Adalah tepat jika ada yang berkata amalan hati atau kualitas batin yang terdapat pada diri seseorang sangatlah penting dalam meraih ridha Allah, meski hal ini bukan berarti mengabaikan amalan ibadah yang dilakukan secara fisik (lahiriah). Karena ibadah lahiriah yang baik bersumber dari hati yang baik pula, pantas jika Ibnul Qayyim mengatakan,
ﺃﻥ ﺍﻟﻌﺒﺪ ﺇﻧﻤﺎ ﻳﻘﻄﻊ ﻣﻨﺎﺯﻝ ﺍﻟﺴﻴﺮ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻘﻠﺒﻪ ﻭﻫﻤﺘﻪ ، ﻻ ﺑﺒﺪﻧﻪ ، ﻭﺍﻟﺘﻘﻮﻯ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﻘﻴﻘﺔ ؛ ﺗﻘﻮﻯ ﺍﻟﻘﻠﻮﺏ ﻻ ﺗﻘﻮﻯ ﺍﻟﺠﻮﺍﺭﺡ
“Sesungguhnya hamba hanya mampu melalui berbagai tahapan menuju ridla Allah dengan hati dan tekad yang kuat, bukan dengan amalan lahiriah semata. Ketakwaan yang hakiki adalah ketakwaan yang bersumber dari dalam hati, bukan ketakwaan yang hanya berpaku pada amalan lahiriah” (Madaarij as-Saalikiin).
Qana’ah adalah Keberuntungan
Salah satu amalan hati yang patut dimiliki seorang muslim adalah sifat qana’ah yang berarti ridla (rela) terhadap segala bentuk pemberian Allah yang telah ditetapkan, tidak dihinggapi ketidakpuasan, tidak pula perasaan kurang atas apa yang telah diberikan. Tahu bahwa segala rezeki telah diatur dan ditetapkan oleh Allah, sehingga hasil yang akan diperoleh sebagai ‘imbal jasa’ dari usaha yang dicurahkan tidak akan melebihi apa yang telah ditakdirkan oleh Allah kepada hamba-Nya. Dia-lah yang menetapkan siapa saja di antara hamba-Nya yang memiliki kelapangan rezeki, dan siapa diantara mereka yang memiliki kondisi sebaliknya. Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا
“Sesungguhnya Rabb-mu melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya” (QS al-Israa : 30).
Berangkat dari hal tersebut di atas, Islam mendorong para pemeluknya untuk berakhlak dengan sifat yang mulia ini, rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قد أفلح من أسلم، ورُزق كفافًا، وقنعه الله بما آتاه
“Sungguh beruntung orang yang berislam, memperoleh kecukupan rezeki dan dianugerahi sifat qana’ah atas segala pemberian” (Hasan. HR. Tirmidzi).
Seorang dikatakan beruntung tatkala memperoleh apa yang diinginkan dan disukai serta selamat dari segala yang mendatangkan ketakutan dan kekhawatiran. Dalam hadits di atas rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan keberuntungan dengan tiga hal yaitu keislaman, kecukupan rezeki dan sifat qana’ah, karena dengan ketiganya seorang muslim akan mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat.
Dengan berislam seorang akan memperoleh keberuntungan karena Islam adalah satu-satunya agama yang diridlai Allah, sumber keberuntungan yang memberikan peluang untuk memperoleh pahala dan keselamatan dari siksa. Demikian pula, dengan rezeki yang mencukupi akan menjaga diri dari meminta-minta, dan dengan adanya sifat qana’ah akan mendorong untuk bersikap ridla, tidak menuntut dan tidak merasa kurang atas rezeki yang diterima. Boleh jadi seorang berislam, akan tetapi diuji dengan kefakiran yang melupakan, atau diberi kecukupan rezeki namun tidak memiliki sifat qana’ah, maka hal tersebut akan justru membuat hati tidak tenang dengan rezeki yang ada, sehingga berujung pada kefakiran hati dan jiwa (Bahjah Quluub al-Abraar wa Qurrah ‘Uyuun al-Akhyaar).
Maka, sifat qana’ah akan membawa seseorang keberuntungan sebagaimana yang dikatakan oleh al-Munawi,
قد أفلح من أسلم ورزق كفافًا: أي ما يكف من الحاجات ويدفع الضرورات، وقنعة الله بما آتاه: فلم تطمح نفسه لطلب ما زاد على ذلك؛ فمن حصل له ذلك فقد فاز
“Sungguh beruntung orang yang berislam, memperoleh kecukupan rezeki, yaitu rezeki yang dapat mencukupi kebutuhan dan mengantisipasi kondisi darurat. Dan dianugerahi sifat qana’ah, di mana jiwanya tidak berambisi untuk memperoleh melebihi kebutuhan. Maka siapa saja yang memiliki ketiga hal tersebut sungguh telah beruntung” (at-Taisir bi Syarh al-Jaami’ ash-Shaghiir).
Manfaat Qana’ah
Ketika dikatakan bahwa seorang yang memiliki sifat qana’ah akan beruntung, tentulah ada buah atau manfaat yang dapat dipetik dari sifat qana’ah yang akan mendorong kita untuk berakhlak dengannya. Di antara manfaat tersebut adalah:
1. Memperkuat iman
Dengan sifat qana’ahhati seorang hamba akan dipenuhi dengan keimanan, yakin kepada Allah serta ridla atas apa yang telah Dia tentukan, atas apa yang telah Dia bagi. Meski dalam ukuran kacamata manusia dia adalah seorang yang fakir, dia yakin bahwa Allah telah menjamin dan membagi rezeki pada hamba sehingga tidak ada rasa khawatir pada dirinya. Contoh akan hal ini banyak dipraktikkan oleh para salaf, khususnya nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana dalam beberapa hadits disebutkan akan sifat qana’ah beliau.
Di antaranya adalah ketika ‘Aisyah radliallahu ‘anha menuturkan bahwa beliau tidak pernah kenyang karena memakan roti dan zaitun lebih dari sekali dalam sehari. Dan juga dalam beberapa bulan, rumah-rumah rasulullah tidak pernah mengepulkan asap dan beliau beserta istri hanya mengandalkan kurma dan air. Meski demikian, beliau mencontohkan untuk tetap berlaku qana’ah, ridla atas rezeki yang diberikan Allah.
2. Membantu untuk merealisasikan rasa syukur
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كن ورعًا تكن أعبد الناس، وكن قنعًا تكن أشكر الناس
“Jadilah seorang yang wara’, niscaya engkau menjadi manusia yang paling baik dalam beribadah. Dan jadilah seorang yang qana’ah, niscaya engkau menjadi manusia yang paling bersyukur” (Shahih. HR. Ibnu Majah).
Seorang yang qana’ah terhadap rezeki yang diterima niscaya akan bersyukur kepada Allah. Dia menganggap dirinya sebagai orang yang kaya. Sebaliknya, jika tidak berlaku qana’ah, yang ada adalah perasaan merasa kurang, menganggap sedikit pemberian Allah, sehingga akan mengurangi keimanan atau bahkan mengundang murka Allah.
3. Memperoleh kehidupan yang baik (al-hayah ath-thayyibah)
Salah satu penafsiran terhadap al-hayah ath-thayyibah (kehidupan yang baik) sebagaimana dalam firman Allah di surat an-Nahl ayat 97 adalah sifat qana’ah. Penafsiran ini dikemukakan oleh sahabat ‘Ali dan Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhum (Tafsir ath-Thabari). Dalam ayat tersebut terkandung dalil bahwa Allah akan memuliakan para hamba-Nya yang beriman dengan memberikan hati yang tenang, kehidupan yang tenteram serta jiwa yang ridla, yang semua itu menunjukkan akan keutamaan qana’ah. Tidak diliputi kegelisahan karena merasa kekurangan atas jatah rezeki yang ditetapkan, tidak pula dihinggapi berbagai penyakit hati yang meresahkan jiwa sehingga terkadang mendorong seseorang melakukan perbuatan yang buruk. Di awal sudah disebutkan, bahwa hati yang baik akan melahirkan amalan lahiriah yang baik. Sebaliknya, hati yang buruk karena dijangkiti penyakit akan melahirkan perilaku yang buruk.
4. Menjaga dari perbuatan dosa
Ahli hikmah mengatakan,
وجدت أطول الناس غمًّا الحسود، وأهنأهم عيشًا القنوع
“Saya menjumpai bahwa orang yang paling banyak berduka adalah mereka yang ditimpa penyakit dengki. Dan yang paling tenang kehidupannya adalah mereka yang dianugerahi sifat qana’ah” (Ihya ‘Uluum ad-Diin).
Qana’ah akan membentengi pemiliknya dari berbagai sifat yang tercela dan perbuatan dosa. Salah satu sifat tercela yang kontra dengan sifat qana’ah adalah hasad atau dengki. Tidak jarang dikarenakan kedengkian seseorang melakukan berbagai perbuatan dosa, baik itu menggunjing (ghibah), mengadu domba (namimah), berdusta atau bahkan berbuat khianat dan tidak amanah dalam urusan harta, seperti korupsi misalnya. Kontra dengan seorang yang qana’ah, dengan sifat qana’ah yang dia miliki seorang hamba akan menempuh cara yang halal dalam mencari rezeki, bukan menerjang yang haram.
Semua perbuatan tercela di atas dilakukan karena motivasi duniawi, menginginkan harta yang lebih, merasa kurang atas rezeki yang diperoleh. Jika seorang berlaku qana’ah pastilah dia akan terhindar dari berbagai bentuk dosa besar tersebut, hatinya tidak akan terasuki rasa dengki terhadap rezeki yang Allah tetapkan kepada saudaranya, karena dia sendiri telah ridla terhadap apa yang dia miliki.
Ibnu Mas’ud radliallahu ‘anhu berkata,
اليقين ألا ترضي الناس بسخط الله، ولا تحسد أحدًا على رزق الله، ولا تَلُمْ أحدًا على ما لم يؤتك الله؛ فإن الرزق لا يسوقه حرص حريص، ولا يرده كراهة كاره؛ فإن الله – تبارك وتعالى – بقسطه وعلمه وحكمته جعل الرَّوْح والفرح في اليقين والرضى، وجعل الهم والحزن في الشك والسخط
“al-Yaqin adalah engkau tidak mencari ridla manusia dengan mengundang kemurkaan Allah, engkau tidak dengki kepada seorangpun atas rezeki yang ditetapkan Allah dan tidak mencela seorang pun atas sesuatu yang tidak diberikan Allah kepadamu. Sesungguhnya rezeki tidak akan diperoleh dengan ketamakan dan tidak akan tertolak karena kebencian. Sesungguhnya Allah ta’ala, dengan keadilan, ilmu, dan hikmah-Nya, menjadikan ketenangan dan kelapangan ada di dalam rasa yakin dan ridla kepada-Nya serta menjadikan kegelisahan dan kesedihan ada di dalam keragu-raguan (tidak yakin atas takdir Allah) dan kebencian (atas apa yang telah ditakdirkan Allah)” (Syu’ab al-Imaan).
5. Memperoleh kekayaan yang hakiki
Beberapa hadits nabi menjelaskan bahwa kekayaan hakiki itu letaknya di hati, yaitu sifat qana’ah atas rezeki yang telah diberikan Allah, bukan terletak pada kuantitas harta.
Ibnu Baththal menjelaskan sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, -di mana beliau mengatakan bahwa kekayaan hakiki adalah kekayaan hati-,
معنى الحديث ليس حقيقة الغنى كثرة المال، فكثير من الموسع عليه فيه لا ينتفع بما أوتي، جاهد في الازدياد لا يبالي من أين يأتيه. فكأنه فقير من شدة حرصه، وإنما حقيقة الغنى غنى النفس، وهو من استغنى بما أوتي وقنع به ورضي ولم يحرص على الازدياد ولا ألحّ في الطلب. وقال القرطبي: وإنما كان الممدوح غنى النفس لأنها حينئذ تكفّ عن المطامع فتعزّ وتعظم، ويحصل لها من الحظوة والشرف والمدح أكثر من الغنى الذي يناله مع كونه فقير النفس لحرصه، فإنه يورّطه في رذائل الأمور وخسائس الأفعال لدناءة همته وبخله وحرصه، فيكثر من يذمه من الناس فيصغر قدره عندهم فيصير أحقر من كل حقير وأذلّ من كل ذليل
“Arti hadits ini adalah kuantitas harta yang banyak bukanlah kekayaan yang hakiki. Banyak orang yang memperoleh keluasan harta tidak mampu mengambil manfaat dari harta yang diperoleh, mereka bersungguh-sungguh mencari harta yang berlimpah tanpa mempedulikan dari mana harta itu berasal, seolah-olah dirinya adalah seorang yang fakir karena saking semangat dalam mencari. Sesungguhnya kekayaan hakiki adalah kekayaan hati, yaitu dengan merasa cukup, qana’ah, dan ridla terhadap apa yang diberi serta tidak tamak mencari dan terus-terusan meminta kelebihan harta. Al-Qurthubi berkata, “Sifat yang terpuji adalah kaya hati karena akan mampu mencegah seorang dari berbagai ambisi yang tak akan berhenti jika dituruti. Dengan sifat tersebut seorang akan memperoleh kehormatan, kemuliaan, dan pujian yang lebih daripada mereka yang kaya harta namun sesungguhnya berhati miskin saking tamaknya dalam mencari harta. Hal itu justru akan menjerumuskan ke dalam berbagai perbuatan yang hina dan tak beretika karena terdorong oleh hasrat yang rendah, sifat pelit, dan ketamakan. Dengan demikian, banyak orang akan mencelanya, memandang remeh kedudukannya meski dia kaya harta, sehingga dia pun menjadi seorang yang paling rendah dan hina” (Syarh Shahih al-Bukhari).
Tolok ukur kaya dan miskin itu terletak di hati. Siapa yang kaya hati, tentu akan hidup dengan nyaman, penuh kebahagiaan dan dihiasi dengan keridlaan, meski di kehidupan nyata dia tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya sehari-hari. Sedangkan seorang yang miskin hati, meski memiliki segala apa yang ada di bumi kecuali uang seratus perak, niscaya akan tetap memandang bahwa kekayaannya terletak pada seratus perak tersebut. Dirinya tidak akan merasa cukup, kecuali dia telah memiliki uang itu. Demikianlah, qana’ah pada hakikatnya adalah kaya hati, kenyang dengan apa yang ada di tangan, tidak tamak, tidak pula cemburu dengan harta orang lain, tidak juga meminta lebih terus menerus, karena jika terus terusan meminta lebih, itu berarti masih miskin.
6. Memperoleh kemuliaan
Mulia, seorang yang qana’ah tidak akan menyusahkan orang lain dengan berharap mereka memenuhi kebutuhannya. Mulia karena seorang yang qana’ah tidak akan mudah untuk meminta-minta kepada manusia. Dalam sebuah hadits disebutkan,
شَرفُ المؤمِنِ قيامُ اللَّيلِ وعزُّهُ استِغناؤُهُ عنِ النَّاسِ
“Kehormatan seorang mukmin terletak pada shalat malam dan kemuliaannya terletak pada ketidakbergantungannya pada manusia” (Shahih al-Isnad. HR. al-Hakim).
Kiat Memperoleh Qana’ah
Untuk memperoleh sifat qana’ah, kita dapat menempuh beberapa cara berikut:
1. Memperkuat keimanan terhadap takdir Allah, kesabaran dan tawakkal
Rezeki termasuk salah satu yang telah ditakdirkan Allah bagi setiap hamba-Nya bahkan ketika dia belum terlahir ke dunia dan masih berada dalam rahim sang ibu, bahkan sejak azali seluruh hal yang terkait dengan hamba-Nya telah ditetapkan oleh-Nya. Jika kita benar-benar memahami hal ini, maka rasa gelisah atas rezeki yang ada tidak sepatutnya terjadi.
Oleh karenanya, keimanan terhadap takdir Allah merupakan pondasi yang dapat melahirkan sifat qana’ah, diiringi dengan memperkuat sifat sabar dan tawakkal. Ketika sifat qana’ah tidak terdapat dalam diri kita berarti ada kekurangan dalam keimanan terhadap takdir Allah, kesabaran kita masih minim, begitu pula dengan rasa tawakkal.
2. Mentadabburi firman Allah ta’ala dan hadits nabi
Merenungi firman-firman Allah ta’ala dan hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terutama berbagai ayat yang menerangkan tentang rezeki dan usaha yang dikerahkan manusia untuk memperoleh penghidupan, yang semuanya itu berpulang pada takdir Allah. Allah berfirman menerangkan bahwa Dia telah menetapkan rezeki kepada para hamba-Nya,
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)” (Huud: 6).
Begitu juga firman Allah yang menanamkan nilai bahwa campur tangan manusia sama sekali tidak mempengaruhi seluruh rezeki yang telah Dia tetapkan,
مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Apa saja yang Allâh anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh-Nya maka tidak ada seorang pun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu” (Faathir: 2).
Atau sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa seorang tidak akan diwafatkan kecuali setelah Allah menyempurnakan jatah rezeki yang ditetapkan untuknya,
أيها الناس اتقوا الله و أجملوا في الطلب فإن نفسا لن تموت حتى تستوفي رزقها و إن أبطأ عنها فاتقوا الله و أجملوا في الطلب خذوا ما حل و دعوا ما حرم
“Wahai manusia bertakwalah kalian kepada Allah dan carilah rezeki dengan cara yang baik, sesungguhnya seorang itu tidak akan mati sehingga lengkap jatah rezekinya. Jika rezeki itu terasa lambat datangnya, maka bertakwalah kepada Allah dan carilah dengan cara yang, ambillah yang halal dan tinggalkanlah yang haram” (Shahih. HR. Al Baihaqi).
3. Memahami hikmah Allah menciptakan perbedaan rezeki dan kedudukan di antara hamba
Salah satu hikmah terjadi perbedaan rezeki di antara hamba adalah apa yang difirmankan Allah,
أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَةُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan” (az-Zukhruf: 32).
Salah satu hikmah timbulnya perbedaan rezeki sehingga ada yang kaya dan yang miskin adalah agar kehidupan di bumi bisa berlangsung, terjadi hubungan timbal-balik di mana kedua pihak saling mengambil manfaat, yang kaya memberikan manfaat kepada yang miskin dengan harta, sedangkan yang miskin memberikan bantuan tenaga kepada yang kaya, sehingga keduanya menjadi sebab kelangsungan hidup bagi yang lain (Tafsir al-Baghawi).
Selain itu, kondisi kaya dan miskin itu merupakan ujian, dengan keduanya Allah hendak melihat siapakah di antara para hamba-Nya yang berhasil,
هُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ الْأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آَتَاكُمْ
“Dan Dialah yang menjaadikan kamu khalifah (penguasa-penguasa yang saling menggantikan) di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian yang lain beberapa derajat untuk mengujimu terkait apa yang diberikannya kepada kamu” (QS Al-An’am: 165).
4. Berdo’a
Memohon agar kita dianugerahi sifat qana’ah. Praktik nabi mencontohkan hal tersebut, kehidupan ekonomi beliau yang bersahaja tidak membuat beliau mengeluh, bahkan beliau berdo’a kepada Allah agar rezeki beliau dan keluarga sekedar untuk menutup lapar. Menunjukkan betapa qana’ah pribadi beliau. Kita dapat mencontoh beliau, memohon agar Allah memberikan kita sifat qana’ah. Salah satu do’a yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbad radliallahu ‘anhuma adalah do’a berikut,
اللَّهُمَ قَنِّعْنِي بِمَا رَزَقْتَنِي، وَبَارِكْ لي فِيهِ، وَاخْلُفْ عَلَيَّ كُلَّ غَائِبَةٍ لِي بِخَيْرٍ
“Ya Allah, jadikanlah aku orang yang qana’ah terhadap rezeki yang Engkau beri, dan berkahilah, serta gantilah apa yang luput dariku dengan sesuatu yang lebih baik” (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad).
5. Melihat kondisi mereka yang berada di bawah kita
Di dunia ini kita pasti akan menemukan orang yang memiliki kondisi ekonomi di bawah kita. Jika kita ditakdirkan ditimpa musibah, pasti di sana ada mereka yang diuji dengan musibah yang lebih daripada kita. Jika kita ditakdirkan menjadi orang yang fakir, pasti di sana ada orang yang lebih fakir. Oleh karenanya, mengapa kita menengadahkan kepala, melihat kondisi orang yang diberi kelebihan rezeki tanpa melihat mereka yang berada di bawah?
Jika kita sering memperhatikan orang yang diberi kelebihan harta dan kedudukan sementara dia mungkin tidak memiliki skill, kecerdasan, dan perilaku seperti kita, mengapa diri kita tidak mengingat bahwa di sana betapa banyak orang yang memiliki keunggulan serupa dengan kita atau bahkan lebih, namun dirinya tidak ditakdirkan untuk memperoleh setengah dari rezeki yang Allah berikan kepada kita?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan,
إذا رأى أحدكم مَنْ فوقه في المال والحسب فلينظر إلى من هو دونه في المال والحسب
“Jika engkau melihat seorang yang memiliki harta dan kedudukan yang melebihimu, maka lihatlah orang yang berada di bawahmu” (Shahih. HR. Ibnu Hibban).
Beliau juga mengatakan,
انظروا إلى من أسفل منكم ولا تنظروا إلى من هو فوقكم؛ فهو أجدر أن لا تزدروا نعمة الله
“Perhatikanlah mereka yang kondisi ekonominya berada di bawahmu dan janganlah engkau perhatikan mereka yang kondisi ekonominya berada di atasmu. Niscaya hal itu akan membuat dirimu tidak meremehkan nikmat Allah yang diberikan kepadamu” (Shahih. HR. Bukhari dan Muslim).
6. Membaca sirah para pendahulu yang shalih
Sebagian ulama pernah mengatakan bahwa kisah kehidupan salaf adalah sebagian dari bala tentara Allah, dengannya Allah meneguhkan hati para kekasih-Nya. Betapa banyak hati yang mengalami perbaikan, memperoleh tambahan semangat untuk beribadah setelah pemiliknya membaca perikehidupan para salaf.
Begitu pula untuk meraih sifat qana’ah, kita dapat membaca bagaimana sikap mereka terhadap dunia, kezuhudan serta keridlaan mereka dengan kondisi ekonomi yang sulit. Dunia telah dibentangkan di hadapan mereka, namun mereka menolak karena lebih mendahulukan balasan yang abadi ketimbang balasan yang disegerakan di dunia, nrimo dengan yang sedikit demi memperoleh balasan yang banyak. Semua hal itu akan menjadikan kita untuk lebih mendambakan kehidupan akhirat dan menganggap kecil segala bentuk perhiasan dunia yang tidak lekang.
Contoh yang baik dalam hal ini adalah kisah tatkala ‘Umar bin al-Khaththab mengunjungi rumah ‘Ubaidah ‘Aamir bin al-Jarraah. ‘Umar menangis ketika memasuki rumah ‘Ubaidah. Beliau menangis dikarenakan di rumah ‘Ubaidah hanya terdapat pedang, perisai dan tas yang sering digunakan beliau. Padahal ‘Ubaidah adalah seorang komandan pasukan, seorang yang digelari amiinu hadzihi al-ummah, orang yang paling amanah di umat ini. Ketika ‘Umar bertanya mengapa dia tidak membeli perabot untuk menghias rumah seperti yang dilakukan orang lain, ‘Ubaidah hanya menjawab bahwa apa yang dia miliki sekarang, itulah yang akan mampu menghantarkannya kepada surga, tempat peristirahatan kelak. Semoga Allah meridlai mereka berdua.
7. Memahami bahwa harta dapat membawa dampak buruk
Kekayaan jika tidak diperoleh dan disalurkan dengan cara yang baik sesuai syari’at justru akan membawa keburukan dan kesengsaraan bagi pemiliknya. Problem bagi pemilik harta adalah proses audit yang akan diterapkan dari dua sisi, yaitu bagaimana harta itu diperoleh dan kemana disalurkan. Hal inilah yang menjadikan konsekuensi dari kepemilikan harta bukanlah sesuatu yang mudah, bisa berujung pada petaka bagi pemiliknya, kecuali mereka yang bertakwa kepada Allah dalam mencari dan membelanjakan hartanya.
Selain itu, kita dapat membayangkan bahwa seorang dengan harta yang minim akan mengalami proses hisab di akhirat yang lebih ringan dan cepat daripada mereka yang memiliki harta yang banyak. Hal ini dapat dianalogikan dengan seorang yang bersafar menggunakan pesawat dan membawa barang yang banyak. Jika telah sampai di tujuan, dirinya akan melalui proses investigasi yang lama di bandara, berkebalikan dengan seorang yang bersafar tanpa membawa barang yang banyak. Dan ingat, hisab yang akan kita hadapi di hari akhirat kelak lebih sulit, lebih teliti dan lebih lama prosesnya.
Lihat pula mereka yang harta dan kedudukannya menjadi sebab kesengsaraan, kegelisahan, kecemasan atau bahkan sebab yang membuat dirinya sakit. Berpeluh dalam mengumpulkan harta dan meraih kedudukan, kemudian menyewa jasa pengamanan untuk menjaganya. Lihatlah apa yang dialami oleh mereka ketika musibah menimpa harta dan kedudukannya.
8. Memahami bahwa antara yang kaya dan yang miskin hanya terjadi perbedaan yang tipis
Perbedaan kondisi antara yang kaya dan yang miskin betapa pun besarnya di mata kita, pada hakikatnya hanya perbedaan yang tipis. Seorang yang ditakdirkan Allah dalam keadaan kaya hanya mampu memanfaatkan sebagian kecil dari hartanya, yaitu sekedar apa yang menutupi kebutuhan. Adapun kelebihan dari harta yang dia miliki, pada akhirnya tidak mampu dia manfaatkan seluruhnya meski itu adalah miliknya.
Contohnya, jika kita melihat manusia terkaya di dunia ini, kita akan melihat bahwa dia tidak akan mampu menyantap makanan dengan kuantitas melebihi apa yang dibutuhkan oleh orang yang lebih miskin, bahkan terkadang yang miskin lebih banyak makannya ketimbang dirinya. Lebih ekstrim lagi, apakah seorang yang kaya mampu untuk menghabiskan seratus hidangan yang telah dibeli dengan seketika? Apakah dia mampu tinggal dalam satu waktu di seratus rumah yang telah dia beli? Atau mengendarai seratus mobil dan motor yang dia miliki dalam satu kali kesempatan?
Jika jawabannya tidak, maka yang jadi pertanyaan atas dasar apa kita dengki dengan apa yang dimiliki oleh mereka? Inilah yang dipahami oleh sahabat Abu ad-Darda radliallahu ‘anhu, hakiimu hadzihi al-ummah, orang yang paling bijaksana di umat ini, beliau mengatakan,
أهل الأموال يأكلون ونأكل، ويشربون ونشرب، ويلبسون ونلبس، ويركبون ونركب، ولهم فضول أموال ينظرون إليها وننظر إليها معهم، وحسابهم عليها ونحن منها برآء
“Orang yang kaya makan dan kami pun juga makan, mereka minum begitupula dengan kami, kami berpakaian sebagaimana juga dengan mereka, kami berkendara demikian pula dengan mereka, mereka memiliki harta yang berlebih untuk dilihat bersama-sama dengan kami. Namun mereka dihisab atas harta tersebut, adapun kami berlepas diri dari hal tersebut” [az-Zuhd].
Beliau juga mengatakan,
الحمد لله الذي جعل الأغنياء يتمنون أنهم مثلنا عند الموت، ولا نتمنى أننا مثلهم حينئذ، ما أنصَفَنا إخوانُنا الأغنياء: يحبوننا على الدِّين، ويعادوننا على الدنيا
“Segala puji bagi Allah yang menjadikan orang kaya berangan-angan agar menjadi seperti kami ketika menghadapi kematian, sedangkan kami pada saat itu tidak berkeinginan menjadi seperti mereka. Saudara kami yang kaya tidak berlaku adil, mereka mencintai kami karena menginginkan agama kami, namun mereka memusuhi kami karena dunia yang mereka miliki” [al-Mutamanniyin].
Dengan mengetahui hakikat ini akan mudah bagi kita untuk membiasakan diri agar qana’ah atas segala pemberian Allah.
Semoga penjelasan yang telah disampaikan di atas dapat bermanfaat dalam membantu penulis dan sidang pembaca agar mampu memiliki sifat qana’ah dalam kehidupan ini. Wa billahi at-taufiiq.
0 komentar: