Aku
adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Masa kecil ku bisa dibilang
masa yang paling indah sepanjang sejarah hidupku. Namun, beranjak
remaja, aku merasakan dunia berputar 180 derajat. Ini bukan soal harta
atau kesejahteraan hidup, tetapi kesejahteraan hati.
Hal
apa yang paling dinanti oleh semua perempuan saat mereka memasuki masa
remaja? Mereka pasti menginginkan penampilan yang makin lama makin
cantik, kulit yang makin mulus, dan bisa percaya diri berdiri di depan
orang banyak. Dan aku? Merasa sangat tidak mempunyai itu semua.
Sewaktu
aku beranjak dewasa, aku bahkan terkena penyakit gatal gatal. Mungkin
kedengarannya sangat remeh. Cuma gatal gatal?? Itu bikin kamu nggak bisa
menikmati masa remaja? Iya. Karena selama bertahun tahun aku menderita
gatal gatal karena memang kulitku sangat senditif. Bahkan, sesaat
setelah aku melonjorkan kakiku di atas rumput depan sekolah, kaki bagian
belakang yang menyentuh rumputpun langsung memerah dan gatal tak
terperi.
Sewaktu
SD, aku dijuluki Kodok Brontok. Semua kompak memanggilku dengan sebutan
itu, terlebih lebih kalau mereka memang tidak menyukaiku. Takut
ketularan. Padahal penyakit ini hanya bersumber pada kulitku yang
kelewat sensitif. Selama bertahun tahun orang tua ku telah mengupayakan
segala jenis pengobatan. Mulai dari mengunjungi dokter kulit yang masih
sangat aku ingat saat aku masih memakai seragam merah putih, sang
dokter berkata “Ya yang penting nggak digigit nyamuk aja Bu.”
Kenyataannya, tidak digigit nyamuk pun terkadang bentol bentol tak
karuan, dan sekali digigit nyamuk gatalnya tak mau ilang. Tersiksa.
Aku
mencoba pengobatan memakai minyak penyu yang baunya seakan mengaduk
aduk isi perut, sampai aku harus memakan daging ular yang katanya bisa
menyembuhkan penyakit kulit. Tapi semuanya sia sia. Kehidupanku terasa
sangat sulit dan aku hampir ingin mati saja (mungkin terdengar lebay,
tetapi memang sangat tersiksa tumbuh remaja sebagai gadis yang buruk
rupa).
Saat
kelas 1 SMP aku harus mengikuti pramuka dan di salah satu acaranya ada
semacam petualangan alam dan juga mengharuskan para anggota pramuka
seperti melintas sungai dan juga berbasah basahan di sana. Tidak aku
duga sebelumnya kalau beberapa hari setelah acara itu, kulitku semakin
parah saja. Kini bukan hanya gatal seperti biasa, tetapi muncul banyak
bentolan berisi nanah sebesar dua kali besar jagung normal, berceceran
di beberapa bagian kulit dan aku harus memakai perban setiap hari untuk
menutupi lukaku, biar mereka tidak jijik terhadapku. Bahkan, aku saja
jijik terhadap diri sendiri.
Setiap
hari aku selalu memakai jaket untuk menutupi tanganku, tidak pernah
berani memakai kaos pendek, rendah diri seakan memenjarakanku,
menyiksaku setengah mati.Karena gatal ini juga aku memutuskan untuk
keluar dari ekskul menari yang sudah aku idam idamkan sejak aku mash
kecil. Aku memang suka menari, tetapi tidak dengan perban dimana mana.
Bahkan, aku harus memakai kaos kaki super panjang sampai dengkul untuk
menutupi semua perban yang sangat mengganggu hidupku. Untuk berjalan
pun rasanya sakit sekali karena menekan titik gatal yang terletak di
persendian kaki. Walau pun beberapa bulan kemudian gatalku sembuh tetapi
bekas berceceran dimana mana. Aku hitam legam. Tak ada yang menyukaiku.
Saat
itu fase labil pastilah muncul dan aku semakin tenggelam dalam
ketidakpercayaan diriku. Aku minder setengah mati. Aku yang semula ikut
semacam petugas upacara, langsung mengundurkan diri. Aku yang selangkah
lagi menuju semacam kakak senior Pramuka mengundurkan diri juga. Rasanya
ingin lenyap ditelan bumi saja. Aku tak bisa menyembunyikan segala
minder yang terus bersarang di dalam diriku. Aku tak bisa mensyukuri
hidup semacam ini.
Kelas
2 SMP, kata-kata favoritku pun tak jauh dari nama-nama penghuni kebun
binatang. Masa masa pencarian jati diri ditambah masalah laksana tak
berujung itu terus menggerus hati nuraniku. Cinta Tak Terbalas pun sudah
biasa. karena memang tidak ada yang akan bisa menyukaiku seperti ini. The Beast.
Aku selalu berkhayal menjadi seorang gadis yang cantik, seperti
temanku lainnya, dengan kulit bening mulus yang mempesona. Dan dihantam
oleh kenyataan yang sama sekali tidak aku inginkan.
Namun,
ada satu moment yang benar benar pertama kali aku merasa beruntung
menjadi aku, moment yang aku yakin Alloh tunjukkan untukku. Saat itu aku
naik Bis kecil menuju ke sekolah seperti biasa, dan tiba tiba mataku
terpaku pada sosok gadis berjilbab yang kebetulan berdiri di bagian
depan bis karena memang bis selalu sarat penumpang.
Gadis
berjilbab itu berparas cantik, hanya saja beberapa bagian wajahnya
memutih dan kontras dengan bagian wajah yang lain. Tangan nya pun sama,
bulatan bagian yang memutih seperti kulit terkelupas bersarang di sana.
Dan sejak saat itu aku merasa begitu bodoh selama ini. Terlalu
memfokuskan diri pada kelemahanku dan semakin tenggelam karenanya.
Petugas
Upacara aku lepaskan, ekskul menari yang sebenarnya aku yakin aku
sangat luwes menari pun aku tinggalkan, menjadi semacam senior pramuka
yang akan menddidik adik kelas aku tinggalkan hanya karena aku tidak
percaya diri dengan keadaanku. Nyatanya, masih banyak orang yang lebih
kurang beruntung dibandingkan aku.
Semakin
sadar selama itu pula aku tidak bersikeras untuk mencintai diriku
sendiri apa adanya dan dengan segenap usaha menyembuhkan penyakit kulit
ini. Hanya Ibuku yang terus mencarikan obat untukku. Dan karena aku
tidak merasa bersyukur dan mencintai diriku sendiri, aku malah makin
terpuruk dengan kondisiku itu.
Sejak
saat itu aku berjanji pada diriku sendiri, aku akan mengubah cara
pandangku, aku akan mulai bersyukur, aku akan menjadi aku yang jauh
lebih baik lagi. SMP berlalu, dan SMA aku sudah terbebas dari semua itu.
Seperti menjalani hidup dengan versi yang baru.
Terus
bersyukur karena toh dengan bersyukur itu keadaan kulit ku makin
membaik. Semua ini seperti serentetan masa lalu yang bisa menjadi
pelajaran bagiku sekaligus pengalaman yang mungkin tidak bisa dikatakan
berkesan, tetapi karena pengalaman ini pula aku berusaha menghargai dan
mencintai apa adanya diriku sekarang dan terus mengupayakan cara terbaik
untuk menjadi apa yang aku iginkan.
Aku sekarang sudah berkuliah dan Alhamdulillah sudah berjilbab. Berjilbab bukan karena ingin menutupi bekas bekas bertaun taun lalu, tetapi karena ingin menjadi pribadi yang tidak lupa bersyukur dan ingin menjadi aku yang jauh jauh lebih baik lagi, dan memfokuskan diri dengan apa yang aku punya, bukan dengan sederetan masalah yang seakan menghalangiku untuk maju ke depan. Bagaimana pun keadaan kita, tetap bersyukur, tidak selalu melihat ke atas, ada kalanya harus melihat ke bawah untuk bisa merasa bersyukur. Dan pada saatnya, saat kita mencintai diri sendiri pun pasti ada orang yang dengan rela hati mau mencintai kita apa adanya. Saya sudah membuktikannya. Semoga berguna.Tak perlu malu, terimalah dirimu apa adanya!*
(http://annida-online.com/artikel-3532-tak-perlu-malu.html)
0 komentar: