Dalam salah satu tulisannya, Sayyid Qutb rahimahullah menulis sebagai berikut:
“Da'wah Islam yang dilakukan Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم hanyalah merupakan mata rantai terakhir dari serentetan da'wah, yang panjang, yang menyeru kepada Islam, yang dilakukan oleh serombongan para Rasul yang mulia ‘alaihimus-salaam. Sepanjang sejarah manusia, tujuan da'wah itu hanya satu saja. Yaitu: mengenalkan manusia kepada Ilah mereka yang satu, Ilah mereka yang sesungguhnya, menegaskan bahwa mereka adalah hamba Ilah mereka yang satu, dan menghilangkan ke-ilah-an makhluk.
Selain dari beberapa gelintir manusia pada saat-saat tertentu dalam sejarah, manusia tidak pernah mengingkari prinsip ketuhanan, atau menolak adanya Ilah sama sekali. Hanya mereka tersalah dalam mengenal hakekat Ilah mereka yang hak itu. Atau mereka perserikatkan Allah سبحانه و تعالى dengan suatu ilah yang lain, baik dalam bentuk kepercayaan atau peribadatan ( الاعتقاد و العبادة), maupun dalam bentuk kepenguasaan dan kepengikutan (الحاكمية و الإتباع ). Kedua bentuk ini adalah sama saja syiriknya, karena keduanya mengeluarkan manusia dari agama Allah سبحانه و تعالى , sebagaimana yang telah mereka kenal dari tangan setiap Rasul. Kemudian manusia itu mengingkari Rasul kalau masa telah berjalan agak lama. Manusia kembali kepada kejahiliyahan yang tadinya Rasul itu telah mengeluarkan mereka dari padanya. Manusia kembali mempersekutukan Allah سبحانه و تعالى sekali lagi.
Hal ini terjadi baik dalam kepercayaan dan peribadatan, baik dalam hal kepengikutan dan kepenguasaan, maupun dalam kedua hal itu sekaligus.” (Buku “Petunjuk Jalan” Sayyid Qutb- Media Da’wah- hlm 66)
Jelas sekali sebagaimana ditulis oleh Sayyid Qutb di atas bahwa Sepanjang sejarah manusia, tujuan da'wah itu hanya satu saja. Yaitu: mengenalkan manusia kepada Ilah mereka yang satu, Ilah mereka yang sesungguhnya, menegaskan bahwa mereka adalah hamba Ilah mereka yang satu, dan menghilangkan ke-ilah-an makhluk.
Tujuan da’wah seperti ditegaskan beliau di atas sangat sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an dimana Allah سبحانه و تعالى menegaskan bahwa para Nabi dan Rasul Allah semua menyerukan kaumnya masing-masing pesan abadi yang serupa:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu".(QS An-Nahl 36)
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata): "Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu, agar kamu tidak menyembah selain Allah.” (QS Hud 25-26)
“Dan kepada kaum Ad (Kami utus) saudara mereka, Hud. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Ilah selain Dia. Kamu hanyalah mengada-adakan saja.” (QS Hud 50)
Inilah pesan sepanjang zaman yang menjadi inti da’wah Islam. Yaitu mengajak setiap manusia untuk memfokuskan ibadah hanya kepada Allah سبحانه و تعالى seraya meninggalkan berbagai ilah atau thaghut yang merupakan musuh para Nabiyullah ‘alaihimussalam. Demikianlah yang diungkapkan Nabiyullah Ibrahim ‘alaihissalam kepada kaumnya:
“Ibrahim berkata: "Maka apakah kamu telah memperhatikan apa yang
selalu kamu sembah, kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu? Karena
sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Rabb
semesta alam.” (QS Asy-Syuara 75-77)
Selanjutnya Sayyid Qutb menulis: “Selain dari beberapa gelintir manusia pada saat-saat tertentu dalam sejarah, manusia tidak pernah mengingkari prinsip ketuhanan, atau menolak adanya Ilah sama sekali. Hanya mereka tersalah dalam mengenal hakekat Ilah mereka yang hak itu.” Menurutnya, manusia pada umumnya tidak mengingkari prinsip ketuhanan atau menolak adanya ilah sama sekali. Artinya, sekedar mengaku ber-ilah bukanlah hal yang istimewa, sebab pada umumnya manusia memang mengakui adanya ilah bagi mereka. Tetapi mereka sering tersalah di dalam mengenal, memahami dan memuliakan ilah yang hak itu.
Malah lebih lanjut beliau menulis: “Atau mereka perserikatkan Allah سبحانه و تعالى dengan suatu ilah yang lain, baik dalam bentuk kepercayaan atau peribadatan ( الاعتقاد و العبادة), maupun dalam bentuk kepenguasaan dan kepengikutan (الحاكمية و الإتباع ).” Sering pula terjadi bahwa manusia memperserikatkan Allah سبحانه و تعالى dengan suatu atau beberapa ilah lainnya. Artinya manusia menjadikan bersama Allah سبحانه و تعالى partner yang disetarakan, disejajarkan atau disandingkan dengan Allah سبحانه و تعالى Dzat yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji. Dzat yang tidak bisa diserupakan dengan apapun dan siapapun. Dzat yang menjadi tempat bergantung segenap makhluk di langit maupun di bumi dan semua yang ada di antara keduanya. Dan sialnya lagi, manusia menyekutukan Allah سبحانه و تعالى bukan saja dalam bentuk kepercayaan atau peribadatan ( الاعتقاد و العبادة), yang mana hal ini sudah sangat diketahui dan diwaspadai oleh banyak muslim sebagai suatu dosa besar yang tidak bakal bisa diampuni Allah سبحانه و تعالى.
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (QS An-Nisa 116)
Sudah relatif banyak muslim yang faham bahwa dalam hal keyakinan (di dalam hati) atau peribadatan (seperti sholat atau bersujud) dia mestilah mengesakan Allah سبحانه و تعالى semata. Allah سبحانه و تعالى tidak mereka dua-kan, tiga-kan atau lebih di dalam hatinya. Dia tahu itu adalah salah satu bentuk dosa tak terampuni, yakni syirik. Dia juga tahu bahwa jika dia ruku atau sujud di hadapan sesuatu atau seseorang selain Allah سبحانه و تعالى berarti itu merupakan bentuk dosa tak terampuni, yakni syirik. Setiap muslim –pada umumnya- sadar dan waspada untuk tidak mempartnerkan Allah سبحانه و تعالى dalam aspek keyakinan dan peribadatan. Ini sudah jelas.
Namun Sayyid Qutb kemudian memperingatkan kita bahwa dosa mempersekutukan Allah سبحانه و تعالى tidak hanya terjadi dalam aspek keyakinan dan peribadatan. Ia menulis: “...maupun dalam bentuk kepenguasaan dan kepengikutan (الحاكمية و الإتباع ).” Jadi, juga termasuk dosa tak terampuni –yakni syirik- bila seorang muslim men-dua-kan atau lebih Allah سبحانه و تعالى dalam aspek kepenguasaan dan kepengikutan. Artinya, bila ada seorang yang mengaku muslim tetapi ia rela atas kepenguasaan fihak selain Allah سبحانه و تعالى maka ia telah terlibat dalam salah satu bentuk dosa tak terampuni, yakni syirik. Begitu pula, bila ada seorang yang mengaku muslim namun rela menyerahkan kepengikutan atau ketaatannya kepada fihak selain Allah سبحانه و تعالى berarti ia telah terlibat dalam salah satu bentuk dosa tak terampuni, yakni syirik.
Sehingga di bagian lain tulisannya, Sayyid Qutb menulis: “Inilah bentuk da'wah yang menyeru kepada Allah sepanjang perputaran sejarah manusia. Tujuannya adalah "Islam". Atau penyerahan. Penyerahan hamba kepada Rabb hamba itu. Melarang mereka untuk menyembah hamba (manusia) yang lain dan menyuruh mereka untuk hanya menyembah Allah saja. Mengeluarkan manusia dari lingkaran kekuasaan hamba dan memasukkan mereka kepada lingkaran Allah dalam hal kepenguasaan, hukum, nilai dan tradisi. Dalam segala segi persoalan kehidupan. Tentang persoalan inilah Islam datang dengan perantaraan Muhammad صلى الله عليه و سلم . Sebagaimana dahulunya Islam telah datang di tangan para Rasul yang mulia Islam datang untuk mengembalikan manusia kepada penguasaan Allah.
Kekuasaan yang mengatur hidup manusia haruslah kekuasaan yang mengatur adanya manusia itu. Manusia tidak boleh menyeleweng dan mengadakan sistim sendiri, kekuasaan sendiri, kebijaksanaan sendiri, lain dari sistim, kekuasaan dan kebijaksanaan (Allah) Yang telah mengatur seluruh alam semesta. Dia (Allah) yang bahkan telah mengatur adanya manusia itu sendiri dalam kehidupan mereka yang di luar kehendak mereka. Manusia tunduk kepada undang-undang fitri yang telah dibuat Rabb dalam penciptaan dan pertumbuhan mereka, dalam sehat-sakitnya mereka, dan dalam hidup-matinya mereka. Sebagaimana halnya manusia itu harus tunduk kepada undang-undang ini dalam persatuan sosial mereka dan kepada akibat yang mereka derita sebagai hasil kebebasan gerakan mereka sendiri. Mereka tidak sanggup merubah sunnatullah dalam hal peraturan alam-semesta yang mengatur alam semesta ini dan tindak-tanduknya.” (Buku “Petunjuk Jalan” Sayyid Qutb- Media Da’wah- hlm 67)
Berdasarkan itu, maka sepatutnya setiap manusia memeluk dienullah Al-Islam, menerima syariat Allah سبحانه و تعالى dan tunduk kepada hukum Al-Qur’an bila ia ingin menjalani hidup yang selaras antara aspek fitri dirinya yang tunduk kepada sunnatullah aturan Allah سبحانه و تعالى yang berlaku di alam semesta, dengan aspek iradi (kehendak) yang membebaskan dirinya memilih antara menjadi mu’min taat atau kafir ingkar kepada Allah سبحانه و تعالى Rabb semesta alam. Bila ia memilih menjadi mu’min taat berarti ia bakal menjalani kehidupan yang selaras dan serasi dengan gerak alam dan gerak fisik dirinya. Bila ia memilih menjadi kafir yang ingkar kepada Allah سبحانه و تعالى , maka ia menjalani kehidupan yang kontradiktif dengan gerak fisik dirinya dan dengan gerak alam yang melingkupinya.
“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah
(Al-Islam), padahal kepada-Nya-lah “aslama” (berserah diri) segala apa
yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya
kepada Allahlah mereka dikembalikan.” (QS Ali Imran 83)
Oleh karena itu Sayyid Qutb selanjutnya menulis: “Tetapi faham jahiliyah yang berdasarkan berkuasanya manusia atas manusia, dan dengan begitu telah menyeleweng dari wujud adanya alam semesta dan bertentangan antara sistim segi iradi dan segi fitri dari kehidupan manusia, maka faham jahiliyah seperti inilah yang telah dihadapi oleh setiap Rasul yang menyeru kepada Islam, terhadap penyerahan diri kepada Allah saja. Faham ini pulalah yang telah dihadapi Rasulullah صلى الله عليه و سلم ketika beliau berda'wah.” (Buku “Petunjuk Jalan” Sayyid Qutb- Media Da’wah- hlm 67)
Kutipan paragraf buku Petunjuk Jalan di atas menegaskan bahwa setiap Rasul yang menyeru kepada Islam selalu berhadapan dengan “faham jahiliyah yang berdasarkan berkuasanya manusia atas manusia”. Setiap Nabi dan Rasul yang menyeru manusia agar hanya menghamba kepada Allah سبحانه و تعالى serta menjauhi segenap ilah dan thaghut senantiasa bertolak-belakang dengan seruan jahiliyah apapun yang pada intinya berdasarkan penghambaan manusia atas sesama manusia lainnya. Apapun nama seruan atau faham jahiliyah tersebut.
Oleh karena itu kita dapati dewasa ini kaum muslimin yang peduli menegakkan tauhid secara murni dan konsekuen tidak dapat menerima berbagai faham dan ideologi bikinan manusia, apapun nama dan bentuknya. Sebab setiap faham dan ideologi selain Islam pastilah bukan dari Allah سبحانه و تعالى , sehingga di dalamnya mesti mengandung keharusan mengakui berkuasanya manusia atas manusia lainnya. Misalnya faham demokrasi, di dalamnya ada segelintir orang yang diberikan wewenang serta kekuasaan untuk menetapkan hukum dan perundang-undangan agar diberlakukan dan wajib ditaati oleh sekian banyak manusia di luar mereka yang disebut rakyat kebanyakan. Padahal segelintir orang tersebut tidak menetapkan hukum dan perundang-undangan berlandasakan hukum tertinggi dan tanpa cacat, yakni hukum Allah سبحانه و تعالى . Mereka wajib dan hanya boleh menetapkan hukum dan perundang-undangan di dalam bingkai faham dan ideologi bikinan manusia yang disebut Konstitusi atau Nasionalisme.
Berarti sekian banyak manusia (baca: rakyat) tersebut diwajibkan mengakui kekuasaan segelintir manusia atas diri mereka semua. Inilah hakekat jahiliyah. Berarti segelintir manusia tadi telah memainkan peran sebagai Rabb selain Allah سبحانه و تعالى . Sebab di dalam Islam, hak menetapkan hukum, menetapkan mana yang halal dan mana yang haram hanyalah milik Allah سبحانه و تعالى .
“…menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah…” (QS. Al An’am 57)
Sedangkan rakyat kebanyakan tersebut berarti telah menyerahkan kekuasaan dan ketaatan mereka kepada fihak selain Allah سبحانه و تعالى . Dan itu berarti mereka telah memilih untuk meninggikan hukum selain hukum Allah سبحانه و تعالى . Padahal di dalam Al-Qur’an Allah سبحانه و تعالى hanya menawarkan dua pilihan saja dalam urusan berhukum. Yakni hukum Allah سبحانه و تعالى atau hukum jahiliyah.
“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al-Maidah 50)
Dan begitu rakyat menolak untuk mengutamakan hukum Allah سبحانه و تعالى alias menerima hukum jahiliyah, maka Allah سبحانه و تعالى segera memvonis mereka telah bertahkim kepada hukum thaghut, padahal orang-orang yang mengaku beriman telah diperintahkan oleh Allah سبحانه و تعالى untuk mengingkari thaghut, jangan hendaknya meninggikan, memuliakan apalagi meng-ilahkan thaghut...!
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS An-Nisa 60)
Kemudian yang membuat kita menjadi sangat prihatin melihat keadaan ini ialah karena Sayyid Qutb menyatakan: “Selain dari beberapa gelintir manusia pada saat-saat tertentu dalam sejarah, manusia tidak pernah mengingkari prinsip ketuhanan, atau menolak adanya Ilah sama sekali. Hanya mereka tersalah dalam mengenal hakekat Ilah mereka yang hak itu. Atau mereka perserikatkan Allah سبحانه و تعالى dengan suatu ilah yang lain, baik dalam bentuk kepercayaan atau peribadatan ( الاعتقاد و العبادة), maupun dalam bentuk kepenguasaan dan kepengikutan (الحاكمية و الإتباع ). Kedua bentuk ini adalah sama saja syiriknya, karena keduanya mengeluarkan manusia dari agama Allah سبحانه و تعالى , sebagaimana yang telah mereka kenal dari tangan setiap Rasul.” (Buku “Petunjuk Jalan” Sayyid Qutb- Media Da’wah- hlm 66)
Baik seseorang mempersekutukan Allah سبحانه و تعالى dalam bentuk kepercayaan dan peribadatan maupun dalam bentuk kepenguasaan dan kepengikutan, maka kedua bentuk ini adalah sama saja syiriknya.
Na’udzubillahi mindzaalika...!
Ya Allah, jadikanlah kami sebagaimana para pemuda Kahfi yang menyerukan dan istiqomah dengan seruan lantang kalimat al-haq sebagai berikut:
"Rabb kami adalah Rabb langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru ilah selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran".(QS Al-Kahfi 14)
(http://www.eramuslim.com/suara-langit/penetrasi-ideologi/da-wah-penghambaan-kepada-allah-semata-dan-menjauhi-semua-thaghut.htm)
“Da'wah Islam yang dilakukan Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم hanyalah merupakan mata rantai terakhir dari serentetan da'wah, yang panjang, yang menyeru kepada Islam, yang dilakukan oleh serombongan para Rasul yang mulia ‘alaihimus-salaam. Sepanjang sejarah manusia, tujuan da'wah itu hanya satu saja. Yaitu: mengenalkan manusia kepada Ilah mereka yang satu, Ilah mereka yang sesungguhnya, menegaskan bahwa mereka adalah hamba Ilah mereka yang satu, dan menghilangkan ke-ilah-an makhluk.
Selain dari beberapa gelintir manusia pada saat-saat tertentu dalam sejarah, manusia tidak pernah mengingkari prinsip ketuhanan, atau menolak adanya Ilah sama sekali. Hanya mereka tersalah dalam mengenal hakekat Ilah mereka yang hak itu. Atau mereka perserikatkan Allah سبحانه و تعالى dengan suatu ilah yang lain, baik dalam bentuk kepercayaan atau peribadatan ( الاعتقاد و العبادة), maupun dalam bentuk kepenguasaan dan kepengikutan (الحاكمية و الإتباع ). Kedua bentuk ini adalah sama saja syiriknya, karena keduanya mengeluarkan manusia dari agama Allah سبحانه و تعالى , sebagaimana yang telah mereka kenal dari tangan setiap Rasul. Kemudian manusia itu mengingkari Rasul kalau masa telah berjalan agak lama. Manusia kembali kepada kejahiliyahan yang tadinya Rasul itu telah mengeluarkan mereka dari padanya. Manusia kembali mempersekutukan Allah سبحانه و تعالى sekali lagi.
Hal ini terjadi baik dalam kepercayaan dan peribadatan, baik dalam hal kepengikutan dan kepenguasaan, maupun dalam kedua hal itu sekaligus.” (Buku “Petunjuk Jalan” Sayyid Qutb- Media Da’wah- hlm 66)
Jelas sekali sebagaimana ditulis oleh Sayyid Qutb di atas bahwa Sepanjang sejarah manusia, tujuan da'wah itu hanya satu saja. Yaitu: mengenalkan manusia kepada Ilah mereka yang satu, Ilah mereka yang sesungguhnya, menegaskan bahwa mereka adalah hamba Ilah mereka yang satu, dan menghilangkan ke-ilah-an makhluk.
Tujuan da’wah seperti ditegaskan beliau di atas sangat sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an dimana Allah سبحانه و تعالى menegaskan bahwa para Nabi dan Rasul Allah semua menyerukan kaumnya masing-masing pesan abadi yang serupa:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu".(QS An-Nahl 36)
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ إِنِّي لَكُمْ نَذِيرٌ مُبِينٌ أَنْ لا تَعْبُدُوا إِلا اللَّهَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata): "Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu, agar kamu tidak menyembah selain Allah.” (QS Hud 25-26)
وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ إِنْ أَنْتُمْ إِلا مُفْتَرُونَ
“Dan kepada kaum Ad (Kami utus) saudara mereka, Hud. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Ilah selain Dia. Kamu hanyalah mengada-adakan saja.” (QS Hud 50)
Inilah pesan sepanjang zaman yang menjadi inti da’wah Islam. Yaitu mengajak setiap manusia untuk memfokuskan ibadah hanya kepada Allah سبحانه و تعالى seraya meninggalkan berbagai ilah atau thaghut yang merupakan musuh para Nabiyullah ‘alaihimussalam. Demikianlah yang diungkapkan Nabiyullah Ibrahim ‘alaihissalam kepada kaumnya:
قَالَ أَفَرَأَيْتُمْ مَا كُنْتُمْ تَعْبُدُونَ
أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمُ الأقْدَمُونَ فَإِنَّهُمْ عَدُوٌّ لِي إِلا رَبَّ
الْعَالَمِينَ
Selanjutnya Sayyid Qutb menulis: “Selain dari beberapa gelintir manusia pada saat-saat tertentu dalam sejarah, manusia tidak pernah mengingkari prinsip ketuhanan, atau menolak adanya Ilah sama sekali. Hanya mereka tersalah dalam mengenal hakekat Ilah mereka yang hak itu.” Menurutnya, manusia pada umumnya tidak mengingkari prinsip ketuhanan atau menolak adanya ilah sama sekali. Artinya, sekedar mengaku ber-ilah bukanlah hal yang istimewa, sebab pada umumnya manusia memang mengakui adanya ilah bagi mereka. Tetapi mereka sering tersalah di dalam mengenal, memahami dan memuliakan ilah yang hak itu.
Malah lebih lanjut beliau menulis: “Atau mereka perserikatkan Allah سبحانه و تعالى dengan suatu ilah yang lain, baik dalam bentuk kepercayaan atau peribadatan ( الاعتقاد و العبادة), maupun dalam bentuk kepenguasaan dan kepengikutan (الحاكمية و الإتباع ).” Sering pula terjadi bahwa manusia memperserikatkan Allah سبحانه و تعالى dengan suatu atau beberapa ilah lainnya. Artinya manusia menjadikan bersama Allah سبحانه و تعالى partner yang disetarakan, disejajarkan atau disandingkan dengan Allah سبحانه و تعالى Dzat yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji. Dzat yang tidak bisa diserupakan dengan apapun dan siapapun. Dzat yang menjadi tempat bergantung segenap makhluk di langit maupun di bumi dan semua yang ada di antara keduanya. Dan sialnya lagi, manusia menyekutukan Allah سبحانه و تعالى bukan saja dalam bentuk kepercayaan atau peribadatan ( الاعتقاد و العبادة), yang mana hal ini sudah sangat diketahui dan diwaspadai oleh banyak muslim sebagai suatu dosa besar yang tidak bakal bisa diampuni Allah سبحانه و تعالى.
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ
لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا بَعِيدًا
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (QS An-Nisa 116)
Sudah relatif banyak muslim yang faham bahwa dalam hal keyakinan (di dalam hati) atau peribadatan (seperti sholat atau bersujud) dia mestilah mengesakan Allah سبحانه و تعالى semata. Allah سبحانه و تعالى tidak mereka dua-kan, tiga-kan atau lebih di dalam hatinya. Dia tahu itu adalah salah satu bentuk dosa tak terampuni, yakni syirik. Dia juga tahu bahwa jika dia ruku atau sujud di hadapan sesuatu atau seseorang selain Allah سبحانه و تعالى berarti itu merupakan bentuk dosa tak terampuni, yakni syirik. Setiap muslim –pada umumnya- sadar dan waspada untuk tidak mempartnerkan Allah سبحانه و تعالى dalam aspek keyakinan dan peribadatan. Ini sudah jelas.
Namun Sayyid Qutb kemudian memperingatkan kita bahwa dosa mempersekutukan Allah سبحانه و تعالى tidak hanya terjadi dalam aspek keyakinan dan peribadatan. Ia menulis: “...maupun dalam bentuk kepenguasaan dan kepengikutan (الحاكمية و الإتباع ).” Jadi, juga termasuk dosa tak terampuni –yakni syirik- bila seorang muslim men-dua-kan atau lebih Allah سبحانه و تعالى dalam aspek kepenguasaan dan kepengikutan. Artinya, bila ada seorang yang mengaku muslim tetapi ia rela atas kepenguasaan fihak selain Allah سبحانه و تعالى maka ia telah terlibat dalam salah satu bentuk dosa tak terampuni, yakni syirik. Begitu pula, bila ada seorang yang mengaku muslim namun rela menyerahkan kepengikutan atau ketaatannya kepada fihak selain Allah سبحانه و تعالى berarti ia telah terlibat dalam salah satu bentuk dosa tak terampuni, yakni syirik.
Sehingga di bagian lain tulisannya, Sayyid Qutb menulis: “Inilah bentuk da'wah yang menyeru kepada Allah sepanjang perputaran sejarah manusia. Tujuannya adalah "Islam". Atau penyerahan. Penyerahan hamba kepada Rabb hamba itu. Melarang mereka untuk menyembah hamba (manusia) yang lain dan menyuruh mereka untuk hanya menyembah Allah saja. Mengeluarkan manusia dari lingkaran kekuasaan hamba dan memasukkan mereka kepada lingkaran Allah dalam hal kepenguasaan, hukum, nilai dan tradisi. Dalam segala segi persoalan kehidupan. Tentang persoalan inilah Islam datang dengan perantaraan Muhammad صلى الله عليه و سلم . Sebagaimana dahulunya Islam telah datang di tangan para Rasul yang mulia Islam datang untuk mengembalikan manusia kepada penguasaan Allah.
Kekuasaan yang mengatur hidup manusia haruslah kekuasaan yang mengatur adanya manusia itu. Manusia tidak boleh menyeleweng dan mengadakan sistim sendiri, kekuasaan sendiri, kebijaksanaan sendiri, lain dari sistim, kekuasaan dan kebijaksanaan (Allah) Yang telah mengatur seluruh alam semesta. Dia (Allah) yang bahkan telah mengatur adanya manusia itu sendiri dalam kehidupan mereka yang di luar kehendak mereka. Manusia tunduk kepada undang-undang fitri yang telah dibuat Rabb dalam penciptaan dan pertumbuhan mereka, dalam sehat-sakitnya mereka, dan dalam hidup-matinya mereka. Sebagaimana halnya manusia itu harus tunduk kepada undang-undang ini dalam persatuan sosial mereka dan kepada akibat yang mereka derita sebagai hasil kebebasan gerakan mereka sendiri. Mereka tidak sanggup merubah sunnatullah dalam hal peraturan alam-semesta yang mengatur alam semesta ini dan tindak-tanduknya.” (Buku “Petunjuk Jalan” Sayyid Qutb- Media Da’wah- hlm 67)
Berdasarkan itu, maka sepatutnya setiap manusia memeluk dienullah Al-Islam, menerima syariat Allah سبحانه و تعالى dan tunduk kepada hukum Al-Qur’an bila ia ingin menjalani hidup yang selaras antara aspek fitri dirinya yang tunduk kepada sunnatullah aturan Allah سبحانه و تعالى yang berlaku di alam semesta, dengan aspek iradi (kehendak) yang membebaskan dirinya memilih antara menjadi mu’min taat atau kafir ingkar kepada Allah سبحانه و تعالى Rabb semesta alam. Bila ia memilih menjadi mu’min taat berarti ia bakal menjalani kehidupan yang selaras dan serasi dengan gerak alam dan gerak fisik dirinya. Bila ia memilih menjadi kafir yang ingkar kepada Allah سبحانه و تعالى , maka ia menjalani kehidupan yang kontradiktif dengan gerak fisik dirinya dan dengan gerak alam yang melingkupinya.
أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ
Oleh karena itu Sayyid Qutb selanjutnya menulis: “Tetapi faham jahiliyah yang berdasarkan berkuasanya manusia atas manusia, dan dengan begitu telah menyeleweng dari wujud adanya alam semesta dan bertentangan antara sistim segi iradi dan segi fitri dari kehidupan manusia, maka faham jahiliyah seperti inilah yang telah dihadapi oleh setiap Rasul yang menyeru kepada Islam, terhadap penyerahan diri kepada Allah saja. Faham ini pulalah yang telah dihadapi Rasulullah صلى الله عليه و سلم ketika beliau berda'wah.” (Buku “Petunjuk Jalan” Sayyid Qutb- Media Da’wah- hlm 67)
Kutipan paragraf buku Petunjuk Jalan di atas menegaskan bahwa setiap Rasul yang menyeru kepada Islam selalu berhadapan dengan “faham jahiliyah yang berdasarkan berkuasanya manusia atas manusia”. Setiap Nabi dan Rasul yang menyeru manusia agar hanya menghamba kepada Allah سبحانه و تعالى serta menjauhi segenap ilah dan thaghut senantiasa bertolak-belakang dengan seruan jahiliyah apapun yang pada intinya berdasarkan penghambaan manusia atas sesama manusia lainnya. Apapun nama seruan atau faham jahiliyah tersebut.
Oleh karena itu kita dapati dewasa ini kaum muslimin yang peduli menegakkan tauhid secara murni dan konsekuen tidak dapat menerima berbagai faham dan ideologi bikinan manusia, apapun nama dan bentuknya. Sebab setiap faham dan ideologi selain Islam pastilah bukan dari Allah سبحانه و تعالى , sehingga di dalamnya mesti mengandung keharusan mengakui berkuasanya manusia atas manusia lainnya. Misalnya faham demokrasi, di dalamnya ada segelintir orang yang diberikan wewenang serta kekuasaan untuk menetapkan hukum dan perundang-undangan agar diberlakukan dan wajib ditaati oleh sekian banyak manusia di luar mereka yang disebut rakyat kebanyakan. Padahal segelintir orang tersebut tidak menetapkan hukum dan perundang-undangan berlandasakan hukum tertinggi dan tanpa cacat, yakni hukum Allah سبحانه و تعالى . Mereka wajib dan hanya boleh menetapkan hukum dan perundang-undangan di dalam bingkai faham dan ideologi bikinan manusia yang disebut Konstitusi atau Nasionalisme.
Berarti sekian banyak manusia (baca: rakyat) tersebut diwajibkan mengakui kekuasaan segelintir manusia atas diri mereka semua. Inilah hakekat jahiliyah. Berarti segelintir manusia tadi telah memainkan peran sebagai Rabb selain Allah سبحانه و تعالى . Sebab di dalam Islam, hak menetapkan hukum, menetapkan mana yang halal dan mana yang haram hanyalah milik Allah سبحانه و تعالى .
إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ
“…menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah…” (QS. Al An’am 57)
Sedangkan rakyat kebanyakan tersebut berarti telah menyerahkan kekuasaan dan ketaatan mereka kepada fihak selain Allah سبحانه و تعالى . Dan itu berarti mereka telah memilih untuk meninggikan hukum selain hukum Allah سبحانه و تعالى . Padahal di dalam Al-Qur’an Allah سبحانه و تعالى hanya menawarkan dua pilihan saja dalam urusan berhukum. Yakni hukum Allah سبحانه و تعالى atau hukum jahiliyah.
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al-Maidah 50)
Dan begitu rakyat menolak untuk mengutamakan hukum Allah سبحانه و تعالى alias menerima hukum jahiliyah, maka Allah سبحانه و تعالى segera memvonis mereka telah bertahkim kepada hukum thaghut, padahal orang-orang yang mengaku beriman telah diperintahkan oleh Allah سبحانه و تعالى untuk mengingkari thaghut, jangan hendaknya meninggikan, memuliakan apalagi meng-ilahkan thaghut...!
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ
يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلالا بَعِيدًا
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS An-Nisa 60)
Kemudian yang membuat kita menjadi sangat prihatin melihat keadaan ini ialah karena Sayyid Qutb menyatakan: “Selain dari beberapa gelintir manusia pada saat-saat tertentu dalam sejarah, manusia tidak pernah mengingkari prinsip ketuhanan, atau menolak adanya Ilah sama sekali. Hanya mereka tersalah dalam mengenal hakekat Ilah mereka yang hak itu. Atau mereka perserikatkan Allah سبحانه و تعالى dengan suatu ilah yang lain, baik dalam bentuk kepercayaan atau peribadatan ( الاعتقاد و العبادة), maupun dalam bentuk kepenguasaan dan kepengikutan (الحاكمية و الإتباع ). Kedua bentuk ini adalah sama saja syiriknya, karena keduanya mengeluarkan manusia dari agama Allah سبحانه و تعالى , sebagaimana yang telah mereka kenal dari tangan setiap Rasul.” (Buku “Petunjuk Jalan” Sayyid Qutb- Media Da’wah- hlm 66)
Baik seseorang mempersekutukan Allah سبحانه و تعالى dalam bentuk kepercayaan dan peribadatan maupun dalam bentuk kepenguasaan dan kepengikutan, maka kedua bentuk ini adalah sama saja syiriknya.
Na’udzubillahi mindzaalika...!
Ya Allah, jadikanlah kami sebagaimana para pemuda Kahfi yang menyerukan dan istiqomah dengan seruan lantang kalimat al-haq sebagai berikut:
رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ لَنْ نَدْعُوَ مِنْ دُونِهِ إِلَهًا لَقَدْ قُلْنَا إِذًا شَطَطًا
"Rabb kami adalah Rabb langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru ilah selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran".(QS Al-Kahfi 14)
(http://www.eramuslim.com/suara-langit/penetrasi-ideologi/da-wah-penghambaan-kepada-allah-semata-dan-menjauhi-semua-thaghut.htm)
0 komentar: