Bismillahhirrahmanirrahim…
Tulisan
ini aku tujukan kepada saudara-saudariku, terutama sesama muslimah yang
berjuang untuk menjadi muslimah sejati di hadapan ALLAH, aamiin.
Kami
adalah sesama aktivis dakwah di sekolah. Aku seorang akhwat dan dia
seorang ikhwan. Namun, aku dan dia tak pernah kenal sebelumnya. Kami
dipertemukan secara tidak sengaja melalui sebuah amanah di suatu
organisasi di sekolah kami. Aku pun baru mengenalnya setelah tahu aku
akan bekerja sama dengan dia untuk menjalankan amanah di sekolah kami.
Begitupun dia, juga tak mengenalku sebelumnya. Walaupun kami satu
sekolah, tapi kami tak saling kenal. Mungkin karena terlalu banyaknya
jumlah murid di sekolah kami, yang jelas kami tak pernah saling mengenal
satu sama lain.
Alhamdulillah,
saat itu ALLAH memberikanku bermacam amanah di berbagai organisasi
sekolah. Termasuk amanah di organisasi di mana aku dan dia ikut
bergabung. Ketika itu, teman-teman memberikanku amanah untuk menjadi
sekretaris kegiatan, sedangkan dia sendiri diamanahi sebagai DU (Dana
Usaha). Karena berbagai amanah yang aku dapatkan, aku cukup sulit untuk
mengatur waktu, terlebih lagi ketika itu aku masih sangat awal menjabat
di berbagai organisasi yang aku ikuti. Butuh bagiku waktu untuk
beradaptasi.
Kesibukanku
itu membuatku menjadi sedikit lupa akan amanah yang diberikan
teman-teman padaku. Padahal seorang sekretaris memegang peran awal dalam
melaksanakan sebuah kegiatan. Seorang sekretaris harus mendahului
membuat beberapa proposal yang akan ditujukan kepada sekolah untuk
mendapat izin serta ditujukan ke beberapa pihak sponsor untuk
mendapatkan dana dalam pelaksanaan kegiatan tersebut.
Seperti
halnya dengan dia sebagai seorang Dana Usaha, telah menjadi kewajiban
bagi dia untuk bertindak cepat melayangkan beberapa proposal ke
pihak-pihak sponsor untuk mendapatkan dana. Karena hal itulah, maka dia
memintaku untuk sesegera mungkin membuat proposal. Ya, inilah awal
komunikasi kami.
Ternyata
membuat proposal memang tak semudah yang dibayangkan. Proposal yang aku
buat untuk kegiatan tersebut harus aku ganti berkali-kali, setiap hari
selalu ada bagian yang salah dan harus segera diperbaiki. Hal ini pula
yang menjadikan aku dan dia semakin sering berkomunikasi. Tak hanya
sekedar lewat sms, tapi juga melalui facebook. Facebook yang ketika itu
sedang gencar-gencarnya sebagai alat komuniaksi di dunia maya. Inilah
situs jejaring sosial yang menjadi awal komunikasi kami.
Aku
sebenarnya termasuk anak yang tak begitu doyan akan dunia maya. Aku
punya fb, tapi aku tak sering menggunakannya, hanya sesekali saja aku
membukanya untuk sekedar berkomunikasi dengan teman-temanku.
Suatu
hari ketika aku sedang asyik bermain fb, aku teringat, si ‘dia’ pernah
memintaku untuk meng-add fb-nya. Bagiku hal itu sah-sah saja, toh kami
kan
teman sekerja, mungkin lewat fb bisa menjadikan kami untuk lebih mudah
berkomunikasi secara cepat. Ketika itu pula, segera aku mengetik namanya
di bagian kotak search. Sejurus kemudian muncul beberapa nama yang mirip dengan nama dia, aku klik di nama bagian teratas, sepertinya ini deh fb-nya, batinku dalam hati. Jemariku langsung saja menuju kotak add as friend untuk bisa menjadi teman dia.
Hari
selanjutnya, aku kembali membuka fb-ku, seperti biasa ada beberapa
notification. Aku lihat satu per satu, pandanganku tertuju pada satu
nama. Ya, teman kerja baruku ternyata telah meng-confirm friend request-ku. Hey lihat… ternyata dia tak hanya meng-confirm, tapi dia memberikan pesan singkat di wall fb-ku. Aku baca sekilas pesan singkat yang dia berikan, dahiku sedikit mengkerut, dia tidak kenal aku?
tanyaku dalam hati. Masa dia tidak mengenali temannya sendiri? Hemm
okelah, mungkin memang kita masih baru saja kenal dan aku sendiri memang
tak cukup terkenal di sekolah, jadi wajarlah kalau memang dia tidak
begitu mengenaliku. Segera aku balas pesan singkat di hadapanku tadi.
Selang beberapa hari, dia kembali membalas wall-ku, kali ini dia sudah cukup mengenaliku sebagai teman sekerja dengannya. Aku perhatikan gaya bahasa yang dia lontarkan dalam pesan itu, gaya bahasa yang cukup asyik dan mungkin bagiku terkesan agak SKSD. Seorang ikhwan ternyata bisa seperti ini juga?
batinku dalam hati. Aku balas pesang singkat dia, kali ini tidak sekaku
seperti awal aku membalas pesan dia, pesan layaknya teman dengan teman.
Singkat kata, semenjak saat itu aku semakin sering berkomunikasi dengan
dia, terutama lewat situs jejaring sosial ini. Entah mengapa aku dan
dia rasanya begitu nyambung jika sedang membicarakan sesuatu.
Wall to wall-ku
ke dia bahkan sudah mencapai ratusan. Kami tak hanya membicarakan
masalah organisasi, tapi melebar sampai ke lain-lain. Lambat laun aku
merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatiku. Aku merasa aku telah
melakukan hal yang kurang baik, terutama di hadapan ALLAH. Terlebih lagi
ketika aku mulai mendengar gunjingan orang tentangku. Ya, tentangku dan
dia, siapa lagi?
Ternyata
komunikasiku dengannya di fb selama ini telah menyita perhatian banyak
temanku. Masya ALLAH, aku merasa sungguh berdosa di hadapan ALLAH.
Pantaskah aku disebut sebagai muslimah? Aku tahu, teman-temanku hanya
bermaksud main-main saja dengan guyonan mereka. Tapi, tetap saja itu
membuatku merasa tidak nyaman, bahkan aku semakin takut.
Aku
takut, aku akan melakukan kesalahan sama seperti yang telah aku alami
dulu. Hampir satu sekolah tahu akan ‘hubungan’ aku dan dia. Bukan hanya
teman satu kelasku, tapi teman-teman di berbagai organisasi yang aku
ikuti pun tahu. Mereka acap kali menggodaku, apalagi jika aku sedang
jalan dengan teman-temanku dan bertemu dengan dia. Teman-temanku semakin
senang menggodaku.
Satu hal yang sangat membuatku sakit adalah ketika piknik widya wisata ke Bali.
Saat itu malam hari di bus menuju pelabuhan yang akan mengantarkan kami
serombongan menyeberang melewati laut menuju pulau Bali.
Di tengah perjalanan, ada temanku yang suka iseng mengerjai aku dan
teman-temanku yang lain. Tepat saat itu giliran aku yang kena ulahnya.
Sebelumnya ,dia sudah seringkali menggodaku, apalagi jika bukan berita
tentang aku dan si dia. Temanku ini dengan isengnya membuka fb-ku dan
membuka wall to wall-ku dengan si dia. Tak hanya
membukanya, tapi juga membacanya, lebih tepatnya membaca dengan keras di
hadapan seluruh teman-temanku di bis. Kalian bisa membayangkan betapa
riuhnya di dalam bis kami? Terdengar sekali gelak tawa teman-temanku.
Aku merasa sangat malu, entah malu atau marah aku tak tahu, tapi aku
merasa untuk bersikap biasa ke teman-temanku. Sekali lagi aku menghibur
diri sendiri, mungkin mereka hanya bermaksud main-main saja. Aku mencoba
tersenyum walau dalam senyum itu hatiku sakit karena dipermalukan.
Rasanya
aku merasakan banyak hal yang berubah semenjak ada gosip tentangku
dengannya. Semakin hari aku semakin takut. Takut karena apa, entahlah
aku sendiri masih bingung. Tapi, kedekatanku dengan si dia malah semakin
dekat. Aku dan dia sering kali bertukar pikiran untuk berdiskusi,
saling share jika salah satu di antara kami mempunyai masalah. Bahkan
aku dan dia sering bersaing mendapatkan nilai terbaik di setiap ujian
yang diadakan sekolah, tak lepas pula kami saling memberi semangat.
Layar chatbox-ku setiap kali aku ol tak pernah lepas dari kotak chat dengannya. Kami selalu sepakat membuat janji untuk dapat saling chatting bersama.
Saling cerita satu sama lain. Aku dan dia benar- benar dekat, dia
bahkan telah hafal karakter-karakter aku, aku yang seperti apa dia tahu.
Kami
memang dekat, tapi kami tak sampai ‘berpacaran’. Kami dekat layaknya
kedekatan seorang sahabat. Kami sama-sama memiliki masa lalu yang cukup
kelam, terlebih mengenai ‘pacaran’. Aku dan dia sama-sama sedang
belajar. Belajar untuk menjadi lebih baik. Kami saling memotivasi,
mengingatkan agar tidak terjebak lagi dalam hal-hal yang kurang baik
seperti masa lalu.
Kian
hari, semua yang terjadi antara aku dan si dia semakin terlihat indah.
Tapi di balik keindahan itu, aku merasa itu hanya keindahan semu belaka.
Rasa takutkku bahkan semakin menjadi-jadi. Ya ALLAH… tangisku
dalam hati. Aku semakin gelisah dari hari ke hari, aku semakin bingung
dengan apa yang aku pikirkan. Aku merasa aku menjadi hamba ALLAH yang
begitu hina. Apa yang telah aku lakukan ya ALLAH? Apa aku telah
melanggar janjiku pada-Mu? Aku takut.
Aku
mencoba menenangkan diri, aku ingin bisa mencerna semua yang sedang
terjadi secara jernih, aku ambil nafas yang cukup panjang, kemudian aku
membuangnya. Aku kembali ambil nafas dan kembali membuangnya lagi.
Berulang kali aku melakukan hal itu hingga aku merasa aku telah merasa
lebih rileks. Dalam kondisi pikranku yang masih jernih, aku kembali
mengingat semua yang telah terjadi selama ini. Tanpa kurasa air mataku
jatuh, kalimat istighfar tiada henti aku lontarkan dari bibirku. Cukup.
Aku salah. Tak seharusnya aku melakukan hal itu.
Aku
terus saja menyalahkan diriku sendiri. Tapi, kemudian aku kembali
berpikir, tak ada gunanya jika aku hanya terus menyalahkan diri sendiri,
aku harus mencari solusi. Ya, solusi! Solusi atas segala permasalahan
pelik yang sedang terjadi dalam hidupku. Bantu hamba, ya, Rabb… ibaku
dalam tangis yang menderu.
Bukan
hal mudah memang mencari solusi yang tepat dalam permasalahan ini. Aku
kembali bingung. Otakku semakin keras berpikir, cara apa yang terbaik
yang dapat aku lakukan. Semakin keras otakku berpikir, bukan aku
mendapatkan solusi, melainkan kepalaku malah menjadi terasa sakit. Aku
tidak sanggup, ya ALLAH.
Alhamdulillah,
di tengah-tengah kebingunganku, ALLAH masih sayang padaku, ALLAH
memudahkanku, Kawan! Aku berhasil mendapatkan solusi atas segala
permasalahanku. Aku putuskan untuk segera memberitahu kepada si dia,
mejelaskan semuanya bahwa apa yang telah terjadi antara kita bukan hal
yang baik, ALLAH tak akan suka.
Tapi, aku kembali dilanda bingung, jemariku rasanya seakan mati kaku ketika akan meng-klik tombol send
pada layar hape-ku. Padahal, aku telah mengetik pesan panjang berisikan
teks yang telah aku rancang sedemikian rupa untuk memberikan penjelasan
padanya. Ya ALLAH, ada apa lagi ini? Pikiranku berkecamuk. Apa aku
sanggup, ya ALLAH? Kenapa aku takut? Apa aku takut pesan yang aku tulis
akan membuat dia sakit hati? Tapi, mengapa akau harus takut dia akan
sakit hati? Ya ALLAH… apa ini yang sedang aku rasakan? Mengapa aku
merasa tak sanggup jika harus membuat dia sakit hati? Astaghfirullah…
Apakah
seperti ini yang dinamakan cinta? Engkau bilang cinta itu suatu yang
indah, bukan? Tapi, mengapa aku merasa ini bukan suatu yang indah? Lebih
banyak aku merasakan sakit. Seperti inikah rasanya cinta yang bukan
haq? Istighfar terlontar terus, keluar dari bibirku. Kembali aku merasa
kepalaku begitu pening dan aku kembali ambruk.
(http://annida-online.com/media.php?module=detailartikel&id=3893&page=2)
0 komentar: