Sudah
menjadi tanda untukku jika haji Nurdin mengeluarkan buku kas mushola,
berarti ada pemasukan atau pengeluaran dana kas mushola yang harus
kucatat. Sudah tiga tahun terakhir, semenjak Pak Aspar ( sekretaris
mushola ) meninggal dunia, aku diminta membantu haji Nurdin yang
dipercaya menjadi bendahara mushola untuk mencatat segala pemasukan dan
pengeluaran kas mushola, termasuk membuat laporan setiap bulannya.
Malam itu, usai menjadi imam
sholat Isya kulihat beliau mengambil buku kas mushola dari ruang kecil
di samping kanan pengimaman yang digunakan sebagai tempat untuk
menyimpan seluruh peralatan dan perlengkapan mushola. Sambil menunggu
beliau menyelesaikan sholat badiyah, akupun melakukan hal yang sama.
Selain aku dan haji Nurdin, ada juga beberapa jamaah lain yang tersisa
di mushola. Seperti biasa, beliau memang sengaja melakukan pencatatan
pemasukan atau pengeluaran kas mushola di depan jamaah untuk menghindari
fitnah.
Saat sedang mencatat pemasukan
dari warga yang dikoordinir oleh beberapa jamaah dengan cara menjemput
dari rumah ke rumah setiap awal bulan, tiba-tiba seorang jamaah yang
membaca daftar rincian sumbangan berkomentar.
“ Ini pak xx juragan kontrakan itu kan? Kontrakannya belasan pintu, tapi ngasih sumbangannya masih kalah sama yang ngontrak!”
“ Ngak apa-apa, yang penting ikhlas “ jawabku singkat
“ Ikhlas apa pelit? “ jawabnya kemudian
“ Barangkali dalam beberapa
bulan terkahir beliau sedang membutuhkan banyak biaya untuk keluarganya.
Alhamdulillah, beliau masih mau menyumbang untuk pembangunan musholla
ini “ haji Nurdin mencoba menghentikan pembicaraan ini tanpa bermaksud
membuat sang jamaah tersinggung.
“ Astaghfirulloh! Maaf, saya khilaf “ jawab sang jamaah menyesal.
Usai mencatat semua pemasukan, buku aku kembalikan ke tempat penyimpanannya dan kamipun pulang ke rumah masing-masing.
**
Bersedekahlah dengan ikhlas,
bukan karena terpaksa atau ingin dilihat orang, tapi hanya mengharap
ridho Allah. Allah tidak melihat amal sedekah seseorang semata dari
jumlahnya, tapi juga niat dan keikhlasannya. Jumlah yang banyak bisa
jadi tidak bernilai ibadah manakala niat dan tujuannya hanya ingin
dilihat tetangga. Sementara, meski jumlahnya sedikit, tapi jika
dikeluarkan dengan ikhlas, hanya mengharap ridho Allah, maka nilai
ibadahnya akan menjadi besar. Apa lagi jika yang kita sedekahkan
jumlahnya besar, insya Allah nilai ibadahnyapun akan semakin besar.
Tapi, sayangnya kita sering
salah menerapkan makna ikhlas dalam beramal. Biar sedikit yang penting
ikhlas, akhirnya kita terbiasa ikhlas beramal hanya dalam jumlah yang
sedikit.
Dapat kita temui faktanya di
lapangan, perbedaan ketika beramal dengan ketika kita mengeluarkan harta
untuk kepentingan dan kesenangan dunia. Acara kumpul dengan tetangga
sambil bakar ikan atau ayam misalnya, dengan ringan kita mengeluarkan
uang dua puluh ribu untuk patungan. Tapi ketika ada petugas mushola yang
datang, uang lima ribu rupiah rasanya sudah cukup, yang penting ikhlas.
Atau juga di kantor, meski makan
siang sudah disediakan oleh perusahaan, jika menumnya tidak cocok dengn
selera, maka mengeluarkan uang sepuluh ribu untuk membeli makanan di
luar tidaklah sayang. Sementara ketika ada edaran sumbangan duka cita,
beberapa lembar uang ribuan dirasa sudah cukup pantas, lagi-lagi yang
pentiing ikhlas. Ini bukan mengada-ada, tapi memang benar-benar ada.
Bahkan mungkin kita salah satu yang melakukannya. Astaghfirulloh!
Ada perbedaan yang jelas saat
kita mengeluarkan harta kita untuk kepentingan dunia dan akhirat. Kalau
ikhlas diartikan tidak dengan paksaan, atau tidak mengungkit-ngungkit
apa yang sudah kita keluarkan barangkali memang sama-sama ikhlas. Tapi
yang berbeda adalah, kita cenderung ikhlas mengeluarkan harta kita dalam
jumlah yang besar hanya untuk kepentingan dan kesenangan dunia.
Sementara untuk kepentingan akhirat, kita cenderung ikhlas hanya dalam
jumlah yang kecil. Orientasi kita masihlah cenderung seputar dunia saja.
Kita sering berlaku curang, memakai alasan ikhlas untuk menutupi pelit
yang sebenarnya. Tidak semua orang, tapi yang seperti ini benar-benar
ada. Atau jangan-jangan kita termasuk di dalamnya? Astaghfirulloh,
mudah-mudahan tidak.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. : seorang
lelaki menemui Nabi Muhammad Saw dan bertanya, “ya Rasulullah Saw,
sedekah apakah yang paling utama?” Nabi Muhammad Saw menjawab, “sedekah
yang kau berikan ketika kau dalam keadaan sehat, kikir dan takut
terhadap kemiskinan dan menginginkan kekayaan. Janganlah menunggu sampai
dekatnya saat kematian dengan mengatakan, ‘untuk si fulan sekian, dan
untuk si fulan sekian, dan harta tersebut telah menjadi milik ahli
warisnya’”.
Mari, kita rubah cara pandang kita dalam beramal. Tetap yang utama adalah niat dan keikhlasan,
namun jangan selalu dalam jumlah yang kecil, kecuali hanya jika
benar-benar terpaksa. Jangan sampai terjebak pada kepetingan dan
kesenangan duniawi saja. Barangkali kita perlu merubah prinsip dalam
beramal sedekah, dari ‘biar sedikit yang penting ikhlas’ menjadi ‘biar banyak yang penting ikhlas'.
Ikhlas apa pelit? Pertanyaan
yang menarik, bukan siapa yang mengucapkan dan siapa orang yang
dimaksudkan, namun aku merasa bahwa pertanyaan ini berlaku juga untukku
dan perlu aku renungkan. Bagaimana anda menyikapi pertanyaan ini?
(http://www.abisabila.com/2010/03/ikhlas-apa-pelit.html)
0 komentar: