka sudah tidak layak lagi, mendapatkan tempat di dalam kehidupan ini. Sekulerisme sudah tidak layak mendapatkan tempat di negeri-negeri Muslim. Kehidupan masa depan memerlukan tokoh-tokoh baru, yang lebih menjunjung tinggi nilai-nilai bersumber dari nilai-nilai yang fitrah, al-Islam.
Hampir satu abad, para pemikir, tokoh, politisi sekuler mendominasi di dunia Arab dan dunia Islam, tanpa dapat memberikan sumbangan apapun bagi kehidupan. Tidak memberikan solusi bagi rakyat dan kehidupan rakyat. Justeru mereka menenggelamkan negara dan bangsanya ke dalam penderitaan dan kesengsaraan.
Kisah-kisah yang sangat telanjang yang terjadi di dunia Arab, yang dikuasi rejim-rejim yang sekuler dan tiranik, tak memberikan apapun bagi rakyatnya. Kecuali kesengsaraan dan penindasan. Kenestapaan. Kehinaan semata. Serta menjadi bagian dari penjajah Barat. Inilah hakekat sekulerisme itu.
Kekuatan politik Islam berakar dari sebuah gerakan dakwah yang panjang, penuh dengan pengorbanan, dan kesabaran yang tiada ujung, yang sekarang membuahkan hasil. Munculnya harapan di ufuk kehidupan. Di mana Islam menjadi cahaya diantara gelapnya kehidupan jahilyah, yang diwariskan kaum sekuler di dunia Islam.
Satu generasi lagi, Islam bakal menjadi sistem kehidupan yang menyeluruh di dunia Arab, Afrika, dan Asia, menggantikan sistem sekuler yang mencabik-mencabik kehidupan, dan menyengsarakan.
Sejarah telah mencatat anak-anak keturunan penjajah Barat, seperti Raja Farouq, Gamal Abdul Naser, Anwar Sadat, Hosni Mubarak, Habib Bourguiba, Zine al Abidin ben Ali, Muammar Gaddafi, Ali Abdullah Saleh, Hafez Al-Azzad dan Bashar al-Assad, Saddam Husien, Raja Abdullah, semuanya telah sirna, dan menjadi bagian masa lalu sejarah sekulerisme di dunia Arab dan Afrika.
Sekarang anak-anak dan generasi baru, yang berasal dari "Gerakan Islam", tampil mengambil alih tanggung jawab, dan akan mengemplementasikan nilai-nilai Islam, dan menggantikan sekulerisme, yang dicangkokkan dalam kehidpan bangsa-bangsa Muslim. Sekulerisme merupakan produk penjajah, yang sangat jahat, dan merusak, serta menghancurkan. Sekulerisme harus dikeluarkan dari seluruh aliran darah, ruh, serta pemikiran Muslim di seluruh dunia Islam.
Mungkin sekarang masih belum sempurna dan masih sangat hati-hati, dan tidak berani dengan terus terang menawarkan Islam, tetapi mereka telah melakukan langkah-langkah perubahan, yang tidak akan dilupakan oleh siapapun.
Tiba saatnya sekarang menyatakan dengan lantang : "Isyhadu bi ana Muslimun". Tidak perlu takut. Tidak perlu malu. Tidak perlu merasa minder. Sebagai Muslim harus bangga dan percaya diri. Mari kita berikan solusi dan jalan keluar bagi kehidupan yang sekarang, yang carut-marut, dan penuh dengan kemunafikan, akibat warisan sistem jahiliyay, sekuler, dan anti Islam, yang tertanam lama dalam jiwa-jiwa penduduk di dunia Islam ini. Mari kita tegakkan sistem Islam.
Saudara-saudara kita di Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan telah memberikan contoh dan teladan, berani mendobrak dan memerangi sistem sekuler, dan para penjajah Barat, dan berhasil memenangkannya.
Jangan sampai kita kehilangan arah dan orientasi hidup, akibat tertipu oleh banyaknya opini yang sifatnya mendistorsi (merusak), dan berusaha menjauhkan umat Islam dari agamanya. Belum mati para pengkhotbah sekulerisme dan corong-corongnya. Mereka terus berusaha mengkampanyekan nilai-nilai yang sudah usang itu.
Kemenangan telah berada di depan mata kita. Kekuatan sekuler dan la diniyah telah tersungkur dalam kehinaan. Seperti kita saksikan hari ini. Di seluruh belahan dunia. Wallahu'alam.
(http://www.eramuslim.com/editorial/kekuatan-politik-islam-melawan-sekulerisme.htm)
Subscribe to:
Posts (Atom)
0 komentar: