“Ketika cita-cita sesederhana menjadi seorang ibu rumah tangga
biasa menjadi begitu langka dan sulit sekali terlaksana.. Ketika begitu
sedikit dari mereka yang bercita-cita jadi ibu rumah tangga seutuhnya..
Maka dengan seizin-Mu Yaa Rabb.. Perkenankanlah saya menjadi bagian dari
yang sedikit itu.. Amiin.”
Ketika menulis catatan ini saya adalah seorang remaja yang berada
dalam masa peralihannya menjadi seorang wanita dewasa, sedang
menuntaskan tugas akhirnya di sebuah perguruan tinggi swasta kelas
karyawan dan tinggal selangkah lagi menjadi sarjana.
Seorang wanita yang berada pada masa gemilangnya dalam meniti karir,
bekerja di tempat yang baik dengan penghasilan yang sangat baik, anak
perempuan yang membanggakan, kakak yang walaupun tidak terang-terangan
dinantikan tetapi selalu dirindukan dan menjadi panutan, sahabat yang
hangat, teman yang menyenangkan, rekan kerja yang walaupun sering datang
terlambat, tetapi selalu dimaafkan karena rajin membawa makanan..
Entah semua itu benar adanya atau tidak. Yang jelas saya selalu
percaya pada insting dan bagaimana cara hati membawa saya untuk merasa.
Sepintas, semua yang saya miliki, kehidupan saya yang nyaris begitu
sempurna, adalah apa yang sebagian perempuan zaman sekarang impikan.
Karir, pendidikan, keluarga, teman.
Saya amat sangat bersyukur dengan
keadaan saya. Semua yang Allah titipkan pada saya sekarang adalah apa
yang dahulu pernah saya cita-citakan.
Alhamdulillah.. Allah memberikan kesempatan untuk merasakan dan
membimbing bagaimana harus menyikapi begitu banyak cita-cita yang
terlaksana menjadi nyata ini dengan baik dan bijaksana. Saya jadi
teringat kutipan dari seorang ustazah, “Muslimah yang berjuang dalam
kebaikan adalah mereka yang selalu to be continued.. berkelanjutan dan terus menerus…”
Kemudian saya dihadapkan pada sebuah pertanyaan sederhana, “Apa cita-cita saya berikutnya?”
Di sinilah, di usia saya yang masih belum genap dua puluh dua tahun,
saya merasa jadi lebih tua karena sepertiga partisi dari otak saya
didominasi sesuatu yang sedang saya pertimbangkan untuk menjadi
cita-cita saya di masa yang akan datang. Menjadi seorang ibu rumah
tangga saja. Sederhana.
Sepertinya mudah, tetapi entah dari sudut pandang mana saya
menilainya, sekedar membayangkannya saja sulit sekali rasanya. Padahal
pada hakikatnya, rumah tangga adalah ladang pahala yang sangat luas bagi
seorang wanita.
Semuanya tidak lagi membanggakan ketika memiliki cita-cita menjadi
ibu rumah tangga biasa dan seutuhnya mengabdikan diri kepada keluarga
saja. Saya butuh waktu yang cukup lama untuk menimbang, malah bimbang,
bahkan gamang.
Pelan-pelan mimpi itu bergumul dalam pikiran saya. Menyediakan bekal
untuk suami tercinta, memberikan rumah yang bersih dan nyaman
sepulangnya, pakaian yang bersih, wangi, dan tersetrika rapi. Betapa
membahagiakannya bila saya bisa mengerjakannya sendiri, tanpa bergantung
pada si “Mbak” (pembantu-red). Sungguh saya tidak bisa membayangkan bagaimana saya akan cemburu jika suami lebih menyukai dan menikmati masakan si “Mbak”.
Kemudian … menjaga calon buah hati kami, membekalinya dengan gizi dan
pendidikan yang baik bahkan jauh sebelum kelahirannya, mengenalkannya
pada rangkaian hijaiyah, membacakannya cerita, mengobrol dengannya, ikut
membangunkannya di waktu subuh.
Saya tidak ingin kehilangan
moment-moment penting dalam sembilan bulan itu.
Tidak ingin menyia-nyiakan dan membiarkannya berlalu begitu saja
karena kesibukan saya bekerja. Saya tidak ingin hanya disibukkan
mempersiapkan popok, baju, dan alas tidurnya. Saya ingin sibuk
mempersiapkan kesiapannya menjadi seorang manusia.
Dan ketika Allah mengizinkan ia lahir ke dunia, betapa tidak inginnya
cuti tiga bulan yang diberikan perusahaan kepada saya membatasi
kebahagiaan saya. Saya tidak ingin rutinitas menyusuinya, memandikan,
mengganti popoknya, berlangsung rutin hanya dalam tiga bulan saja. Saya
tidak ingin kehilangan 8 jam dalam sehari dengan tidak melihat ia tumbuh
besar dan pintar. Saya tidak ingin kehilangan menyaksikan langkah
pertamanya.
Namun dengan intensitas yang sama, kekhawatiran yang lain juga hadir
menyertainya. Bagaimana jika kelak saya berjodoh dengan seseorang yang
biasa saja? Bukan mereka yang berpenghasilan “wah” tiap bulannya? Biaya
perlengkapan anak, susu, dan pendidikan zaman sekarang kan mahal?
Lantas bagaimana dengan kehidupan sosial yang saya tinggal di luar
sana? Lantas bagaimana jika (Naudzubillahi Min Dzaalika) suami yang saya
tercinta berpulang ke rahmatullah di waktu yang tidak saya duga
sebelumnya, sedangkan saya harus menggantikannya sebagai kepala
keluarga?
No Execuse!! Allah telah menentukan dan mengatur jodoh,
rezeki, dan maut bagi tiap-tiap kita. Banyak cara untuk mengupayakan
rezeki yang disebar-Nya di seluruh muka bumi ini. Niat yang baik akan
beriring dengan hasil yang baik, Insya Allah.
Rumah adalah sekolah dan madrasah paling murah bagi anak-anak kita,
dan baik tidaknya kualitas pendidikan yang mereka terima itu bergantung
pada kita, orang tua mereka. Maka bersemangatlah, Allah menghadirkan
masalah berpasangan dengan solusinya. Pasti.
“Semoga Allah memberikan kemantapan hati jika cita-cita itu bukan
sesuatu yang salah, menjadikannya tidak sebatas pada keinginan, tetapi
juga kebutuhan. Semoga Allah memperkenankan cita-cita sederhana saya
menjadi nyata, meridainya dan menjadikannya jalan terbaik yang
dipilihkan-Nya untuk saya, memberi kemudahan bagi kami untuk melalui
aral-melintangnya. Percaya bahwa Allah akan menjaga dan memelihara apa
yang menjadi kepunyaan-Nya. Percaya bahwa berkarya menjemput rezeki-Nya
bisa dimana saja. Percaya bahwa tidak ada sandaran hidup yang lebih baik
selain Allah.”
sumber
Cita Cita yang Sederhana…
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar: