“Jadi orang beriman itu keren nak”
Demikian kira-kira perkataanku kepada anak-anakku yang beranjak
remaja. Aku ingin mengajarkan kepada mereka bahwa menjadi orang beriman
itu berarti menjadi orang unggulan. Menjadi orang yang menunggangi ombak
peradaban. Namun mengajarkan hal itu tidaklah mesti di ruang-ruang
kelas, formal, dan melulu teori. Banyak cara untuk melakukannya.
Alhamdulillah, aku berkesempatan membuktikan kata-kata tersebut.
Berulang kali malah. Salah satu kesempatan muncul saat libur lebaran
kemarin.
Salah satu tempat yang kami kunjungi saat lebaran adalah danau kecil
di pinggiran kota Bogor. Danau tersebut berada di salah satu kompleks
yang teramat luas. Menyempit dan melebar secara alami, menambah keelokan
danau dan sekitarnya. Di pinggiran ada taman yang ditanami rerumputan
yang menghijau, lengkap dengan jalan setapak. Jalan itu jelas diniatkan
agar dapat disusuri oleh siapa saja, yang ingin berjalan santai sambil
menikmati panorama danau. Ada pula pepohonan yang tumbuh rimbun,
memberikan kesempatan kepada siapa saja yang ingin berteduh di bawahnya.
Mungkin sambil ngemil, atau sambil membaca buku, atau sambil berdzikir.
Di seberang, terlihat deretan pepohonan yang menghijau, rapat, dan selalu ditingkahi suara burung yang bersenandung bebas.
Tempat yang begitu indah, yang bisa dikunjungi tanpa uang masuk,
tentu memancing banyak orang untuk datang. Dan memang hari itu cukup
ramai orang berkunjung. Keramaian ini juga membuat banyaknya pedagang
berdatangan. Dan disinilah ‘masalah’ mulai muncul.
Keindahan danau dan sekitarnya sayangnya tidak diimbangi dengan
keelokan prilaku sebagaian pengunjung. Tengoklah ulah mereka. Berbagai
sampah bertebaran begitu saja. Padahal tempat sampah mudah dijangkau.
Sampah bekas makanan, kaleng-kaleng bekas minuman, plastik, kertas,
puntung rokok, bertebaran di seantero taman pinggir danau.
Di pojok sana, seorang anak kecil dengan tenang pipis di bawah pohon. Entah kemana orang tuanya.
Pengendara motor lalu lalang di jalur yang seharusnya untuk pejalan
kaki. Yang lainnya memarkir motor di rerumputan. Lainnya lagi
men-starter motornya dengan keras, tanpa peduli ada orang di belakangnya
yang sedang makan.
Orang merokok tanpa peduli apakah asapnya mengganggu orang lain atau tidak.
Sambil berjalan santai bersama salah satu anakku, kutanyakan padanya
tentang hadist kebersihan, sambil memandangi prilaku orang-orang di
sekitar kami. Tentu saja ia ingat. Semua anak yang pernah mengaji tentu
ingat bahwa kebersihan adalah sebagian dari keimanan.
Inilah salah satu kesempatan untuk melihat salah satu ekspresi
keimanan. Inilah salah cara kami belajar. Dengan santai, kukatakan bahwa
bersih adalah salah satu indikator keimanan. Bahkan salah satu
indikator yang mungkin paling mudah terlihat.
Islam mengajarkan kita berwudlu sebelum sholat. Itu artinya fisik
kita harus bersih sebelum sholat. Pakaian kita juga harus bersih, bahkan
kalau bisa wangi, seperti nabi anjurkan. Tempat sholat harus bersih,
tempat wudlunya juga. Itu artinya kamar atau musholla haruslah bersih.
Dan itu semua seharusnya mewarnai gaya hidup kita sehari-hari. Artinya,
jika seseorang serius dalam beriman, seharusnya keindahan akan memancar
dari dirinya. Keindahan yang merupakan perpaduan dari kebersihan,
kerapihan, dan ketertataan.
Maka, jika sebaliknya yang tampak, yaitu berantakan, kotor, dan
semaunya sendiri, sesungguhnya semua itu adalah indikasi yang jelas
bahwa ada cacat pada keimanan seseorang. Maka jika hal itu menimpa suatu
komunitas atau masyarakat, dapat dikatakan secara kolektif ada yang
cacat pada ekspresi keimanan masyarakat tersebut.
Apakah karena sebagian besar yang datang ke danau ini adalah warga
kampung sekitar yang relatif kurang berada? Saya kira tidak. Tengoklah
itu. Sebuah mobil mewah melintas. Pengendaranya membuka kaca jendela,
dan melempar bungkus entah apa ke pinggir jalan. Begitu saja. Orang kaya
dan berpenampilan mewah tidak dengan sendirinya menjadi lebih beradab.
Sebaliknya, orang yang terbatas rizkinya juga tidak dengan sendirinya
menjadi kurang beradab.
Apakah karena tempat ini tidak dikelola dengan baik? Mungkin saja.
Namun, jika kesadaran masyarakatnya —baca: tingkat keimanan— sudah
tinggi, kiranya masalah ini tidak perlu ada. Jika masing-masing individu
bertanggung jawab terhadap kebersihan masing-masing, masalah ini dengan
sendirinya selesai.
Kenapa bisa begitu ya? Kan mereka juga Muslim? Tanya anak-anakku.
Lalu, apa yang seharusnya kita lakukan? Demikian lanjutan bunyi pertanyaan mereka.
Soal mengapa mereka begini dan begitu, bisa banyak teori yang
dikemukakan. Walaupun dengan sederhana dapat dikatakan bahwa ada yang
gagal, atau salah, dalam pendidikan keislaman dan keimanan sebagian
besar umat Islam. Namun pembahasan itu semua tidak ada artinya jika
kemudian kita termasuk bagian dari masalah itu sendiri.
Jadi, yang utama dan pertama, tentu saja, kita jangan menambah
masalah dengan ikut-ikutan menambah kekotoran. Meski tempat ini sudah
kadung kotor, bukan alasan bagi kita untuk membuang sampah seenaknya.
Jadi, dengan cermat, sampah yang kami hasilkan kami kumpulkan, dan kami buang ke tempat yang tersedia.
Meski pun apa yang kami lakukan, yaitu dengan menjaga kebersihan,
tidak dengan serta merta membuat lingkungan danau seketika menjadi
bersih, setidaknya kebersihan dalam hati kami tetap terpelihara. Kami
meniatkan memelihara kebersihan di hati, sebagai bagian dari memelihara
keimanan kami. Sebab sejatinya, urusan ini adalah urusan antara kami dan
Rabb kami.
(http://www.eramuslim.com/oase-iman/sabrul-jamil-beriman-itu-keren.htm)
Beriman itu Keren
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar: