Rabiul Awwal

Bila bulan Rab’iul Awal tiba, mayoritas kaum muslimin seakan tak sanggup melupakan sebuah acara rutin tahunan, warisan nenek moyang, yaitu perayaan maulid Nabi. Kenapa sampai demikian? Jawabnya amat mudah, karena memang perayaan maulid ini sudah mendarah daging dan mengakar di hati mereka. Perayaan ini telah melanda dunia, tak ketinggalan negeri kita,Indonesia.
Ironisnya, perayaan ini juga diminati oleh berbagai gerakan dakwah dan kalangan menengah atas. Bahkan ada juga yang menjadi ‘pejuang-pejuang’ perayaan ini. Wallohu Musta’an.
Perayaan peringatan maulid ini bermacam-macam bentuknya. Ada yang hanya sekedar berkumpul dan membacakan kisah maulid (kelahiran) Nabi r, qasidah, dan ceramah agama. Ada yang membuat makanan serta sejenisnya untuk para hadirin. Ada yang merayakannya di masjid, langgar/surau dan ada yang di rumah.
Dan ada juga yang tak cukup hanya demikian, mereka meramaikan perayaan maulid ini dengan dibumbui keharaman dan kemungkaran. Seperti, ikhtilath (campur-baur) antara pria dan wanita, joget, dan menyanyi, bahkan syirik, semisal meminta pertolongan kepada Nabi.”
Masalah perayaan maulid Nabi merupakan polemik besar di kalangan kaum muslimin. Namun yang perlu dicatat bagi setiap muslim adalah hendaknya kita semua menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai hakim setiap perselisihan bila memang kita menghendaki kebenaran.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّـهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّـهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّـهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا ﴿٥٩
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa’: 59)


Sejarah Perayaan Maulid Nabi
Ketahuilah wahai saudaraku -semoga Alloh memberi pemahaman kepadamu- bahwa perayaan maulid Nabi tidaklah dikenal di zaman Nabi, para sahabat, para tabiin dan tabi’ut tabiin. Dan tidak dikenal oleh Imam-imam madzhab: Abu Hanifah, Malik, Ahmad, dan Syafi’i sekalipun. Karena memang perayaan ini adalah perkara baru (baca: bid’ah). Adapun orang yang pertama kali mengadakannya adalah Bani Ubaid Al-Qaddakh yang menamai diri mereka dengan “Fathimiyyun”. Mereka memasuki kota Mesir tahun 362 H. Dari sinilah kemudian mulai tumbuh berkembang perayaan maulid secara umum dan maulid Nabi secara khusus.
Al-Imam Ahmad bin Ali Al-Miqrizi -seorang ulama ahli sejarah- mengatakan: “Para khalifah Fathimiyun mempunyai perayaan yang bermacam-macam setiap tahunnya. Yaitu perayaan tahun baru, perayaan Asyura’, perayaan maulid Nabi, maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan, maulid Husain, maulid Fathimah Az-Zahra dan maulid khalifah. Perayaan awal bulan Rajab, awal Sya’ban, nisfu Sya’ban, awal Ramadhan, pertengahan Ramadhan dan penutupan Ramadhan ….”
Mereka adalah orang-orang dari daulah Ubaidiyyah yang beraqidah Bathiniyyah, merekalah yang dikatakan oleh imam al-Ghozali v\ : “Mereka menampakkan sebagai orang rofidhoh syi’ah, padahal sebenarnya mereka adalah murni orang kafir.”
 Pendapat yang mengatakan bahwa Banu Ubaid tersebut adalah pencetus pertama perayaan maulid ditegaskan oleh al-Maqrizi dalam al-Khuthoth 1/280, al-Qolqosynadi dalam Shubhul A’sya 3/398, as-Sandubi dalam Tarikh Ihtifal bil Maulid hlm. 69, Muhamad Bukhait al-Muthi’i dalam Ahsanul Kalam hlm. 44, Ali Fikri dalam Muhadhorot beliau hlm. 84 serta Ali Mahfudz dalam al-Ibda’ hlm. 126.
Dan orang yang pertama merayakan bid’ah maulid ini di Iraq Syaikh al-Mushil Umar Muhammad al-Mula pada abad keenam dan kemudian diikuti oleh a Raja Mudhafir Abu Said Kaukaburi (raja Irbil) pada abad ketujuh dengan penuh kemegahan!!

Hukum Perayaan Maulid Nabi

Menghukumi sesuatu ini boleh atau tidak bukanlah perkara yang amat mudah, tidak boleh bagi kita untuk gegabah dalam menghukumi, apalagi tentang permasalahan ini yang menjadi polemik berkepanjangan hingga saat ini. Marilah kita tinggalkan semua fanatik golongan, hawa nafsu, dan adat yang tidak berdasar. Marilah kita kembalikan semua permasalahan kepada Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah. Janganlah kita terpedaya dengan banyaknya orang yang melakukan, karena hal itu bukanlah standar kebenaran.
Setelah kita mengembalikan masalah ini kepada Al-Qur’an dan Sunnah, ternyata tidak kita dapati satupun dalil yang menunjukkan disyari’atkannya perayaan ini. Demikian juga kita tidak mendapati bahwa Nabi, para sahabat dan para ulama/imam salaf mengadakan perayaan, sehingga jelaslah bagi orang yang hendak mencari kebenaran dan jauh dari kesombongan bahwa perayaan maulid Nabi adalah perbuatan yang tertolak. Sekali lagi, janganlah standar kita adalah kebanyakan orang tetapi jadikan standar hukum kita adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi.Adabeberapa argumen yang menguatkan bathilnya perayaan maulid sebagai berikut:

Pertama:

Seandainya perayaan maulid ini disyari’atkan, tentu akan dijelaskan oleh Nabi sebelum wafatnya karena Allah telah menyempurnakan agamaNya.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ اللَّـهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ﴿٣
Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmatKu dan telah Kuridhai Islam sebagai agamamu. (QS. Al-Maidah: 3)
Imam Ibnu Katsir berkata: “Ini merupakan kenikmatan Allah yang terbesar kepada umat ini, dimana Allah telah menyempurnakan agama mereka, sehingga mereka tidak membutuhkan agama selainnya dan Nabi selain Nabi mereka. Oleh karena itulah, Allah menjadikannya sebagai penutup para Nabi dan mengutusnya kepada Jin dan manusia, maka tidak ada sesuatu yang halal selain apa yang beliau halalkan, tidak ada yang haram kecuali yang dia haramkan, tidak ada agama selain apa yang dia syari’atkan, dan setiap apa yang dia beritakan adalah benar dan jujur, tiada kedustaan di dalamnya”.

Kedua:

Seandainya perayaan maulid ini merupakan bagian agama yang disyari’atkan tetapi Nabi tidak menjelaskannya kepada umat, maka itu berarti Nabi berkhianat. Hal ini tidak mungkin karena Nabi telah menyampaikan risalah Allah dengan amanah dan sempurna sebagaimana disaksikan oleh umatnya dalam perkumpulan yang besar di Arofah ketika haji wada’:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ فِيْ قِصَّةِ حَجَّةِ النَّبِيِّ : … وَأَنْتُمْ تُسْأَلُونَ عَنِّي, فَمَا أَنْتُمْ قَائِلُونَ؟ قَالُوا : نَشْهَدُ أَنَّكَ قَدْ بَلَّغْتَ, وَأَدَّيْتَ, وَنَصَحْتَ, فَقَالَ بِإِصْبِعِهِ السَّبَابَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى السَّمَاءِ, وَيَنْكُتُهَا إِلَى النَّاسِ : اللَّهُمَّ اشْهَدْ, اللَّهُمَّ اشْهَدْ, ثَلاَثَ مَرَّاتٍ
Dari Jabir bin Abdillah tentang kisah hajinya Nabi (Setelah beliau berkhutbah di Arafah): Nabi bersabda: Kalian akan ditanya tentang diriku, lantas apakah jawaban kalian? Mereka menjawab: Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan, menunaikan dan menasehati. Lalu Nabi mengatakan dengan mengangkat jari telunjuknya ke langit dan mengisyaratkan kepada manusia: Ya Alloh, saksikanlah, Ya Alloh saksikanlah, sebanyak tiga kali.

Ketiga:

Nabi bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada contohnya dari kami maka tertolak.
Hadits ini dan yang semakna dengannya menunjukkan tercelanya bid’ah dalam agama sekalipun dianggap baik oleh manusia. Dan perayaan maulid termasuk perkara yang bid’ah dalam agama karena tidak pernah dicontohkan oleh Nabi r dan para sahabatnya.
Imam Abu Hafsh Tajuddin Al-Fakihani berkata, “Amma ba’du, banyak muncul pertanyaan dari saudara-saudara kami tentang perkumpulan yang biasa diamalkan sebagian manusia pada bulan Rabi’ul Awal, yang mereka namakan dengan maulid. Adakah dalilnya? Ataukah itu perkara bid’ah dalam agama? Maka saya katakan, “Saya tidak mengetahui dalil tentang maulid ini baik dari Al-Qur’an maupun Hadits. Tidak pula dinukil dari seorang pun dari kalangan ulama umat yang merupakan panutan dalam agama, yaitu orang-orang yang berpegang teguh terhadap ajaran para pendahulu. Bahkan maulid ini merupakan perkara bid’ah yang dibuat-buat oleh para pengangguran dan dorongan nafsu syahwat yang dipertuhankan oleh orang-orang yang buncit perut (suka makan).”

Keempat:

Seandainya perayaan maulid ini disyari’atkan, niscaya tidak akan ditinggalkan oleh para sahabat dan para generasi utama yang dipuji oleh Nabi:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ
Sebaik-baik manusia adalah masaku.
     Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Demikian pula apa yang diada-adakan oleh sebagian manusia tentang perayaan hari kelahiran Nabi r, padahal ulama telah berselisih tentang (tanggal) kelahirannya. Semua ini tidak pernah dikerjakan oleh generasi salaf (Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in) … dan seandainya hal itu baik, tentu para salaf lebih berhak mengerjakannya daripada kita. Karena mereka jauh lebih cinta kepada Nabi r, dan mereka lebih bersemangat dalam melaksanakan kebaikan. Sesungguhnya cinta Rasul adalah dengan mengikuti beliau, menjalankan perintahnya, menghidupkan sunnahnya secara zhahir dan batin, menyebarkan ajarannya dan berjihad untuk itu semua, baik dengan hati, tangan, ataupun lisan. Karena inilah jalan para generasi utama dari kalangan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan.”
Hal yang sangat menunjukkan bahwa salaf shalih tidak merayakan perayaan maulid ini adalah perselisihan mereka tentang penentuan tanggal hari kelahirannya hingga menjadi tujuh pendapat, yang paling masyhur adalah tanggal 12, kemudian tanggal 8 Rabiul Awal, setelah mereka bersepakat bahwa hari kelahirannya adalah hari senin dan mayoritas mereka menguatkan bulannya adalah bulan Rabiul awal. Seandainya pada hari kelahirannya disayari’atkan perayaan ini, niscaya para sahabat akan menentukan dan perahatian tentang penentuan hari kelahiran Nbai dan tentunya akan menjadi perkara yang masyhur di kalangan mereka.

Kelima:

Perayaan maulid Nabi termasuk tasyabbuh (menyerupai) orang-orang Nashara yang merayakan maulid Nabi Isa u. Sedangkan menyerupai mereka hukumnya haram. Nabi r bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka.
Dari Abu Sa’id al-Khudri a/ dari Nabi n/ bersabda:
لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوْا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوْهُمْ قُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ الْيَهُوْدُ والنَّصَارَى؟ قَالَ فَمَنْ؟
Sungguh kalian akan mengikuti sunnah perjalanan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehingga mereka memasuki lubang dhab (hewan sejenis biawak di Arab). Mereka berkata, “Wahai Rasulullah apakah mereka Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka?” 
 “Hadits ini merupakan mukjizat Nabi n/ karena sungguh mayoritas umatnya ini telah mengikuti sunnah perjalanan kaum Yahudi dan Nasrani, baik dalam gayahidup, berpakaian, syi’ar-syi’ar agama, dan adat-istiadat. Dan hadits ini lafazhnya berupa khabar yang berarti larangan mengikuti jalan-jalan selain agama Islam.”
Paraulama bersepakat tentang wajibnya menyelisihi orang-orang kafir dan haramnya kaum muslimin menyerupai orang-orang kafir. Salah satu contoh yang menunjukkan perbuatan meniru orang Nashara adalah perayaan maulid Nabi. Peringatan ini jelas bid’ahnya dan menyerupai perayaan Natalyang dilakukan orang Nashara saat mereka memperingati kelahiran tuhan mereka.

Keenam:

Perayaan maulid Nabi merupakan wasilah ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap Nabi r. Sehingga mereka berdo’a dan memohon pertolongan kepada selain Alloh Y. Sebagaimana terjadi dalam perayaan-perayaan tersebut. Baik dalam qasidah-qasidah maupun do’a-do’a mereka. Padahal Rasulullah r sendiri telah bersabda:
لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ 
Janganlah kalian memujiku sebagaimana kaum Nashara memuji Ibnu Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah: Hamba Alloh dan RasulNya.
Syaikh Al-Imam Al-Albani menjelaskan hadits di atas, “Maksudnya: Janganlah kalian memujiku secara mutlak, sekalipun pada asal hukumnya adalah boleh, tetapi Nabi r melarangnya sebagai saddu dzari’ah (penutup jalan menuju kebatilan). Karena membuka pintu pujian seringkali menjurus kepada penyimpangan syari’at sebagaimana kita saksikan bersama, entah karena kejahilan atau ghuluw. Marilah kita perhatikan ucapan mereka:
فَإِنَّ مِنْ جُوْدِكَ الدُّنْيَا وَضَرَّتَهَا
وَمِنْ عُلُوْمِكَ عِلْمُ اللَّوْحِ وَالْقَلَمِ
Sesungguhnya di antara milikmu adalah dunia dan isinya.
Dan di antara ilmumu adalah Ilmu Lauh dan Qalam.
Pujian yang sangat nampak jelas kesesatannya ini banyak sekali kita dapati dalam nasyid-nasyid yang konon berlabel/bernuansa Islami. Lihatlah perbuatan kaum muslimin hari ini yang mensifati Nabi r dalam acara-acara maulid serta lainnya, yang tidak dikenal oleh generasi salaf. Seperti perkataan mereka: “Nabi r adalah nur fauqa nur (cahaya di atas cahaya), makhluk pertama…,” dan kalimat batil lainnya.

Ketujuh:

Perayaan bid’ah maulid Nabi ini membuka pintu-pintu bid’ah lainnya dan mematikan sunnah Nabi. Oleh karena itu Anda dapat melihat mereka begitu bersemangat mengadakan bid’ah tetapi alangkah malasnya mereka menghidupkan sunnah. Bahkan mereka membenci orang-orang yang menegakkan Sunnah. Maka jadilah agama mereka seakan-akan seluruhnya hanyalah peringatan dan perayaan tokoh-tokoh mereka.
Hassan bin ‘Athiyyah berkata: “Tidaklah suatu kaum melakukan suatu kebid’ahan dalam agama mereka, ekcuali Allah akan mencabut dari mereka sunnah semisalnya, kemudian dia tidak kembali ke sunnah hingga hari kiamat”.
Imam adz-Dzahabi berkata: “Mengikuti sunnah adalah kehidupan hati dan makanan baginya. Apabila hati telah terbiasa dengan bid’ah, maka tiada lagi ruang untuk sunnah”.
Kesimpulannya, “tidak boleh merayakan maulid Nabi r atau maulid-maulid lainnya karena hal tersebut termasuk bid’ah dalam agama, tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah, para Khulafaur Rasyidin, para sahabat serta generasi mulia setelah mereka. Padahal mereka adalah orang yang paling sempurna kecintaan dan ittiba’nya kepada Nabi r dibanding orang-orang setelah mereka. Perayaan ini juga termasuk tasyabbuh terhadap Yahudi dan Nashara dalam perayaan mereka. Maka jelaslah bagi setiap orang berakal dan ingin mencari kebenaran bahwa perayaan maulid bukan dari agama Islam, tetapi merupakan bid’ah yang dilarang oleh Alloh Y. Dan tidak sepantasnyalah seorang yang berakal tertipu dengan banyaknya orang yang mengerjakannya di seluruh penjuru dunia, karena kebenaran itu tidaklah dikenali (diukur) dengan banyaknya pelaku, tetapi dengan dalil syar’i. Belum lagi kebanyakan perayaan-perayaan ini tidak lepas dari kemungkaran-kemungkaran, seperti campur baur laki-laki perempuan, musik dan nyanyian, minuman memabukkan, dan lain-lainnya.”
Demikianlah hukum perayaan maulid Nabi yang sebenarnya, maka janganlah engkau tertipu dengan banyaknya orang yang menyelisihinya!! Sungguh bagus sekali nasihat Imam Fudhail bin Iyadh:
عَلَيْكَ بِطَرِيْقِ الْحَقِّ وَلاَ تَسْتَوْحِشْ لِقِلَّةِ السَّالِكِيْنَ وَإِيَّاكَ وَطَرِيْقِ الْبَاطِلِ وِلاِ تَغْتَرْ بِكَثْرَةِ الْهَالِكِيْنَ
Ikutilah jalan kebenaran dan jangan engkau merasa sedih dengan sedikitnya orang yang berjalan di atasnya. Dan waspadalah dari jalan kebatilan. Dan janganlah tertipu dengan banyaknya orang yang binasa (melakukannya).

Tanggal Kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diperselisihkan secara tajam. Ada yang mengatakan bahwa beliau lahir tanggal 2 Rabiul Awal, 8 Rabiul Awal, 10 Rabiul Awal, 12 Rabiul Awal, 17 Rabiul Awal (Lihat al-Bidayah wa Nihayah karya Ibnu Katsir: 2/260 dan Latho’iful Ma’arif karya Ibnu Rojab hlm. 184-185). Semua pendapat ini tidak berdasarkan hadits yang shahih. Adapun hadits Jabir dan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma yang menerangkan bahwa tanggal kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tanggal 12 Rabiul Awal tidak shahih. Kalaulah shahih, tentu akan menjadi hakim (pemutus perkara) dalam masalah ini. Akan tetapi, Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang hadits tersebut, “Sanadnya terputus.” (al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Rajab hlm. 184-185)

Berhubung penentuan hari kelahiran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ada yang shahih, tidak mengapa kalau kita menukil pendapat ahli falak. Banyak ahli falak berpendapat bahwa hari kelahiran beliau adalah pada tanggal 9 Rabiul Awal, seperti al-Ustadz Mahmud Basya al-Falaki, al-Ustadz Muhammad Sulaiman al-Manshur Fauri (Sebagaimana dinukil oleh Shofiyurrohman al-Mubarokfuri dalam ar-Rahiqul Makhtum hlm. 62), dan al-Ustadz Abdullah bin Ibrahim bin muhammad as-Sulaim, beliau mengatakan,
“Dalam kitab-kitab sejarah dan siroh dikatakan bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam lahir pada hari Senin tanggal 10, atau 8, atau 12 dan ini yang dipilih oleh mayoritas ulama. Telah tetap tanpa keraguan bahwa kelahiran beliau adalah pada 20 April 571 M (tahun Gajah), sebagaimana telah tetap juga bahwa beliau wafat pada 13 Rabiul Awal 11 H yang bertepatan dengan 6 Juni 632 M. Selagi tanggal-tanggal ini telah diketahui, maka dengan mudah dapat diketahui hari kelahiran dan hari wafatnya dengan jitu, demikian juga usia Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan mengubah tahun-tahun ini pada hitungan hari akan ketemu 22.330 hari dan bila diubah ke tahun qamariyyah akan ketemulah bahwa umur beliau 63 tahun lebih tiga hari. Dengan demikian, hari kelahiran beliau adalah hari Senin 9 Rabiul Awal tahun 53 sebelum hijriah, bertepatan dengan 20 April 571 M. (Taqwimul Azman hlm. 143, cet pertama 1404 H)
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Sebagian ahli falak belakangan telah meneliti tentang tanggal kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata jatuh pada tanggal 9 Rabiul Awal, bukan 12 Rabiul Awal.” (al-Qaulul Mufid ‘ala Kitab Tauhid: 1/491. Dinukil dari Ma Sya’a wa Lam Yatsbut fis Sirah Nabawiyyah hlm. 7-8 oleh Muhammad bin Abdullah al-Ausyan)
Dengan demikian, apa yang dirayakan oleh sebagian kaum muslimin pada tanggal 12 Rabiul Awal setiap tahunnya?
Sumber 1
Sumber 2

0 komentar: