Dendam
nyaris selalu disertai sakit hati. Dan itu sering menjadi dasar untuk
melakukan sebuah pembalasan. Saat orang lain melakukan sesuatu yang
tidak kita sukai, tiba-tiba saja kita merasa mendapatkan ijin khusus
dari Tuhan untuk melakukan pembalasan. Bahkan, tidak jarang kita
memberikan `bonus’ nya sekalian. Jika anda menampar saya perlahan, maka
sebagai bonusnya, tamparan balasan dari saya bisa sangat keras sekali.
Kalau perlu, hingga membuat anda pingsan. Jika hari ini saya belum bisa
membalas anda, maka semuanya itu akan berubah menjadi utang yang wajib
untuk dibayarkan kepada anda dimasa depan. Jika tangan saya sendiri
tidak mampu melakukannya, maka saya mengutus orang lain untuk mewakili
terlunasinya utang-utang itu. Berikut bunganya sekalian. Bukan begitukah
kita mendefinisikan sebuah dendam?
Secara garis besar, ada
tiga komponen yang menghidupi dendam, yaitu: perbuatan orang lain kepada
kita, rasa sakit hati, dan pembalasan. Mari kita tahas, satu demi satu.
Pertama, perbuatan orang lain kepada kita. Dalam banyak situasi, kita
tidak bisa mengendalikan perbuatan orang lain. Kita sama sekali tidak
memiliki hak untuk menyuruh atau melarang orang lain untuk melakukan
atau menghindari sebuah perbuatan. Paling banter, anda hanya bisa
menghimbau. Misalnya dengan mengatakan; “Maaf Mas, kalau mau merokok
jangan diruangan ber-AC seperti ini dong….” Apakah orang itu akan
berhenti, atau pindah ketempat terbuka, atau memasabodohkan perkataan
anda; itu diluar kuasa anda.
Bahkan, sekalipun anda seorang
atasan; anda hanya bisa mengatakan; “Optimalkan jam kerjamu.” Atau
“Lakukan kegiatan ekstra untuk perusahaan.” Atau “Jangan terlambat masuk
kerja.” Anda bisa melakukannya sebatas itu. Sekalipun anda melakukan
semuanya itu atas kewenangan anda dan demi kebaikan organisasi dan diri
mereka sendiri, tetapi dimata mereka anda tidak lebih dari seorang
atasan yang bawel. Anda tak perlu heran. Sebab, anda sama sekali tidak
bisa mengontrol tindakan atau perbuatan orang lain. Dengan kata lain;
anda sama sekali tidak memiliki kuasa untuk mempengaruhi ‘will’
seseorang. Mengapa? Karena, ‘kehendak’ adalah hak setiap manusia. Dan
seperti yang kita tahu; ada orang yang mampu mengarahkan kehendaknya
kepada hal-hal postif dan produktif, dan ada pula yang sebaliknya.
Kedua, rasa sakit hati. Mungkin anda bisa mengatakan ‘sakit sekali hati
ini’. Namun, bisakah anda menemukan dimanakah letaknya rasa sakit hati
itu? Dibawa kerumahsakit pun tidak akan membantu anda menemukan letak
rasa sakit itu. Mengapa? Karena sakit hati adanya diawang-awang. Yang
bisa menjangkaunya hanyalah perasaan. Liver kita sehat walafiat. Tetapi,
mengapa kita merasakan sakit begitu rupa? Karena kita membiarkan
perasaan merengkuh rasa sakit itu. Dan membawanya masuk kedalam hati
kita. Seandainya kita tidak mengijinkan perasaan menggapainya, maka kita
tidak akan merasakannya.
Oleh karena itu, sakit hati sama
sekali tidak berhubungan dengan tindakan orang lain; melainkan dengan
diri kita sendiri. Jika kita tidak menginginkan rasa sakit hati itu,
maka tindakan apapun yang dilakukan oleh orang lain tidak akan berhasil
menjadikan kita sakit hati. Ada orang yang menghina anda sebegitu rupa;
namun, anda tidak mengijinkan perasaan membawa sakit hati. Maka anda
akan tenang- tenang saja. Ada orang yang menggosipkan tentang
kekurangan- kekurangan anda. Dan tentu saja, gosip baru enak kalau
ditambah dengan bumbu-bumbu, bukan? Sehingga, dilingkungan anda
terbentuk opini yang sedemikian buruknya tentang anda. Anda sakit hati?
Tidak, jika anda tidak mengijinkan sang perasaan melakukannya. Sekalipun
tidak semua yang mereka katakan tentang anda itu benar. Artinya, ada
bumbu tambahan yang dilebih-lebihkan. Jika anda benar-benar tidak
seperti yang mereka katakan; maka itu tidak akan terlalu berpengaruh
kepada baik atau buruknya diri anda. So what?
Ketiga,
pembalasan. Anda boleh melakukan pembalasan dengan 3 syarat; kalau anda
lebih kuat, kalau ingin membuat dendam baru, dan kalau anda kurang
kerjaan. Kalau mereka lebih kuat dari anda, dan anda ngotot untuk
melakukan pembalasan itu berarti anda bunuh diri. Jadi, melakukan
pembalasan kepada pihak yang lebih kuat itu sama sekali bukanlah
tindakan yang cerdas. Jika anda benar-benar cerdas, lebih baik lupakan
saja itu yang namanya balas dendam. Buang jauh-jauh sifat dendam, dan
anda akan hidup dengan tentram.
Mungkin anda bisa membalas
dendam. Sehingga ketika dendam itu terbalaskan, hati anda sembuh dari
sakit. Hey, harap diingat; pembalasan anda bisa menumbuhkan dendam lain
dihati mereka. Kemudian mereka membalas lagi kepada anda, lalu anda
kembali membalasnya. Maka jadilah dendam itu berputar-putar sampai tidak
tahu kapan saatnya untuk berhenti. Sehingga, anak keturunan kita harus
ikut menanggung dendam yang sama; meskipun mereka tidak tahu menahu apa
penyebabnya. Maukah anda mengorbankan anak cucu untuk sebuah dendam yang
anda buat dengan orang lain? Tidak. Baguslah itu. Jadi, mari kita
lupakan dendam kesumat itu. Cukup sampai disitu saja.
Lagipula,
anda bukanlah orang yang kekurangan pekerjaan. Ada seribu satu hal
penting yang membutuhkan curahan perhatian kita. Dengan melakukan
semuanya itu, hidup kita menjadi lebih berarti. Jika kita membuang-buang
waktu, tenaga, dan perhatian hanya untuk mengurusi dendam; maka semua
hal positif yang menanti kita untuk bertindak akan terbengkalai begitu
rupa. Sehingga, hidup kita menjadi kurang bermakna. Jadi, bisakah kita
mengatakan kepada diri kita sendiri bahwa; ‘kita tidak memiliki waktu
untuk membalas dendam’. Oleh karena itu, setiap perbuatan buruk orang
lain kepada kita, tidak perlu dibalas dengan perbuatan buruk yang sama.
Dengan begitu, selain kita bisa menjadi manusia yang pemaaf; kita akan
terbebas dari sesuatu yang kita sebut sebagai ‘sakit hati’ itu. Kita
juga bisa melakukan banyak hal lain yang lebih berguna dalam hidup ini.
Jadi, perlukan membawa-bawa dendam ini disepanjang hidup kita?
(https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10150413683771268&set=a.311467011267.158786.301729376267&type=3)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar: