Laki-laki itu berkata, “Aku bersaksi kepadamu
wahai Abdul Wahid, sesungguhnya aku telah menjual jiwa dan hartaku dengan
harapan aku memperoleh Surga.”
Aku menjawab, “Sesungguhnya ketajaman pedang itu
melebihi segala-galanya. Dan engkau sajalah orang yang aku sukai, aku khawatir
manakala engkau tidak mampu bersabar dan tidak mendapatkan keuntungan dari
perdagangan ini.”
Laki-laki itu berkata, “Wahai Abdul Wahid, aku
telah berjual beli kepada Allah dengan harapan mendapat Surga, mana mungkin
jual beli yang aku persaksikan kepadamu itu akan melemah.”
Dia berkata, “Nampaknya aku memprihatinkan
kemampuan kami semua, …kalau orang kesayanganku saja mampu berbuat, apakah kami
tidak?” Kemudian lelaki itu menginfakkan seluruh hartanya di jalan Allah
kecuali seekor kuda, senjata dan sekedar bekal untuk perang. Ketika kami telah
berada di medan perang dialah laki-laki pertama kali yang tiba di tempat
tersebut.
Dia berkata, “Assalamu ’alaika wahai Abdul
Wahid,”
Aku menjawab, “Wa’alaikumussalam warahmatullah wa
barakatuh, alangkah beruntungnya perniagaan ini.”
Kemudian kami berangkat menuju medan perang,
lelaki tersebut senantiasa berpuasa di siang hari dan qiyamullail pada malam
harinya melayani kami dan menggembalakan hewan ternak kami serta menjaga kami
ketika kami tidur, sampai kami tiba di wilayah Romawi.
Ketika kami sedang duduk-duduk pada suatu hari,
tiba-tiba dia datang sambil berkata, “Betapa rindunya aku kepada bidadari
bermata jeli.”
Kawan-kawanku berkata, “Sepertinya laki-laki itu
sudah mulai linglung.”
Dia mendekati kami lalu berkata, “Wahai Abdul
Wahid, aku sudah tidak sabar lagi, aku sangat rindu pada bidadari bermata
jeli.”
Aku bertanya, “Wahai saudaraku, siapa yang kamu
maksud dengan bidadari bermata jeli itu.”
Laki-laki itu menjawab, “Ketika itu aku sedang
tidur, tiba-tiba aku bermimpi ada seseorang datang menemuiku, dia berkata,
‘Pergilah kamu menemui bidadari bermata jeli.’ Seseorang dalam mimpiku itu
mendorongku untuk menuju sebuah taman di pinggir sebuah sungai yang berair
jernih. Di taman itu ada beberapa pelayan cantik memakai perhiasan sangat indah
sampai-sampai aku tidak mampu mengungkapkan keindahannya.
Ketika para pelayan cantik itu melihatku, mereka
memberi kabar gembira sambil berkata, ‘Demi Allah, suami bidadari ber-mata jeli
itu telah tiba.’ Kemudian aku berkata, ‘Assalamu ‘alaikunna, apakah di antara
kalian ada bidadari bermata jeli?’ Pelayan cantik itu menjawab, ‘Tidak, kami
sekedar pelayan dan pembantu bidadari bermata jeli. Silahkan terus!’
Aku pun meneruskan maju mengikuti perintahnya,
aku tiba di sebuah sungai yang mengalir air susu, tidak berubah warna dan
rasanya, berada di sebuah taman dengan berbagai perhiasan. Di dalamnya juga
terdapat pelayan bidadari cantik dengan mengenakan berbagai perhiasan. Begitu
aku melihat mereka aku terpesona. Ketika mereka melihatku mereka memberi kabar
gembira dan berkata kepadaku, ‘Demi Allah telah datang suami bidadari bermata
jeli.’ Aku bertanya, ‘Assalamualaikunna, apakah di antara kalian ada bidadari
bermata jeli?’ Mereka menjawab, Waalaikassalam wahai waliyullah, kami ini
sekedar budak dan pelayan bidadari bermata jeli, silahkan terus.’
Aku pun meneruskan maju, ternyata aku berada di
sebuah sungai khamr berada di pinggir lembah, di sana terdapat
bidadari-bidadari sangat cantik yang membuat aku lupa dengan kecantikan
bidadari-bidadari yang telah aku lewati sebelumnya. Aku berkata, ‘Assalamu
alaikunna, apakah di antara kalian ada bidadari bermata jeli?’ Mereka menjawab,
‘Tidak, kami sekedar pembantu dan pelayan bidadari bermata jeli, silahkan maju
ke depan.’
Aku berjalan maju, aku tiba di sebuah sungai yang
mengalirkan madu asli di sebuah taman dengan bidadari-bidadari sangat cantik
berkilauan wajahnya dan sangat jelita, membuat aku lupa dengan kecantikan para
bidadari sebelumnya. Aku bertanya, ‘Assalamu alaikunna, apakah di antara kalian
ada bidadari bermata jeli?’ Mereka menjawab, ‘Wahai waliyurrahman, kami ini
pembantu dan pelayan bidadari jelita, silahkan maju lagi.’
Aku berjalan maju mengikuti perintahnya, aku tiba
di se-buah tenda terbuat dari mutiara yang dilubangi, di depan tenda terdapat
seorang bidadari cantik dengan memakai pakaian dan perhiasan yang aku sendiri
tidak mampu mengungkapka keindahannya. Begitu bidadari itu melihatku dia
memberi kabar gembira kepadaku dan memanggil dari arah tenda, ‘Wahai bidadari
bermata jeli, suamimu datang!’
Kemudian aku mendekati kemah tersebut lalu masuk.
Aku mendapati bidadari itu duduk di atas ranjang yang terbuat dari emas,
bertahta intan dan berlian. Begitu aku melihatnya aku terpesona sementara itu
dia menyambutku dengan berkata, ‘Selamat datang waliyurrahman, telah hampir
tiba waktu kita bertemu.’ Aku pun maju untuk memeluknya, tiba-tiba ia berkata,
‘Sebentar, belum saatnya engkau memelukku karena dalam tubuhmu masih ada ruh
kehidupan. Tenanglah, engkau akan berbuka puasa bersamaku di kediamanku, insya
Allah. ‘
Seketika itu aku bangun dari tidurku wahai Abdul
Wahid. Kini aku sudah tidak bersabar lagi, ingin bertemu dengan bida-dari
bermata jeli itu.”
Abdul Wahid menuturkan, “Belum lagi pembicaraan
kami (cerita tentang mimpi) selesai, kami mendengar pasukan musuh telah mulai
menyerang kami, maka kami pun bergegas meng-angkat senjata begitu juga lelaki
itu.
Setelah peperangan berakhir, kami menghitung
jumlah para korban, kami menemukan 9 orang musuh tewas dibunuh oleh lelaki itu,
dan ia adalah orang ke sepuluh yang terbunuh. Ketika aku melintas di dekat
jenazahnya, kulihat tubuhnya berlumuran darah sementara bibirnya mengembang
sebuah senyum, yang mengantarkan pada akhir hidupnya.” (Tanbihul Ghafilin, 395)
(http://situslakalaka.blogspot.com/2011/11/bidadari-nan-bermata-jeli-dan-kerinduan.html)
0 komentar: