Benar, Ramadhan telah usai. Tapi tunggu dulu, pernahkah kita
menelisik ke dalam diri : telah seberapa kokoh iman kita menghujam dalam
dada selepas kepergian Ramadhan?
Adakah ibadah serta kekhusyuan kita bertambah sebagai hasil tarbiyah
ramadhan? Jika tidak, mari segera kemas ulang hati kita. Kita memohon
pada Allah agar tidak termasuk golongan yang celaka, yang melalui
ramadhan tanpa bekas serta tak memeroleh ampunan dari Allah.
Sebagaimana sabda Rasul.
“Ba’udaman adraka ramadhaana fa lam yughfarlahu. Celakalah seorang yang melalui bulan Ramadhan namun dia tidak diampuni” (HR. Hakim dan Thabrani)
Terkait hal ini, ada istilah menarik dari Pak Mohammad Natsir, “Battle in the Mind”.
Bahwa setiap kita punya perjuangan dalam benak dengan sebagai akibatnya
kegoncangan–kegoncangan, ketegangan–ketegangan, kadang pula kelesuan.
Begitu kiranya yang terjadi pada iman dan amal kita. Ada yang
semangatnya tetap terjaga selepas ramadhan, namun ada pula yang melonjak
lesu seiring berakhirnya bulan Ramadhan.
Istilah “Battle in the Mind” menjadi sangat relevan disini.
Ramadhan seringkali diumpamakan sebagai kawah candradimuka atau madrasah
penggemblengan iman. Maka tepat sejak hari pertama Syawal hingga
Sya’ban yang akan datang, seharusnya menjadi momentum pembuktian
sekaligus pertarungan bagi orang beriman.
Pertarungan untuk sabar menahan diri dari maksiat,
pertarungan untuk
sabar menjalankan kebaikan serta pertarungan untuk sabar dalam
‘meningkatkan’ kuantitas dan kualitas kebaikan.
Sampai disini, sayangnya
banyak dari kita yang gagal memenangkan pertarungan itu.
RABBANIYUN ATAU RAMADHANIYUN?
“Man ya’budu Ramadhan fainnahu qod mata, man ya’budullah fainnahu hayyun layamut”.
Barang siapa yang menyembah Ramadhan sesungguhnya Ramadhan
sudah mati (pergi), barang siapa menyembah Allah sesungguhnya Ia Maha
Hidup dan tak akan pernah mati.”
Kekata ini lahir dari kegelisahan Syaikh Yusuf Qardhawi mencermati
fluktuatif keshalihan kita selepas Ramadhan. Betapa banyak dari kita
yang tanpa sadar, mengutip Syaikh Yusuf Al Qaradhawi, menjadi
Ramadhaniyun, yakni hamba Ramadhan- yang baik amalnya hanya pada bulan
Ramadhan. Lepas Ramadhan, lepas pula banyak kebaikan.
Menjadi istiqamah memang tak mudah. Bahkan dalam sebuah riwayat
beberapa helai rambut Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam seketika
langsung beruban saat turunnya wahyu tentang perintah istiqamah.
Terlebih saat Iblis bersumpah dalam surat Al A’raf 16-17, untuk terus
menyesatkan manusia.
“Iblis menjawab: ‘Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya
benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang
lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang
mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati
kebanyakan mereka bersyukur (ta’at).’”
Terkait maksud ayat ini, Al-Fakhrur-Razy dalam tafsirnya berkata:
“Diriwayatkan bahwa ketika Iblis mengatakan ucapannya tersebut,
maka hati para malaikat menjadi kasihan terhadap manusia mereka berkata:
“Wahai Tuhan kami, bagaimana mungkin manusia bisa melepaskan diri dari
gangguan syaitan? ”Maka Allah berfirman kepada mereka bahwa bagi manusia
masih tersisa dua jalan: atas dan bawah, jika manusia mengangkat kedua
tangannnya dalam do’a dengan penuh kerendah-hatian atau bersujud dengan
dahinya di atas tanah dengan penuh kekhusyu’an, Aku akan mengampuni
dosa-dosa mereka” (At-Tafsir Al-Kabir V/215)
Terlepasnya setan dari belenggu seusai ramadhan, memang mensyaratkan
kita bekerja super ekstra. Ramadhan yang belum lama berlalu, sepatutnya
memberikan nafas baru bagi kita untuk mempersiapkan jiwa menghadapi
“battle in the mind” di sebelas bulan kedepan.
Maka yang menjadi PR bagi kita adalah bagaimana menjaga hati agar
senantiasa bersih, agar senantiasa mampu memenangkan pertarungan. Karena
“hati “ Ujar Mas Sam Bimbo “adalah cermin tempat pahala dan dosa
bertarung”.
Naik turunnya iman seorang hamba, sebagaimana hadist Rasul, adalah
sebuah keniscayaan. “al imanu yazid wa yankus”. Iman kadang bertambah,
kadang berkurang. Kadang naik, kadang turun.
Seorang Mu’min sejati bukanlah mereka yang nafas imannya tak pernah
tersengal. Bukan pula mereka yang daya keimanannya tak pernah luntur.
Tapi mu’min sejati adalah mereka yang segera bangkit saat futur melanda,
kemudian dengan segenap kemampuan menjaga keimanannya untuk kembali
istiqamah.
Orang-orang beriman sadar sepenuhnya bahwa amal keshalihan tidak
hanya ditebarkan di bulan Ramadhan, melainkan juga bulan-bulan di luar
Ramadhan. Mereka berprinsip bahwa amal keshalihan bersifat madal hayah
(sepanjang usia). Sehingga bagi mereka setiap bulan tak ubahnya bulan
ramadhan. Mereka tak memperlakukan Tuhan secara transaksional.
Maka selepas Ramadhan pilihan ada di tangan kita : menjadi Rabbaniyun
atau menjadi Ramadhaniyun? Ah, agaknya mereka yang sukses dengan
ramadhannya, adalah mereka yang tak henti bermunajat dan melanggengkan
bakti pada Allah.
Mereka menghamba pada Tuhannya (Rabbaniyun), bukan menghamba pada
Ramadhan. Mereka - yang memilih menjadi generasi Rabbani, memahami betul
makna “Man ya’budu Ramadhan fainnahu qod mata, man ya’budullah fainnahu
hayyun layamut” bahwa Ramadhan telah pergi, sedang Allah yang
sepatutnya terus disembah tak akan pernah pergi.
Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, kepada Allah kita bersujud
seraya memunajatkan doa, semoga Ia jadikan kita golongan yang pertama:
Hamba Rabbani. “Ya Allah, tolonglah kami agar selalu mengingat-Mu,
bersyukur pada-Mu, dan beribadah kepada-Mu dengan baik”. (HR Ahmad
45/96)
(http://www.eramuslim.com/oase-iman/dea-tanyo-iskandar-battle-in-the-mind.htm)
Battle in the Mind
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar: