Dan aku, malah makin menggenggam dunia dengan kedua tanganku. Menjaganya dengan penuh perhatian. Pandangan pun selalu tertuju padanya. Mencintai dunia. Sehingga tertutup cinta lainnya. Karena hati ini penuh dengan cinta fana. Bahkan sesungguhnya cinta yang menghancurkan.
Dan tahukah, sudah seperti ini pun, aku tak sadar. Malah kufur. Masih ingin lain lagi. Susah karena belum dapat ingin-ingin itu. Mengeluhkan segala kekurangan. Membanding-bandingkan lagi. Semuanya jadi terasa sempit.
Maka sadarlah diriku ketika membaca surat Ar-Rahman. Terutama ayat yang berulang-ulang tertulis, Fabiayyi Aaalaaaa ‘irobbikumaa tukaddzibaan... Terus pula ku ulang membacanya. Terasa kian dalam makna kalimatnya. Seolah Allah tengah bertanya padaku, “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” Tentu jika ditanya seperti itu, aku merasa sangat malu dan buruk, betapa dustanya diriku.
Karena tak bersyukur juga dengan segala nikmat yang diberikan Allah. Buktinya aku masih juga memenuhi keinginanku. Terfokus pada usaha memenuhi ingin itu. Apalagi kalau bukan karena nafsu. Birahi. Keburukan diri yang terus dituruti. Ampun Ya Allah...
Aku tak mau dikendalikan oleh duniawi. Bernafsu untuk mendapatkan dan memegang erat, Bukan karena takut sakit ketika kehilangan. Namun karena aku tak mau cintaMu tak dapat kurasa ketika hatiku terisi banyak oleh cinta dunia.
Tak mau cintaku kepadaMu terdesak dan terhimpit. Tak ingin hatiku sempit oleh cinta celaka itu. Lagipula, cinta itu hanya melelahkan aku, menyusahkan aku, melalaikanku. Aku kelelahan.
Kemudian aku tak mau menjadi orang yang selalu mendustakan nikmat Allah. Menjadi orang kufur. Karena itu akan menjauhkan aku dari Allah. Mengurangi cinta Allah padaku. Aku tak mau. Sungguh tak ingin. Aku jadi merenung, kenapa Allah terus ulang ayat itu. Merenungkan diri sendiri yang selalu tak bersyukur.
Padahal, aku adalah orang beruntung. Karena aku seorang muslim. Seorang yang beriman. Qod aflakhal mu'minuuun (sungguh beruntung orang-orang yang beriman, Al-Mu'minun :1) . Sehat, normal, cukup hingga melimpah, terkabulkan, baik, harmonis, bahagia. Dan ratusan nikmat lain, bahkan lebih, yang tak kusebutkan atau tak kusadari. Tetapi apa, aku masih juga ingkar, dusta. Astagfirullah...
Aku terlalu maruk. Jadi sadar pula ketika membaca postingan di milis. Sesuka-sukamu. Sesukamu saja kau mau berbuat apa di dunia ini, mendapat apa pun, menginginkan apa pun, mencintai apa pun, karena kelak kau akan mati, dunia akan binasa. Oh... seolah memanah dan tepat sasaran pada hatiku. Bangunkan aku yang tengah mabuk oleh dunia.
Terlalu banyak memakan nafsuku sendiri. Aku harus segera sadar sebelum aku terluka oleh panah itu. Sebelum Allah bangunkan aku lebih keras lagi karena aku begitu terlelap terlena. Tak mau lagi menjadi orang rugi dan hina.
Maka aku harus sadar, bangun dan bangkit. Tinggalkan keburukan diri. Lepaskan hati dan diri dari nafsu dunia. Sebelum semua itu menghancurkan hidupku. Juga sebelum aku tak bisa lagi sadar atau bangun, Sebelum semua terlambat.
Jadi, renungkan, tafakuri serta muhasabahi hati dan perbuatanku selama ini. Kembali bersihkan hati. Jaga diri. Maha kasih Allah yang selalu sadarkan hambaNya...
Katakanlah, "Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan RasulNya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik. (At-Taubah : 24)
Mari bersama-sama kembali kepada cinta Allah di bulan penuh rahmat dan ampunan Allah ini. Bersihkan hati dari cinta dunia yang berlebih. Beningkan hati dengan dzikrullah... Subhanallahu walhamdulillah wa laailaah haillah allahuakbar...
(http://www.eramuslim.com/oase-iman/najmi-haniva-bersihkan-hati-dari-cinta-duniawi.htm)
0 komentar: