Aku tahu dan sadar. Sayang dan sialnya, aku tak mau kesadaran itu
terus menetap atau lebih sering dihalau ketika dari hati. Sombong! Fatal
benar kesalahanku ini. Dan bodoh bukan diriku yang enggan menyadari
bahwa diri ini sombong. Atau mungkin kesombongan itu begitu lembut.
Sampai tak terasa keberadaannya. Atau juga kesombongan itu tersembunyi
dibalik kebenaran yang diada-adakan dan lainnya.
Aku mendapat kemalangan kecil, tak suka. Marah. Bukankah ini berarti
tak menginginkan kesusahan itu dan merasa harus mendapat yang bahagia
saja. Angkuh benar. Ketika sesuatu tak berjalan dengan keinginan, aku
juga kesal. Marah. Bukankah ini berarti rencanaku adalah yang benar jadi
harus terlaksana. Sombong!
Ketika kebahagiaan tak jadi datang hampiriku, aku sedih. Marah.
Merasa sangat pantas mendapatkan kebahagiaan dan harus merasa bahagia.
Begitu pula ketika keinginanku tak kudapat. Selalu merasa aku sebaiknya
begini, aku harusnya mendapat yang baik dan selalu bahagia. Semua itu
karena ada satu pikiran bahwa aku ini baik, aku taat ibadah dan
pikiran-pikiran sombongku. Jadi, inilah kesombongan yang bersembunyi
dibalik kemarahanku.
Lalu kesombongan yang lembut adalah ketika aku melihat orang lain
sholat terlambat, pikiran ini langsung mencibir. Ketika orang lain tak
berjilbab, hati ini pun menghina. Ketika mendengar ceramah ustadz yang
sesuai diri ini, hati melayang. Dan masih banyak lagi yang merendahkan
orang lain dan melambungkan diri. Jadilah kesombongan itu tak terasa
karena begitu halus dan sering dilakukan.
Maka aku harus benar-benar membuka mata hati agar melihat sombong
yang terbawa dan tersembunyi dibalik kemarahanku. Teliti kenapa aku
marah. Lalu cari hakikatnya. Bahwa diri ini tak tahu apa pun pada setiap
kejadian. Tak tahu esensinya. Hanya Allah yang tahu segalanya.
Aku memang buruk dan sedang futur sehingga Allah sadarkan dengan
kesusahan, itu kan jauh lebih menguntungkan daripada merasa tak terima
dengan kesusahan. Karena aku akan taubat, bukannya menghanguskan amal
dengan marahku. Kemudian merasai dengan sehalus-halusnya kesombonganku.
Ketika mencibir orang lain, segera menyadari radar hati yang berbunyi.
Apa yang tengah dilakukan.
Sombong kah. Merasa lebih baik dari orang
lain. Oh... itu sungguh kesombongan yang nyata.
Jangan sampai aku terseret sombong samar dan sombong halus. Jangan
terjebak. Jangan memanjakan kedua jenis sombong itu dengan membiarkan
mereka di hati dan fikir. Berhenti! Segera berhenti ketika sombong itu
mulai tersadari. Kalau lalai benar, ketika sadar harus segera mohon
ampun. Kesombongan sekecil apa pun Allah tahu. Dan Allah sangat membenci
orang yang sombong, astaghfirullah...
Tak terbayangkan ketika dibenci Allah. Jadi aku harus sering-sering
membersihkan hati dari sombong dan peka dengan sombong. Bukankah ketika
kaca yang bersih akan terasa ketika debu menempel...
"Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri." (QS. An-Nisa [4] : 36)
(http://www.eramuslim.com/oase-iman/najmi-haniva-kesombonganku.htm)
Kesombonganku!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar: