Akhir-akhir ini pendidikan disoroti terlalu intelektualistis. Terkadang juga dianggap terlalu job-oriented (berorientasi kerja). Sementara pendidikan agama dituduh sebagai terlampau spiritualistis sehingga nampak tidak rasional.
Sebenarnya pendidikan dalam Islam tidak demikian. Ia meliputi seluruh aspek dalam diri manusia. Tidak melulu spiritualistis dan tidak pula terlalu intelektualistis atau pragmatis dan praktis.
Pendidikan dalam Islam berkaitan dengan soal ilmu dan ilmu dalam Islam berdimensi iman dan amal. Oleh sebab itu pendidikan Islam mengharuskan pemahaman tentang dua hal: Pertama, Letak iman, ilmu dan amal tersebut dalam jiwa manusia. Kedua, Bagaimana menanamkan itu semua kedalam diri manusia.
Sistem apa yang cocok untuk pengembangan anak dalam berbagai aspek kejiwaannya dalam sebuah sistem pendidikan yang terpadu, perlu dipikirkan terus menerus dan seksama.
Namun, sebelum berpikir tentang metode atau sistem perlu dijelaskan terlebih dulu konsep jiwa manusia yang akan menjadi obyek pendidikan itu. Sebab jiwa manusia memiliki bagian-bagian penting yang saling berkaitan.
Hakim Tirmidhi seorang ulama abad ke 9 menulis buku berjudul Bayan al-Farq, Bayn al-Sadr wa al-Qalb wa al-Fuad wa al-Lub. (Penjelasan Tentang Perbedaan antara Sadr (sadar), Qalb (kalbu/hati), Fuad (nurani) dan Lubb (akal pikiran).
Istilah-istilah sadr yang dalam bahasa Indonesia menjadi sadar-kesadaran ternyata berbeda artinya dari istilah qalb, hati atau kalbu. Fuad yang diIndonesiakan menjadi nurani berbeda lagi dari lubb yang arti sebenarnya adalah akal pikiran yang beriman. Ulul Albab adalah orang yang berakal pikiran tauhidi.
Namun itu semua merujuk kepada sesuatu yang bersifat batiniyah. Jika seseorang dibedah dadanya tentu sadr, qalb, fuad dan lub itu tidak akan ditemukan secara fisik. Maka dalam buku ini Hakim Tirmidhi menjelaskan bahwa hati atau qalb itu adalah nama yang komprehensif yang kesemuanya bersifat batiniyah alias tidak zahir alias tidak empiris.
Sadr ada di dalam qalb seperti kedudukan putihnya mata didalam mata. Sadr adalah pintu masuk segala sesuatu ke dalam diri manusia. Perasaan waswas, lalai, kebencian, kejahatan, kelapangan dan kesempitan masuk melalui sadr. Nafsu amarah, cita-cita, keinginan, nafsu birahi, itu pun masuk kedalam sadr dan bukan kedalam qalb.
Akan tetapi sadr itu juga tempat masuknya ilmu yang datang melalui pendengaran atau khabar. Maka dari itu pengajaran, hafalan, dan pendengaran itu berhubungan dengan sadr. Dinamakan sadr karena merujuk kepada kata sadara (muncul), atau sadr (pusat). Jadi kesadaran adalah inti atau pusat dari hati (qalb).
Jika sadr ada didalam qalb maka qalb itu ada dalam genggaman nafs atau jiwa. Namun, qalb itu adalah raja dan jiwa itu adalah kerajaannya. “Jika rajanya baik” seperti sabda Nabi, “Maka baiklah bala tentaranya dan jika rusak maka rusaklah bala tentaranya”.
Demikian pula baik-buruknya jasad itu tergantung pada hati (qalb). Hati (qalb) itu bagaikan lampu dan baiknya suatu lampu itu terlihat dari cahaya. Dan baiknya hati terlihat dari cahaya ketaqwaan dan keyakinan.
Sebagai raja, qalb adalah tempat bersemayamnya cahaya Iman, cahaya kekhusyu’an, ketaqwaan, kecintaan, keridhaan, keyakinan, ketakutan, harapan, kesabaran, kepuasan. Karena iman dalam Islam berasaskan pada ilmu, maka qalb juga merupakan sumber ilmu. Karena sadr itu tempat masuknya ilmu, sedangkan qalb itu tempat keimanan, maka didalam qalb itu pun terdapat ilmu.
Jika qalb (hati) itu adalah mata maka fuad itu adalah hitamnya pupil mata. Fuad ini adalah tempat bersemayamnya ma’rifah, ide, pemikiran, konsep, pandangan. Ketika seseorang berpikir maka fuadnya lebih dulu yang bekerja baru kemudian hatinya. Fuad itu ada di tengah-tengah hati, sedangkan hati di tengah-tengah sadar.
Jika qalb adalah mata, sadr adalah putih mata, fuad adalah hitamnya pupil mata, maka lubb adalah cahaya mata. Jika qalb adalah tempat bersemayamnya cahaya keimanan dan sadr tempat cahaya keislaman, dan fuad adalah tempat cahaya ma’rifah maka lubb berkaitan dengan cahaya ketauhidan.
Gambaran diatas mungkin nampak terlalu spiritual atau dalam bahasa Kant transcendent. Tapi memang proses berpikir demikian adanya. Hanya saja yang ditekankan disini bukan bagaimana ilmu didapat akan tetapi bagaimana ia berproses menuju dari ilmu menjadi iman.
Apabila pendidikan Islam memperhatikan potensi batiniyah manusia seperti digambarkan Hakim Tirmidhi diatas maka yang akan lahir adalah manusia-manusia tinggi ilmu dan imannya sekaligus banyak amalnya. Yaitu manusia-manusia yang hati (qalb), kesadaran (sadr), nurani (fuad) dan pikirannya (lubb) berjalan seimbang.
0 komentar: