Oleh : Ust. Musyafa Ahmad Rahim, Lc. MA
Banyak orang menyangka, bahkan ada yang meyakini bahwa hubungan antara ummul mukminin Aisyah (RA) dengan Ali bin Abi Thalib (RA) sangatlah buruk. Mereka ber-ilusi bahwa hubungan buruk itu terjadi dimulai dari peristiwa Hadîtsul Ifki pada tahun 6 H dan puncaknya terjadi pada Waq`atul Jamâl (perang unta) pada tahun 35 H.
Bahkan seorang profesor di sebuah universitas Islam membuat pernyataan nyinyir di satu sisi dan ngesok di sisi yang lain saat menyatakan: “saya saja yang jelek begini tidak pernah ribut dengan mertua saya”. Pernyataan ini dilontarkan oleh si profesor dalam mengomentari peristiwa perang antara amirul mukminin Ali bin Abi Thalib (RA) dengan ummul mukminin Aisyah (RA).
Bagaimana data-data sejarah yang valid bercerita tentang masalah ini?
Untuk mengetahui klarifikasi terkait masalah ini, ada baiknya seorang muslim/ah membaca kitab: عائشة أم المؤمنين (Aisyah Ummul Mu'minin) sebuah ensiklopedi besar yang khusus berbicara tentang ummul mukminin Aisyah (RA). Ensiklopedi ini ditulis oleh sekumpulan para ulama dibawah supervisi DR Alawi bin Abdul Qâdir As-Saqqâf dan telah mendapatkan banyak sekali apresiasi dari para ulama dan aktifis dakwah lainnya.
Diantara isi ensiklopedi ini terdapat penjelasan tentang hubungan antara ummul mukminin Aisyah (RA) dengan amirul mukminin Ali bin Abi Thalib (RA).
Konten penjelasan dari ensiklopedi itu adalah sebagai berikut:Intinya, hubungan antara ummul mukminin Aisyah (RA) dengan Ali bin Abi Thalib (RA) adalah hubungan yang sangat baik, baik pada zaman Rasulullah SAW masih hidup, maupun setelah Rasulullah SAW wafat. Meskipun diantara keduanya terkadang, sekali lagi terkadang, terjadi perbedaan pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyah, dan meskipun diantara keduanya pernah terjadi “suatu peperangan”. Data-data sejarah yang valid berikut menjelaskan demikian:
1. Pada suatu hari, setelah terjadinya Waq`atul Jamâl, datanglah amirul mukminin Ali bin Abi Thalib (RA) mengunjungi ummul mukminn Aisyah (RA), maka Ali pun bertanya: “apa kabar mu wahai ibunda?”. Maka ummul mukminin Aisyah (RA) menjawab: “Alhamdulillah dalam keadaan baik”. Maka Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib (RA) berkata: “Semoga Allah SWT memberikan pengampunan kepadamu wahai ibunda”. (Ath-Thabarani dalam kitab Tarikh [3/55]). Lihat pula: al-Bidayah wan-Nihayah karya Ibn Katsir [10/468]).
2. Imam Ibn Jarir ath-Thabari menyebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib-lah yang memberikan isyarat kepada beberapa pasukannya agar unta yang dinaiki oleh ummul mukminin dilumpuhkan dan dibunuh saat terjadi Waq`atul Jamâl. Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib (RA) menyeru kepada mereka: اُعْقُرُوا الْجَمَلَ؛ فَإِنَّهُ إِنْ عُقِرَ تَفَرَّقُوْا (lumpuh dan bunuh itu unta yang dinaiki oleh ummul mukminin, sebab, kalau unta itu terbunuh, niscaya pasukan yang ada di sekelilingnya akan membubarkan diri) [Tarikh Thabari 3/47].
Tafsir atas perintah Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib (RA) ini adalah agar ummul mukminin Aisyah (RA) dalam keadaan selamat, sebab, saat itu unta dan penumpangnya, yaitu ummul mukminin Aisyah (RA) menjadi pusat sasaran anak panah dari pasukan “gelap” yang menyusup di barisan Ali dan yang menyusup di barisan ummul mukminin. Dan benar saja prediksi Ali bin Abi Thalib (RA), bahwa begitu unta tersebut terbunuh dan ummul mukminin terselamatkan, bubarlah pasukan yang mengelilinginya.
3. Secara simultan, saat amirul mukminin Ali bin Abi Thalib (RA) mengeluarkan perintah isyarat untuk membunuh unta yang dinaiki oleh ummul mukminin Aisyah (RA), Ali juga memerintahkan kepada Muhammad bin Abu Bakar, yang tidak lain adalah saudara kandung ummul mukminin Aisyah (RA) dengan dibantu oleh beberapa orang lainnya, agar Muhammad bin Abu Bakar membawa pergi haudaj (“rumah” di atas unta) yang di dalamnya ada ummul mukminin Aisyah (RA) untuk dibawa pergi menjauh dari pasukan kedua belah pihak, dan Ali bin Abi Thalib memerintahkan kepada Muhammad bin Abi Bakar agar memeriksa haudaj kalau-kalau ada anak panah atau senjata lainnya yang bisa melukai ummul mukminin Aisyah (RA). ([Tarikh Thabari 3/73], [al-Bidayah wan-Nihayah 10/468]).
4. Pada saat Waq`atul Jamâl telah selesai, dan ummul mukminin Aisyah (RA) hendak meninggalkan kota Bashrah (sebuah kota di Iraq), untuk kembali ke Madinah, amirul mukminin Ali bin Abi Thalib (RA) mengirimkan segala yang diperlukan oleh ummul mukminin, mulai dari kendaraan yang akan dinaiki, perbekalan, barang-barang lain yang diperlukan, dan juga pengawalan. Juga 40 wanita Bashrah dari “tokoh-tokoh” wanita Bashrah serta menunjuk Muhammad bin Abu Bakar, saudaranya, agar dia yang menjadi pimpinan pengawal perjalanan ummul mukminin Aisyah (RA). Dan pada saat hari keberangkatan tiba,amirul mukminin Ali bin Abi Thalib mendatangi tempat pemberangkatan ummul mukminin Aisyah (RA). Setelah semuanya siap, ummul mukminin keluar dari “rumah” tempat keberangkatan, dan berpamitan dengan semua yang hadir, dan berpamitan juga dari amirul mukminin Ali bin Abi Thalib (RA) seraya berkata: “wahai putraku, jangan lah ada di antara kita yang saling mencela, demi Allah, apa yang pernah terjadi antara aku dan Ali di masa lalu (di masa hidup Rasulullah SAW), tidak lain hanyalah “peristiwa” antara seorang perempuan dengan keluarga (mantu), dan demi Allah, aku bersaksi bahwa Ali termasuk ahlul khair”. Maka Ali (RA)-pun berkata: “Demi Allah, apa yang ibunda katakan itu benar, tidak terjadi apa-apa antara diriku dengannya kecuali seperti itu, dan sungguh, dia (ummul mukminin) adalah seorang istri nabi kalian di dunia dan di akhirat”.
Kemudian ummul mukminin Aisyah berangkat melakukan perjalanan, dan Ali bin Abi Thalib (RA) mengantarnya sampai beberapa mil jauhnya.Kalau saja ummul mukminin Aisyah (RA) ada permusuhan dengan Ali bin Abi Thalib (RA), niscaya tidak akan mengucapkan kata-kata seperti itu, dan kalau saja amirul mukminin Ali bn Abi Thalib (RA) ada permusuhan dengan ummul mukminin Aisyah (RA), niscaya ia tidak akan membenarkan ucapan ummul mukminin Aisyah (RA). (Kisah lengkap point ini diceritakan oleh Saif bin Umar dalam kitabnya: al-Fitnah wa Waq`atul Jamal, hal. 183. Lihat pula Tarikh Thabari [4/544], al-Muntazhim karya Ibnul Jauzi [5/94], al-Kamil karya Ibnul Atsir [2/614], al-Bidayah wan-Nihayah [10/472]), Nihayatul Arab karya an-Nuwairi [20/50]).
5. Di saat acara “perpisahan” yang dihadiri banyak orang itu terjadi, ada dua orang hadirin yang mencela ummul mukminin. Yang satu mengatakan: “Semoga Allah SWT membalas pembangkanganmu wahai ummul mukminin!”. Dan yang satunya berkata: “Wahai ummul mukminin, bertaubat lah kamu kepada Allah, sebab kamu telah berbuat salah”.Berita atas peristiwa celaan ini sampai kepada amirul mukminin Ali bin Abi Thalib (RA), maka Ali memerintahkan kepada al-Qa`qâ` bin `Amr untuk menangkap kedua orang itu, lalu kepada masing-masing dari keduanya, Ali bin Abi Thalib memerintahkan agar masing-masingnya didera dengan cambuk sebanyak seratus kali dalam keadaan bertelanjang dada. (al-Kamil [2/614], Nihayatul Arab [20/50]).
6. Tentang berkecamuknya Waq`atul Jamâl itu sendiri sebenarnya adalah karena ulah dari kalangan yang terlibat dalam pembunuhan amirul mukminin Utsman bin Affan (RA), di mana mereka membelah diri dalam dua bagian, sebagian menyusup ke dalam pasukan Ali bin Abi Thalib (RA) yang lalu menyerang pasukan Aisyah, dan sebagiannya lagi menyusup ke dalam pasukan Aisyah yang lalu menyerang pasukan Ali. Dan mereka melakukan keributan itu di sekitar unta yang dinaiki oleh ummul mukminin Aisyah (RA) untuk memancing orang-orang di luar mereka agar berperang. Mereka berusaha membunuh ummul mukminin Aisyah (RA), namun, kemudian amirul mukminin Ali bin Abi Thalib (RA) mengetahui siasat mereka itu, dan yang lalu memerintahkan pembunuhan unta dan penyelamatan ummul mukminin seperti tersebut di atas.
7. Di luar peristiwa Waq`atul Jamâl, hubungan diantara kedua sahabat nabi yang mulia ini sangat lah baik, masing-masing dari keduanya memuji yang lainnya, baik dari sisi ilmu, agama dan keshalihan.
Semoga sedikit kutipan yang saya bahasakan ulang ini memberi pemahaman yang benar, Aamiiin...
0 komentar: