Begitulah kehidupan mengajarkan kita…, bahwa ada begitu banyak hal
yang tak dapat kita prediksi sebelumnya, lalu fase kehidupanlah yang
mengantarkan kita padanya… Memang benarlah sudah, bahwa hidup ini begitu
kehilangan makna jika hanya diisi dengan banyak kesiaan. Karena ia
terlalu wonderful untuk itu…
Mungkin, kita pernah bertanya-tanya, “Ya Tuhan, mengapa Engkau
berikan takdir begini dan begitu untukku, padahal aku tak menyukainya,
padahal aku tak sanggup untuk menjalaninya…”
Tapi, sekali lagi, Allah lah yang lebih tau mana yang terbaik untuk diri kita, jauh melintasi ingin-ingin kita yang sederhana itu…
Mungkin tidak saat ini kita diberi tahu-Nya tentang hikmah luar biasa
yang Dia sertakan pada setiap kesulitan, hal-hal yang tidak
menyenangkan, maupun tantangan hidup yang kita lewati… Tapi, pada satuan
waktu yang tak dapat kita tara kemudian, kita mungkin akan berkata,
“Masya Allah…sungguh luar biasa catatan-Nya atas diri kita… Mengertilah
aku, mengapa begini skenario dari-Nya, bukan seperti yang kukehendaki
dulunya.”
Ya, sebab, berkali-kali sudah Dia sadarkan kita, agar kita lebih aware, bahwa tak selalu kehendak kita saja yang berlaku dalam hidup ini…
Dan, cukup ingin-Nya sajalah yang berlaku… Ini bukan berarti kita
berpasrah tanpa ikhtiar dan tanpa munajah. Ini adalah setelah ikhtiar
terbaik kita… Lalu kemudian, cukuplah Dia saja yang memberikan keputusan
finalnya…
Jika sudah demikian, maka mari kita focus kembali dengan apa yang
menjadi tujuan dari kehidupan yang singkat ini. Cukupkah hanya sampai
terminasi dunia belaka kah? Ataukah untuk masa yang lebih panjang dari
itu.
Jika hanya sampai pada terminasi kehidupan dunia saja, maka
bersenang-senanglah dan lakukan semau kita! Kesenangan yang singkat
kemudian menjadi tiket untuk kesengsaraan yang tiada berkesudahan.
Na’udzubillah…
Akan tetapi, kita hidup bukan untuk jangka waktu yang singkat. Ada
cita-cita besar pada jangka yang tak lagi terhitung dengan dimensi waktu
dunia, yang untuknya kita tentu tak bisa hanya dengan duduk-duduk saja.
Karena harganya mahal itulah, maka perlu berpeluh payah mencapainya.
Jadi, apakah kita akan memilih untuk bersenang-senang sesaat akan
tetapi dengan berujung pada kesengsaraan yang tiada taranya. Ataukah
berpeluh payah, akan tetapi untuk sesuatu yang kenikmatannya juga tak
dapat dilukiskan dengan kata-kata? Logika manusia PASTI akan memilih
yang kedua. Tentu saja…
Dan sudah sunnatullahnya, bahwa setiap jenak waktu yang kita habiskan
menuju cita-cita besar itu, pasti memiliki barrier. Pasti akan selalu memiliki rintangan. Maka,
niscayanya, juga butuh energy lebih besar. Dan sungguh, hanya dengan
kedekatan dengan-Nya sajalah yang dapat memberikan energi aktivasi untuk
dapat melintasi segala barrier itu.
Ah, sesungguhnya ada ketakutan besar bagiku ketika menuliskan ini.
Sebab, aku pun bahkan sering lemah, sering terjerambab, sering terjatuh…
Maka dari itu, mohon ingatkanlah aku, ketika langkah ini
tersalah…ketika bukan lagi pada koridor-Nya…
Jangan pernah berpikir bahwa kita akan selalu bisa sempurna dalam
melewati segalanya. Sebab manusia adalah tempatnya khilaf. Lantas,
mengapa Allah memberikan kita sedikit ruang pembiaran atas kesalahan?
Seperti halnya Dia yang membentangkan keampunan di siang hari untuk
hamba-Nya yang bermaksiat di malam hari, dan Dia juga membentangkan
keampunan di malam hari untuk kemaksiatan di siangnya?
Sekali lagi, sebab khilaf adalah sifat manusia. Agar kita belajar
memperbaikinya. Agar kita belajar membenarkan diri atas
kesalahan-kesalahan itu…
Dan, mari kita (terutama diriku) bersegera mengejar bentangan
maghfiroh itu… Sebelum segalanya berakhir… Sebelum kita menyesal pada
penyesalan panjang di mana segalanya tak lagi dapat kita kembalikan,
pada masa tak ada lagi tawar menawar…
(http://www.eramuslim.com/oase-iman/fathelvi-mudaris-pelajaran-kehidupan.htm)
Pelajaran Kehidupan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar: