Pacaran bukanlah sesuatu yang asing lagi pada zaman ini, terutama
bagi anak2 muda. Tanyalah, anak muda mana yang tidak berpacaran? mungkin
ada,tapi hanya segelintir saja. Sedangkan mayoritasnya sedang enak
berpacaran dengan alasan ingin menumpahkan kasih sayag. Lebih parah
lagi, apabila perkara ini dilakukan oleh aktivis da’wah sendiri. "kami
berpacaran untuk menda’wah mereka”, "kami ingn mengajak mereka mendekati
Islam”.
Renunglah sebuah kisah tentang da’wah dusta ini…
Buah
kisah cantik yang dikutip oleh Syaikh ’Abdullah Nashih ’Ulwan dalam
Taujih Ruhiyah-nya. Kisah menarik ini, atau yang semakna dengannya juga
termaktub dalam karya agung Ibnul Qayyim Al Jauziyah yang khusus
membahas para pencinta dan pemendam rindu, Raudhatul Muhibbin.
Ini
kisah tentang seorang gadis yang sebegitu cantiknya. Dialah sang bunga
di sebuah kota yang harumnya semerbak hingga negeri-negeri tetangga. Tak
banyak yang pernah melihat wajahnya, sedikit yang pernah mendengar
suaranya, dan bisa dihitung jari orang yang pernah berurusan dengannya.
Dia seorang pemilik kecantikan yang terjaga bagaikan bidadari di taman
surga.
Sebagaimana wajarnya, sang gadis juga memendam
cinta. Cinta itu tumbuh, anehnya, kepada seorang pemuda yang belum
pernah dilihatnya, belum pernah dia dengar suaranya, dan belum tergambar
wujudnya dalam benak. Hanya karena kabar. Hanya karena cerita yang
beredar. Bahwa pemuda ini tampan bagai Nabi Yusuf zaman ini. Bahwa
akhlaqnya suci. Bahwa ilmunya tinggi. Bahwa keshalihannya membuat iri.
Bahwa ketaqwaannya telah berulangkali teruji. Namanya kerap muncul dalam
pembicaraan dan doa para ibu yang merindukan menantu.
Gadis
pujaan itu telah kasmaran sejak didengarnya sang bibi berkisah tentang
pemuda idaman. Tetapi begitulah, cinta itu terpisah oleh jarak,
terkekang oleh waktu, tersekat oleh rasa asing dan ragu. Hingga hari itu
pun tiba. Sang pemuda berkunjung ke kota si gadis untuk sebuah urusan.
Dan cinta sang gadis tak lagi bisa menunggu. Ia telah terbakar rindu
pada sosok yang bayangannya mengisi ruang hati. Meski tak pasti adakah
benar yang ia bayangkan tentang matanya, tentang alisnya, tentang lesung
pipitnya, tentang ketegapannya, tentang semuanya. Meski tak pasti
apakah cintanya bersambut sama.
Maka ditulisnyalah surat
itu, memohon bertemu. Dan ia mendapat jawaban. ”Ya”, katanya. Akhirnya
mereka bertemu di satu tempat yang disepakati. Berdua saja. Awal-awal
tak ada kata. Tapi bayangan masing-masing telah merasuk jauh menembus
mata, menghadirkan rasa tak karuan dalam dada. Dan sang gadis yang
mendapati bahwa apa yang ia bayangkan tak seberapa dibanding aslinya;
kesantunannya, kelembutan suaranya, kegagahan sikapnya.
Ia
berkeringat dingin. Tapi diberanikannya bicara, karena demikianlah
kebiasaan yang ada pada keluarganya.”Maha Suci Allah”, kata si gadis
sambil sekilas kembali memandang, ”Yang telah menganugerahi engkau wajah
yang begitu tampan.”
Sang pemuda tersenyum. Ia menundukkan
wajahnya. ”Andai saja kau lihat aku”, katanya, ”Sesudah tiga hari
dikuburkan. Ketika cacing berpesta membusukkannya. Ketika ulat-ulat
bersarang di mata. Ketika hancur wajah menjadi busuk bernanah. Anugerah
ini begitu sementara. Janganlah kau tertipu olehnya.”
”Betapa inginnya aku”, kata si gadis, ”Meletakkan jemariku dalam genggaman tanganmu.”
Sang
pemuda berkeringat dingin mendengarnya. Ia menjawab sambil tetap
menunduk memejamkan mata. ”Tak kurang inginnya aku berbuat lebih dari
itu. Tetapi coba bayangkan, kulit kita adalah api neraka; yang satu bagi
yang lainnya. Tak berhak saling disentuhkan. Karena di akhirat kelak
hanya akan menjadi rasa sakit. dan penyesalan yang tak berkesudahan.”
Si
gadis ikut tertunduk. ”Tapi tahukah engkau”, katanya melanjutkan,
”Telah lama aku dilanda rindu, takut, dan sedih. Telah lama aku
merindukan saat aku bisa meletakkan kepalaku di dadamu yang berdegub.
Agar berkurang beban-beban. Agar Allah menghapus kesempitan dan
kesusahan.
”Jangan lakukan itu kecuali dengan haknya”, kata si
pemuda. ”Sungguh kawan-kawan akrab pada hari kiamat satu sama lain akan
menjadi seteru. Kecuali mereka yang bertaqwa.”
Kita cukupkan sampai di sini sang kisah. Mari kita dengar komentar Syaikh ’Abdullah Nashih ’Ulwan tentangnya.
"Apa yang kita pelajari dari kisah ini?”, demikian beliau bertanya.
"Sebuah
kisah yang indah. Sarat dengan ’ibrah dan pelajaran. Kita lihat bahwa
sang pemuda demikian fasih membimbing si gadis untuk menghayati kesucian
dan ketaqwaan kepada Allah.”
”Tapi”, kata beliau memberi catatan.
”Dalam kisah indah ini kita tanpa sadar melupakan satu hal. Bahwa sang
pemuda dan gadis melakukan pelanggaran syari’at. Bahwa sang pemuda
mencampuradukkan kebenaran dan kebathilan. Bahwa ia meniupkan nafas
da’wah dalam atmosfer yang ternoda. Dan dampaknya bisa kita lihat dalam
kisah; sang gadis sama sekali tak mengindahkan da’wahnya. Bahkan ia
makin berani dalam kata-kata; mengajukan permintaan-permintaan yang
makin meninggi tingkat bahayanya dalam pandangan syari’at Allah.
"Ya.
Dia sama sekali tak memperhatikan isi kalimat da’wah sang pemuda.
Buktinya, kalimatnya makin berani dan menimbulkan syahwat dalam hati.
Mula-mula hanya mengagumi wajah. Lalu membayangkan tangan bergandengan,
jemarinya menyatu bertautan. Kemudian membayangkan berbaring dalam
pelukan. Subhanallah, bagaimana jika percakapan diteruskan tanpa batas
waktu?"
”Kesalahan itu”, kata Syaikh ’Abdullah Nashih ’Ulwan memungkasi, ”Telah terjadi sejak awal.” Apa itu?
"Mereka berkhalwat! Mereka tak mengindahkan peringatan syari’at dan pesan Sang Nabi tentang hal yang satu ini.
”Ya. Mereka berkhalwat! Bersepi berduaan. Ya. Sang pemuda memang sedang berda’wah.
Tapi
meminjam istilah salah seorang Akh yang paling saya cintai dalam ’surat
cinta’-nya yang masih saya simpan hingga kini, ini adalah ”Da’wah
dusta!”
Da’wah dusta. Di jalan cinta para pejuang, mari
kita hati-hati terhadap jebakan syaithan. Karena yang tampak indah
selalu harus diperiksa dengan ukuran kebenaran.
by Salim A. Fillah
Da’wah Dusta (?)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar: